Kemerdekaan, Adakah Sebuah Cita-cita Utopis
Bagi Kaum perempuan?
Oleh: Y a n s Paganna', Pr.
Enam puluh lima tahun lalu, ada satu kata benda dalam bahasa Indonesia yang sanggup membakar semangat semua penduduk negeri ini yaitu kata "merdeka". Di mana-mana kata ini mampu menyihir setiap warga untuk bersatu tanpa terhalang oleh sekat-sekat suku. Tidak ada lagi wong Selebes atau wong Java atau wong Ambon, yang ada adalah rakyat Indonesia. Hanya dengan kata "merdeka", wong Ambon merasa bersaudara dengan wong Selebes atau dengan wong Java. Hanya dengan kata tersebut, laki-laki dan perempuan, tua-muda tanpa mengenal tempat dan waktu saling berpelukan penuh kegembiraan sambil meneriakkan kata "merdeka".
Pemuda dan para pemimpin mereka waktu itu memiliki mimpi yang sama untuk membebaskan negeri ini dari penjajahan. Tetapi apa yang terjadi? Ironi yang abadi. Di satu sisi bangsa ini setiap tahun merayakan hari bersejarah "kemerdekaan" tetapi di sisi lain rakyat negeri ini tetap eksis dalam "ketidakmerdekaan" bangsanya. Pembodohan tetap berlangsung di negeri ini. Ketidakadilan dan penindasan a la penjajah dari daratan Eropa ratusan tahun silam seolah menjadi program jangka panjang para petinggi bangsa ini. Pertumpahan darah terus berlangsung tanpa henti. Penindasan terhadap kaum marginal tetap 'terpelihara' dengan baik. Bahkan hampir setiap hari media massa memberitakan suatu perlakuan tidak manusiawi terhadap manusia yang disebut perempuan; pemerkosaan, penjualan perempuan, pembunuhan, dll. Inikah mimpi para moyang kita enam puluh lima tahun silam? Permenungan menarik bagi kita di "bulan suci" bangsa ini adalah apakah teriakan kemerdekaan para moyang kita enam puluh lima tahun silam hanya diperuntukkan bagi golongan atau kelompok tertentu? Tulisan ini mencoba memaknai arti sebuah kemerdekaan bagi kaum perempuan.
Dalam bahasa Perancis untuk menuliskan kata-kata "tout home est Homme" (setiap laki-laki adalah manusia) adalah suatu hal yang sangat umum, tetapi ketika seseorang menuliskan kata "toute femme est Homme" (setiap perempuan adalah manusia) dirasakan sebagai sesuatu hal yang aneh dan lucu, meski pun orang yang menuliskannya itu adalah seorang perempuan. Bagi orang Perancis laki-laki berbicara atas nama manusia, sementara perempuan berbicara atas nama perempuan saja.
Bagi mereka yang akrab dengan perjuangan kesetaraan gender, kata-kata tersebut di atas tentulah sangat menyakitkan. Tetapi itulah fakta yang tidak bisa dipungkiri kebenarannya; kaum laki-laki mendominasi peradaban dunia. Bahkan tidak jarang kaum perempuan lebih banyak mendapat tempat kedua (the second class) dalam masyarakat. Fenomena pelacuran dan penjualan wanita menjadi bukti bagaimana kaum perempuan sungguh menjadi 'alat' atau kebutuhan kaum laki-laki. Wanita menjadi bahan konsumen (baca: objek) bagi kaum laki-laki.
Kalau kita mencoba membaca sejarah masa lampau, dominasi kaum laki-laki atas kaum perempuan memang sudah merupakan hal yang sangat biasa. Dalam kebudayaan Yahudi dan Timur Tengah misalnya, perempuan dipisahkan dari kaum laki-laki. Sebagai contoh perlakuan terhadap wanita yang sedang haid (baca: datang bulan). Perempuan yang sedang datang bulan dilarang mengambil bagian dalam ibadat di sinagoga atau rumah-rumah ibadat (bdk. Im 15,25). Bahkan dalam peribadatan kehadiran perempuan tidak diperhitungkan sama sekali. Hal yang sama juga terjadi atas mereka di hadapan pengadilan. Hak kaum perempuan sama sekali tidak diakui.
Hal yang serupa juga kiranya tetap kita jumpai dalam masyarakat dan bangsa kita yang nota bene enam puluh lima tahun lalu memproklamasikan dirinya sebagai bangsa yang merdeka, bangsa yang bermartabat. Satu pertanyaan yang cukup urgen untuk kita sekarang ini adalah, apakah kemerdekaan bagi kaum perempuan akan terus menjadi cita-cita utopis?
Konsep Yang Keliru
Tidak semua dari kita dapat memahami dengan tepat pokok persoalan, mengapa perempuan dilihat sebagai manusia kelas dua (the second class) dari laki-laki. Label tersebut mempunyai sejarah yang sangat panjang. Dalam sejarah yang panjang tersebut nampak bagaimana 'hukum' laki-laki menang atas 'hukum' perempuan, yang kemudian melahirkan suatu persepsi yang keliru dalam memandang kaum perempuan sebagai 'the second class'. Namun sesungguhnya munculnya dikotomi ini disebabkan karena kurangnya pemahaman yang memadai antara dua istilah yang sangat berbeda tersebut. Kebanyakan kesalahpahaman dalam memandang kaum perempuan itu karena kita tidak bisa membedakan antara seks dan gender. Pembedaan yang jelas akan kedua istilah yang berbeda ini sangat penting, khususnya ketika kita dihadapkan pada tahap analisa kasus ketidakadilan-kekerasan yang terjadi pada diri kaum perempuan.
Menurut kamus besar bahasa indonesia, kata seks, mengacu pada pembedaan jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Kaum "lelaki" ditandai dengan adanya penis dan jakun, sementara kaum "perempuan" ditandai dengan adanya vagina-rahim dan buah dada yang bisa membedakannya dengan kaum laki-laki. Pembedaan ini sifatnya permanen, kodrati, dan tidak bisa dipertukarkan satu dengan yang lain.
Sedangkan istilah gender sendiri adalah suatu sifat yang melekat pada laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, bahwa perempuan lebih identik dengan sifat keibuhan, cantik, lemah lembut, emosional, dll; Sementara laki-laki lebih identik dengan penggambaran seorang pribadi yang kuat, rasional, jantan, perkasa, tegar, dll.
Seiring dengan perkembangan peradaban manusia, terbentuklah pembedaan gender antara manusia jenis laki-laki dan perempuan. Misalnya karena pertimbangan fisik, perempuan lebih dilihat cocok untuk mengurusi rumah tangga dari pada mengusahakan nafkah, maka secara tidak sadar lahirlah apa yang disebut dengan pembagian kerja.
Secara historis, khususnya pada tahap awal perkembangan manusia, lelaki selalu diidentikkan dengan 'lembaga' atau aktivitas kerja di luar rumah. Sementara perempuan tempatnya di dalam rumah (domestik), sebagaimana ditulis oleh Loise Ricklander: "Historically the external world has been the business men. Women took care of the internal world. Politics traditionally is external, but not necessarily the business of all men – often only the few (RICKLANDER, Loise, Women and Politics, hlm. 185). Pembagian kerja ini yang secara seksual pada mulanya tidak dimaksudkan untuk membuat pembedaan dalam artian "gap", tetapi dalam perkebangan kemudian ternyata pekerjaan di luar rumah memungkinkan untuk mengumpulkan kekayaan material. Imbalan pekerjaan di luar rumah (public sphare) ternyata tidak seimbang dengan imbalan pekerjaan di dalam rumah tangga (private sphare).
Keadaan tersebut kemudian menciptakan suatu pembedaan yang sangat mencolok antara kaum laki-laki dan kaum perempuan; kaum laki-laki yang menguasai pekerjaan di luar rumah lebih kuat posisinya di dalam masyarakat dibandingkan dengan kaum perempuan yang mengurusi rumah tangga. Pekerjaan perempuan ini tidak mempunyai harga jual atau harga pasar, sebaliknya pekerjaan di luar rumah yang digeluti oleh kaum laki-laki ternyata memiliki harga jual atau harga pasar yang sangat tinggi, karena itulah maka mau tidak mau – terima tidak terima perempuan terkondisikan untuk menggantungkan diri kepada kaum laki-laki.
Ciri khas keperempuanan tersebut di atas dirasa kurang pantas meramba ke ranah publik, yang nota bene keras dan penuh resiko. Akibatnya bahwa perempuan lebih dekat dengan ruang privat (domestik) dan laki-laki lebih terformat hidup di ruang publik sebagai pencari nafkah. Dalam pada ini terjadi dikotomi antara wilayah publik dan wilayah privat (the private and public sphares), di mana wilayah publik adalah wilayah laki-laki, sementara wialayah privat adalah wilayah perempuan. Inilah kiranya yang terus diperjuangkan oleh kelompok feminis, yakni ingin membebaskan berbagai macam stereotype antara peran perempuan dan laki-laki. -laki.
Penghormatan Martabat Manusia
Dari waktu ke waktu semakin disadari oleh semua pihak untuk terus memperjuangkan kesetaraan gender, demi penghormatan kepada martabat manusia itu sendiri. Inilah fenomena yang mengemuka pada dua abad terakhir ini. Di mana-mana para pemerhati perempuan membentuk suatu organisasi-organisasi yang menamakan dirinya sebagai kelompok feminisme. Di mana-mana muncul berbagai gerakan penyadaran perempuan.
Gerakan penyadaran perempuan ini dilatar belakangi oleh ide kebebasan manusia sebagai individu. Namun sebetulnya jauh di balik usaha perjuangan para feminis itu, satu hal yang ingin diperjuangkan adalah usaha untuk mewujudkan satu harapan supaya manusia sunggu-sungguh mampu menghargai martabatnya sebagai manusia; bahwa laki-laki memiliki martabat yang sama dengan perempuan. Dengan kesadaran seperti ini akan melahirkan persepsi yang baru tentang perempuan, bahwa pelecehan terhadap perempuan tidak lain adalah pelecehan terhadap martabat manusia itu sendiri. Hanya dengan demikian maka perempuan akan dilihat sebagai subjek yang sungguh-sunggu hidup dalam alam kemerdekaan dan bukan sebagai objek yang hanya "dilihat". Kalau tidak, kemerdekaan kaum perempuan tidak bisa tidak akan tetap tinggal sebagai sebuah cita-cita utopis.***
Belajar dari Kitab Suci:
Kitab kejadian mengangkat dengan sangat implisit tentang kesetaraan gender; di mana laki-laki dan perempuan merupakan mahluk yang sepadan, dengan menyebut istilah "penolong yang sepadan".
Penulis adalah Pastor Paroki Bokin – Toraja Utara,
Peserta Pelatihan Agenda 18 Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar