Kamis, 03 November 2011

Doa Arwah Semua Umat Beriman

MANUSIA TIDAK MATI DALAM PANDANGAN MASYARAKAT TUMBANGDATU – BALIK, DI KECAMATAN SANGALLA' UTARA – TANA TORAJA

(Yans Sulo Paganna' Pr.)

=sebuah laporan peristiwa dan refleksi=


 

Tumbangdatu, sebuah daerah di bagian paling utara kecamatan Sangalla' Utara– Kabupaten Tana Toraja. Sebuah nama kampung yang diambil dari nama seorang tokoh penggagas kombongan raksasa pertama di Bumi Lakipadada-Toraja. Dari daerah inilah yang dalam sejarah "negeri lepongan bulan – gorri'na matari' allo" disebut sebagai daerah tempat kombongan kalua', atau rapat raksasa pertama di Tana Toraja yakni ketika seorang pemuda genius bernama Tumbangdatu mengumpulkan topadatindo (tokoh-tokoh toraja yang mempunyai harapan dan mimpi yang sama untuk membangun toraja) di Sarira-Balik (Tumbangdatu) untuk membicarakan berbagai persoalan negeri ini (baca: Toraja) yang salah satunya adalah membicarakan strategi perang melawan musuh yang mencoba masuk ke Tana Toraja. Dari 'negeri' inilah lahir beberapa basse toraya (kesepakatan bersama yang tidak boleh dilanggar) yang kini dilupakan.


 

Daerah Tumbangdatu yang dalam peta wisata Toraja disebut sebagai salah satu perkampungan wisata, sungguh-sungguh merupakan sebuah daerah yang unik dan masih sangat original. Maka tidak heran kalau tempat ini menjadi salah satu tempat yang paling disenangi para pemandu wisata saat mengantar tamu-tamu mereka di daerah Toraja ini. Selain daerahnya yang indah, rumah-rumah adatnya yang hampir semuanya masih beratap bambu lengkap dengan tanduk-tanduk kerbau yang tersusun rapih tanpa cacat, tetapi juga karena adatnya yang sangat unik. Untuk saat sekarang ini, barangkali tinggal satu-satunya daerah yang masih setia memelihara kebiasaan ma'tada (berdoa sekaligus bermohon doa bagi keluarga yang sudah meninggal). Dan barangkali juga tinggal satu-satunya daerah yang masih memelihara tradisi leluhur di tengah kekristenan modern, sebut saja misalnya istilah "manda' pemali" semacam hari-hari nyepi di Bali. Pada saat itu masyarakat sungguh-sungguh menciptakan keheningan (bukan kesepian); tidak boleh bertengkar, tidak boleh menebang pohon, tidak boleh berbicara keras-keras – tertawa apalagi berteriak, dll. Bagi yang melanggar akan dikenai sangsi adat dengan istilah didosa yang harus ditebus dengan permohonan maaf publik.


 

Sungguh-sungguh sebuah daerah yang sangat unik. Di sini saya ingin mengisahkan salah satu keunikan dari berbagai keunikan tradisi leluhur yang terpelihara dengan baik dan dihidupi oleh masyarakat setempat, yakni tradisi ma'ta'da (berdoa sekaligus memohon doa bagi keluarga yang sudah meninggal dan dilakukan oleh komunitas agama alukta-aluk todolo) dan mambaya kaburu' (tradisi katolik).


 

Masyarakat di daerah Tumbangdatu yang meliputi dua lembang, Balik dan Bokko, yang hampir 100% warganya menganut agama katolik ini setiap tahunnya melaksanakan adat ma'ta'da (dalam agama asli) dan mambaya kaburu' atau doa arwah (dalam tradisi katolik). Dalam acara ma'ta'da (dari kata meta'da = memohon, atau meminta dengan penuh hormat) dan mambaya kaburu' (membersihkan daerah sekitar kubur atau makam), keduanya sesungguhnya mempunyai satu maksud yang sama yaitu berdoa sekaligus memohon doa bagi keluarga yang telah meninggal. Kata ma'tada sendiri dari kata meta'da (memohon atau meminta dengan penuh hormat) mereka pahami dalam dua artian. Pertama meta'da atau bermohon kepada Allah yang sang pemberi hidup supaya mereka yang meninggal dianugerahi hidup abadi. Kedua, supaya kalau saja mereka yang telah meninggal telah hidup abadi (membalipuang, kembali ke Tuhan atau menjadi dewa) dimohon doanya untuk keluarga yang masih sedang berziarah di dunia ini. Dalam acara ini semua rumpun keluarga berkumpul di tongkonan atau batua'riri masing-masing kemudia duduk dan makan bersama. Pada acara ma'ta'da yang biasanya dilaksanakan di bulan Agustus saat setelah panen raya, keluarga datang mengunjungi kubur atau makam (ziarah) keluarga yang telah meninggal dengan meminta imam agama asli alu'todolo untuk mempersembahkan persembahan di sekitar kuburan atau makam keluarga. Dalam acara ini sesaji dan persembahan dibuat di sekitar kuburan keluarga, setelah itu keluarga masing-masing kembali ke tongkonan atau batua'riri untuk makan bersama. Dan seperti kebiasaan orang Toraja saat berkumpul dua atau tiga orang sudah hampir dipastikan mereka akan memotong babi dan membeli ballok untuk duduk dan berbagi rasa bersama sampai sore atau malam. Sama halnya dengan tradisi katolik yang mereka pelihara dengan baik yakni doa arwah setiap tanggal 2 November. Keluarga-keluarga yang tinggal di daerah ini bahkan ada yang kemudian datang khusus dari perantauan untuk acara tahunan tersebut berkumpul di tongkonan atau batua'riri masing-masing kemudian memotong babi sebagai bahan persembahan yang indah bagi keluarga yang akan mereka doakan dalam doa arwah di gereja stasi Tumbangdatu. Angkanya sangat mengejutkan untuk orang-orang di luar daerah ini, tetapi untuk masyarakat setempat merupakan angka yang sangat biasa karena setiap tahunnya mereka melakukannya sebagai sebuah tradisi turun-temurun. Dalam perayaan Misa Arwah untuk semua umat beriman yang dilangsungkan di gereja stasti Tumbangdatu-Paroki Kristus Imam Agung Abadi Sangalla' kemarin tanggal 2 November 2011, angka persembahan babi yang dikorbankan menyentuh angka 79 ekor babi. Hampir semua masyarakat di kampung itu berduyun-duyun untuk menghadiri Perayaan Ekaristi bersama dalam rangka doa arwah tersebut. Gereja stasi yang tergolong merupakan gedung gereja stasi terbesar di Paroki Sangalla' tidak sanggup memuat semua orang yang datang. Bahkan halaman depan, samping kiri-kanan, dan belakang gereja dipenuhi dengan masyarakat yang datang berdoa.


 

Dalam Perayaan Ekaristi yang dipimpin oleh P. Yans Sulo Paganna', Pr. tersebut, imam praja yang tidak lain merupakan putra asli kelahiran dari daerah Tumbangdatu itu menegaskan maksud dan makna dari tradisi mambaya kaburu' atau doa arwah tersebut. Pastor Yans, demikian sapaan akrab imam produk lokal daerah Tumbangdatu yang sekarang bertugas sebagai Pastor Paroki Bokin-Toraja Utara, menjelaskan dalam homilynya mengenai istilah dan paham mengenai manusia tidak mati, ",. . . Allah menciptakan manusia bukan untuk mati tetapi untuk hidup, karena Allah kita bukanlah Allah orang mati tetapi Allah orang hidup. Maka, walaupun kita mati di mata manusiawi kita, tetapi sesungguhnya kita tetap hidup seperti dalam iman yang kita yakini dalam Gereja bawha hidup tidaklah dilenyapkan tetapi hanyalah diubah. Karena itulah orang toraja dahulu menyebutnya dengan istilah 'melayo' (beristirahat). Beristirahat sungguh menunjuk pada sebuah konotasi kehidupan. Dan dalam Gereja dikenal dengan "Beristirahat Dalam Tuhan" atau RIP, Rest In Peace, Requesqat In Pacem, beristirahat dalam Damai atau Tuhan. Dan seperti janji Tuhan Yesus dalam injil bahwa siapa yang datang kepada-Ku dan percaya dalam nama-Ku akan kuberi hidup abadi kendatipun ia mengalami kematian. Dia akan membawa kita ke tempat-Nya, seperti dikatkalan-Nya dalam Injil Yohanes bahwa di tempat dimana aku berada kamupun berada dan kemana Aku pergi kamu tahu jalan ke situ. Inilah jaminan hidup abadi dari Tuhan kita Yesus Kristus, akan membawa kita ke tempat-Nya sendiri, dan Tuhan Yesus tidak mungkin berada di neraka, karena kalau Ia sampai berada di neraka maka surga pasti akan kosong, . . .".


 

Tradisi mambaya kaburu' dan ma'ta'da di daerah Tumbangdatu ini juga kemudian dihidupkan juga oleh beberapa stasi tetangga, seperti stasi Bebo', stasi Tambunan, stasi Randanbatu. Beberapa gereja stasi tersebut mengadakannya pada tanggal 3 atau 4 November, tetapi tidak seantusias yang terjadi di daerah Tumbangdatu – Sangalla' Utara.


 

Keluarga-keluarga dari masing-masing tongkonan di daerah Tumbangdatu pada setiap tanggal 2 November datang berziarah ke makam atau kubur keluarga dengan membawa bunga yang telah diberkati oleh seorang imam di gereja saat Misa arwah bersama. Setelah pulang dari makam atau kubur keluarga, mereka kemudian duduk dan makan bersama di tongkonan masing-masing dalam suasana kegembiraan penuh harapan. Mereka percaya bahwa keluarga yang telah meninggal itu telah hidup bersama dengan Allah di surga dan akan menjadi pendoa bagi mereka dan bagi semua keluarga di rantauan. Keyakinan ini berakar kuat dan dalam di dalam diri masyarakat di daerah Tumbangdatu, maka nyawa satu atau dua bagi yang dikorbankan bukanlah sebuah beban, tetapi sebuah ungkapan kegembiraan atau syukur bahwa bisa mengalami kebersamaan dengan keluarga yang telah meninggal kendati hanya dalam doa. Keyakinan masyarakat setempat di daerah ini tentang konsep "Manusia tidak mati" ini membuat anda akan terkejut saat mendengar cerita jumlah babi yang dikorbankan oleh umat di stasi Tumbangdatu – Sangalla' Utara, yang setiap tahunnya hanya berkisar antara 60-an sampai 80-an ekor babi. Bahkan terkesan bahwa tanggal 2 November untuk masyarakat Tumbangdatu telah dibaptis sebagai hari "pesta" kampung. Persembahan bunga dan babi yang mereka bawa ke gereja merupakan sebuah persembahan yang indah untuk Allah. Sebuah kebiasaan yang hampir mirip dengan kisah yang ditulis penulis suci dalam Kitab Suci, dalam Kitab Kedua Makabe 12:43-45, yang setiap tahun juga mereka pilih sebagai bacaan pertama dalam doa arwah atau Ekaristi di gereja.


 

Masyarakat setempat yang memang sungguh-sungguh mayoritas katolik memahami dengan baik akan kehidupan kekal, dan memahami bahwa setelah kehidupan di dunia ini berakhir akan kehidupan itu akan berpindah ke alam lain yakni puya. Mereka yang ada di puya ini senantiasa mereka doakan supaya berpindah ke surga abadi bersama dengan Allah dan orang-orang kudus yang lain yang kemudian akan menjadi pendoa mereka.


 

Konsep kehidupan manusia mereka pahami dalam tiga alam: Surga – Dunia – dan Puya atau tempat pemurnian, yang mereka yakini bahwa hubungan diatara ketiganya tetap terjalin dengan baik; mereka yang di puya menantikan doa-doa kita yang masih berziarah di dunia dan mereka yang sudah jaya di surga, dan setelah mereka beralih ke surga akan menjadi pendoa bagi kita yang ada di dunia. Unsur Do ut Des tidak mereka pikirkan, kecuali semata bahwa sebuah hubungan kekeluargaan dan persaudaran yang intim satu dengan yang lain.


 

Masyarakat di daerah Tumbangdatu sungguh-sungguh percaya akan kehidupan jaya di surga. Salah satu tokoh yang mereka yakini telah hidup di surga adalah nenek Tumbangdatu, si-genius yang telah berhasil mengumpulkan 'topadatindo' (tokoh-tokoh dari seluruh penjuru toraja yang mempunyai harapan dan cita-cita yang sama tentang toraja) pada abad XVII. Dalam doa arwah, mambaya kaburu' (2 November) dan atau ma'ta'da (biasanya di bulan Agustus, saat selesai panen raya) yang mereka laksanakan setiap tahunnya, "orang kudus" Tumbangdatu akan selalu mereka ingat, bukan lagi sebagai orang yang akan mereka doakan, tetapi sebagai pribadi tempat mereka meminta doa, baik untuk diri pribadi masing-masing maupun untuk kampung mereka sendiri dan anak-anak mereka yang ada di rantau orang.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar