(dicopy dari kamar sebelah)
HARGA SEBUAH KEBEBASAN : ISU PERDAGANGAN PEREMPUAN
(Ratnawati Yuni Suryandari*) )
ABSTRAK
Hubungan ekonomi Indonesia dengan Malaysia saat ini berkembang dengan pesat. Ramai investor Malaysia yang melirik Indonesia kerana menurut mereka Indonesia pasar yang luar biasa besar dan belum digarap optimal. Oleh itu, mereka berbondong-bondong masuk ke Indonesia membeli perusahaan-perusahaan yang sudah eksis. Sebaliknya, investor Indonesia yang masuk Malaysia sangat minim. Hanya beberapa dan itu pun tidak dalam skala besar. Indonesia baru banyak `menanamkan investasi' di Malaysia di sektor tenaga kerja. Lebih daripada dua juta orang Indonesia bekerja di Malaysia sebagai tenaga kerja kasar seperti buruh di perkebunan, buruh bangunan, buruh pabrik dan pembantu rumah tangga. Di antara buruh-buruh migran tersebut terselip juga para tenaga kerja perempuan Indonesia yang masuk ke Malayisa secara ilegal karena terperangkap dalam sindikat perdagangan manusia. Fenomena perdagangan perempuan merupakan sektor perdagangan yang kini berkembang pesat karena dikendalikan oleh jaringan global yang tersusun serta bersindikat, dengan menggunakan kelengkapan teknologi yang canggih serta dilindungi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Perdagangan perempuan ini boleh dijadikan sebagai daya tarik wisatawan luar negeri, yang mana menjadikan ianya satu perdagangan yang lumayan untuk diceburi. Kegiatan perdagangan perempuan ini juga semakin berleluasa disebabkan oleh nafsu materialistik, nafsu uang dan nafsu seks yang mengatasi kewarasan akal manusia, di mana kebiasaannya perempuan-perempuan yang diperdagangkan dipaksa atau ditipu untuk menjadi pekerja seks. Pergerakan manusia menjangkau perbatasan secara ilegal dan terselubung ialah fenomena global yang serius. Perdagangan perempuan bukan hanya kejahatan transnasional, tetapi pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia dan merupakan salah satu aspek perbudakan modern yang memprihatinkan karena dijadikannya kehidupan manusia sebagai komoditi perdagangan dan meletakkan nilai moneter pada kehidupan seorang perempuan. Menurut Persatuan Bangsa-bangsa, antara dua dan empat juta wanita dan anak-anak diperdagangkan setiap tahun. Indonesia merupakan negara asal perdagangan manusia terutama perempuan yang diperdagangkan secara internasional untuk tujuan-tujuan eksploitasi seks dan kerja paksa dimana Malaysia merupakan salah satu kawasan tujuan perdagangan tersebut. Kertas kerja ini akan membahas tentang : (1) isu perdagangan perempuan dari Indonesia ke Malaysia, (2) Faktor-faktor penyebab semakin maraknya perdagangan perempuan dari Indonesia ke Malaysia dan (3) Upaya-upaya yang perlu dilakukan Malaysia dan Indonesia untuk memerangi perdagangan perempuan tersebut.
PENGENALAN
Sistem migrasi dunia telah memberikan sumbangan yang cukup besar bagi pembangunan ekonomi, baik bagi negara-negara pengirim maupun juga penerima. Selain itu, tidak sedikit pula persoalan yang dihadapi dalam proses migrasi ini. Salah satu diantaranya adalah persoalan perdagangan manusia (trafficking). Anak perempuan di bawah umur (kurang dari 18 tahun) dan kaum perempuan merupakan korban yang terbesar dari perdagangan haram ini. Pergerakan manusia menjangkau perbatasan secara ilegal dan tersembunyi ialah fenomena global yang serius. Perdagangan manusia bukan hanya kejahatan transnasional, tetapi juga pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia dan perhambaan bentuk baru.
Menurut Persatuan Bangsa-Bangsa, antara dua dan empat juta wanita dan anak-anak diperdagangkan setiap tahun. Pada tahun 2000, di seluruh dunia diperkirakan antara 700 ribu sampai 2 juta kaum perempuan dan anak-anak merupakan korban trafficking. Dari jumlah tersebut sebanyak 200.000 - 225.000 diantaranya terjadi di negara-negara Asia Tenggara. Pada tahun 2003, jumlah ini mengalami peningkatan seperti yang dilaporkan oleh Bureau of Public Affairs, US Departement of Sate yakni bahwa tiap tahun sebanyak 800.000 - 900.000 manusia telah diperdagangkan dengan mengabaikan batas batas internasional untuk tujuan memasok pasar perdagangan seks internasional dan buruh. Sangat sulit untuk mendapatkan angka jumlah korban secara pasti, tetapi menurut perkiraan, korban trafficking setiap tahunnya di Afrika mencapai sekitar 50 ribu orang, 75 ribu di Eropa timur, 100 ribu di Amerika Latin dan Karibia serta 375 ribu manusia di Asia. Perdagangan haram tersebut dilakukan melalui jejaring kejahatan internasional yang terorganisasi secara rapi, baik melalui jalur negara perantara maupun langsung (Pigay 2005).
Perdagangan manusia secara ilegal terutama para perempuan ini berkembang menjadi persoalan kemanusiaan yang memprihatinkan. Di negara-negara Asia Tenggara para perempuan dan anak gadis diperlakukan sewenang-wenang tanpa mempedulikan faktor manusiawi yang bersentuhan dengan harkat dan martabatnya. Para perempuan dibujuk, dipaksa dan diperdagangkan untuk industri seks dan dunia hiburan lainnya, terdapat juga yang dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga atau pabrik dengan jam kerja tak terbatas dan upah minimum. Praktek-praktek semacam ini tergolong pelanggaran terhadap pemajuan, pemenuhan, penghormatan, perlindungan dan penegakan manusia dan hukum.
Dalam peta migrasi lintas batas di Asia Tenggara dan Mekong, posisi Indonesia merupakan negara pemasok tenaga kerja terutama ke Malaysia. Sebagian besar migrasi Indonesia ke Malaysia tersebut bersifat ilegal sehingga sarat dengan masalah seperti menjadi obyek perdagangan manusia untuk tujuan prostitusi. Data statistik komprehensif perdagangan perempuan dan anak di Indonesia tidak tersedia. Sulit untuk mengetahui data akurat mengenai perdagangan tersebut mengingat kegiatannya terselubung. Biarpun demikian, diperkirakan ratusan ribu orang telah mengalaminya Pada tahun 2003, diperkirakan kasus perdagangan perempuan telah mencapai angka yang sangat memprihatinkan sampai 7000 kasus (Ditjen HAM 2003). Data perdagangan perempuan ini termasuk dark number. Artinya, data yang tersedia hanya berasal dari kasus yang dilaporkan, padahal tidak semua kasus dilaporkan.
DEFINISI PERDAGANGAN PEREMPUAN
Sampai sekarang sukar dicari pengertian yang universal tentang konsep trafficking. Mengikut Soesilo (1994), perdagangan perempuan ialah melakukan perbuatan-perbuatan dengan maksud menyerahkan perempuan kepada pihak lain untuk kepentingan pelacuran. Termasuk pula di sini adalah kegiatan mencari perempuan-perempuan untuk dikirim keluar negeri dan dijadikan pelacur. Konvensi PBB untuk Penindasan, Perdagangan Manusia dan Eksploitasi Pelacuran oleh Orang Lain tahun 1949 membatasi pengertian trafficking hanya pada praktek prostitusi dan kejahatan yang menyertai iaitu perdagangan manusia untuk tujuan prostitusi. Mengikut Global Alliance Against Trafficking Women (GAATW) tahun 1997, dalam definisinya menekankan adanya tiga elemen penting dalam konsep trafficking, yaitu rekrutmen, transportasi dan lintas batas negara. Kemudian oleh Convention on the Elimination of All Form of Discrimination Againt Women (CEDAW) tahun 1979, ditambahkan satu elemen lagi yakni elemen persetujuan atau consent. Dalam hal ini, persetujuan korban merupakan elemen kunci dalam konsep trafficking. Sepanjang tujuannya tidak dimaksudkan untuk mengeksploitasi pekerja migran atau masih dalam batas-batas consent yang bersangkutan, maka hal itu tidak dapat dikategorikan sebagai trafficking.
Dari ketiga elemen dasar trafficking tersebut di atas, ketara sekali perbedaan antara trafficking (perdagangan manusia) dan smuggling (penyelundupan). Dalam fenomena smuggling mengandungi unsur-unsur ilegalitas transportasi, melintas batas negara dan sama sekali tidak ada unsur eksploitasi terhadap pekerja migran di negara tujuan. Sebaliknya, dalam kasus trafficking selalu berlaku tindakan yang mengeksploit pekerja migran. Bagaimanapun, di dalam perdagangan perempuan terkadang ditemukan juga unsur penyelundupan karena memasuki negara lain secara ilegal (Farid 2000).
Berdasarkan beberapa definisi yang dihurai di atas, maka bolehlah dikatakan bahwa perdagangan perempuan ialah suatu kegiatan yang meliputi proses perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan dan pengiriman perempuan baik di dalam wilayah negara maupun melintasi batas negara untuk pekerjaan atau pelayanan dengan menggunakan cara-cara kekerasan atau ancaman kekerasan, kebohongan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penghambaan dan penipuan untuk tujuan eksploitasi.
FENOMENA PERDAGANGAN PEREMPUAN
Hubungan ekonomi Indonesia dengan Malaysia saat ini berkembang dengan pesat. Banyak investor Malaysia yang melirik Indonesia karena menurut mereka Indonesia pasar yang luar biasa besar dan belum digarap optimal. Oleh itu, mereka berbondong-bondong masuk ke Indonesia membeli perusahaan-perusahaan yang sudah eksis. Sebaliknya, investor Indonesia yang masuk Malaysia sangat minim. Hanya beberapa dan itu pun tidak dalam skala besar. Indonesia baru banyak `menanamkan investasi' di Malaysia di sektor tenaga kerja. Lebih daripada dua juta orang Indonesia bekerja di Malaysia sebagai tenaga kerja kasar seperti buruh di perkebunan, buruh bangunan, buruh pabrik dan pembantu rumah tangga. Di antara buruh-buruh migran tersebut terselip juga para tenaga kerja perempuan Indonesia yang masuk ke Malaysia secara ilegal karena terperangkap dalam jaringan perdagangan manusia.
Para pekerja migran tersebut datang ke Malaysia melalui dua jalur yaitu jalur barat dan jalur timur. Jalur barat (The Peninsular Malaysian System) dilalui oleh pekerja migran dari Jawa, Pulau Bawean, Sumatra Utara, Aceh, Minangkabau, Lombok Timur dan Lombok Tengah. Mereka dibawa ke penampungan di Batam, Kuala Tungkal dan Tanjung Balai Karimun, Propinsi Kepulauan Riau sebelum diseberangkan ke Johor Baru Malaysia. Sedangkan jalur timur dilalui pekerja migran dari Sulawesi Selatan (Pare-Pare, Tana Toraja) dan Kabupaten Flores Timur. Mereka berlayar menuju Pulau Nunukan dan terus menyebrang ke Tawao (Sabah dan Serawak). Jalur timur lebih berbahaya daripada jalur barat dengan waktu tempuh selama empat hari untuk sampai ke Pulau Nunukan (Mantra et al. 1999).
Berbagai cara dilakukan oleh calon pekerja migran untuk dapat bekerja ke Malaysia. Sebagian calon pekerja menempuh prosedur yang dianjurkan pemerintah, yaitu dengan melalui PJTKI (Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia), sedang yang lainnya melalui prosedur lain, yaitu dengan melalui calo tenaga kerja. Upah yang tinggi di luar negeri mengakibatkan para calon tenaga kerja memilih cara yang paling mudah untuk dapat bekerja di Malaysia. Menggunakan jasa calo dianggap sebagai cara yang paling mudah untuk berangkat dan mendapatkan pekerjaan di luar negeri. Status mereka ini kebanyakannya ilegal menyebabkan mereka mudah terperangkap ke dalam sindikat perdagangan perempuan. Berbagai data menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja migran Indonesia di Malaysia menyandang status ilegal, artinya tidak mempunyai dokumen, tanpa izin atau tidak mempunyai visa kerja yang sah. Menurut Demmallino dan Wicaksono (2004), pada tahun 2000 tercatat bahwa lebih dari 1,5 juta pekerja migran ilegal asal Indonesia berada di Malaysia. Dari jumlah ini, 1 juta orang bekerja di Semenanjung Malaysia dan sekitar 500 sampai dengan 700 ribu orang lainnya di Malaysia Timur. Pada tahun 2002 diperkirakan lebih dari 2 juta rakyat Indonesia berhijrah ke Malaysia untuk perbaikan nasib mereka. Namun hampir setengah jumlah tersebut merupakan tenaga kerja ilegal. Status ilegal tersebut menjadikan mereka sangat rentan menjadi korban perdagangan manusia,
banyak di antaranya mengalami eksploitasi dan berbagai perlakuan yang bertentangan dengan hak asasi manusia.
Dalam perkembangannya, para calo bukan lagi menjadi perantara bagi calon tenaga kerja yang ingin ke luar negeri, namun mereka berperan sebagai pencari tenaga kerja. Peran calo cukup dominan dan menimbulkan ketergantungan para pekerja migran yang cukup besar terhadap calo. Ketergantungan tersebut menjadikan calo leluasa untuk melakukan berbagai penipuan, terutama janji palsu dalam mencarikan pekerjaan. Sebagai contoh, menurut Darwin (2003) di Pontianak, banyak anak perempuan di bawah umur yang dijerat oleh para calo atau trafficker dengan cara merayu mereka untuk dipekerjakan di luar negeri dengan upah yang cukup tinggi. Segala kelengkapan, termasuk biaya pembuatan paspor dan keberangkatan anak tersebut sepenuhnya ditanggung oleh calo. Namun demikian, pada akhirnya semua pengeluaran tersebut dihitung sebagai pinjaman yang harus dibayar. Selain menjerat dengan bentuk hutang, tidak sedikit para calo yang mempekerjakan perempuan tidak sesuai dengan janji mereka. Janji untuk mempekerjakan sebagai pembantu rumah tangga pada kenyataannya dialihkan untuk pekerjaan di dalam industri seks.
Perempuan pekerja migran yang terjerumus ke dalam lembah pelacuran biasanya awalnya karena tertipu. Sebelum berangkat ke Malaysia, mereka dijanjikan akan dipekerjakan sebagai pelayan toko atau pegawai pabrik. Tetapi kenyataan berkata lain, sesampai di Malaysia, mereka dipaksa untuk menjadi pekerja seks komersial. Mengikut (Atmanto & Barus 2007), sekali melayani tamu, mereka dibayar RM 150, tetapi dari jumlah itu mereka hanya memperoleh RM10 sahaja. Selebihnya disetor ke bapak ayam (mucikari). Ini kerana germo tersebut telah membeli seorang perempuan tersebut seharga RM 4800. Setoran tersebut merupakan pembayaran cicilan hutang perempuan tersebut kepada sang germo, sekaligus biaya makan selama di penampungan. Tidak tanggung-tanggung, seorang perempuan harus melayani 500 laki-laki hidung belang untuk melunasi hutangnya. Tapi sekalipun sudah melayani 500 orang, ia tak bisa lepas dari cengkeraman bapak ayam. Kalau perempuan tersebut berani meninggalkan penampungan dan tertangkap, maka hukumannya adalah dipukuli.
Mekanisme yang digunakan oleh jaringan perdagangan perempuan untuk semakin membenamkan perempuan ke dalam lingkaran industri prostitusi adalah melalui konsep jerat hutang. Jaringan ini akan berusaha sekeras mungkin untuk mengekalkan fenomena perdagangan haram agar dapat meraup keuntungan sebanyak mungkin. Mereka sengaja menciptakan keadaan yang membuat perempuan pencari kerja akan berada pada tahap ketergantungan yang sangat tinggi sehingga tidak mampu lagi untuk keluar dari pekerjaannya. Salah satu cara untuk mempertahankan ketergantungan pekerja migran perempuan dengan mereka yang menawarkan jasa adalah dengan mempraktikkan jerat hutang memalui sistem kerja ijon. Kerja ijon muncul ketika para pencari kerja yang tertipu diberitahu bahwa mereka harus membayar sejumlah uang kepada bos atau calo yang membawa mereka setibanya di tempat tujuan atau di tempat kerja yang baru. Uang yang harus dibayarkan biasanya meliputi biaya transportasi, dokumen perjalanan, akomodasi dan biaya lainnya. Para pencari kerja tersebut tidak pernah mendapatkan penjelasan sebelumnya tentang jumlah hutang yang harus dibayarkan. Biasanya jumlah tersebut sangat tinggi karena ditambah dengan tingginya bunga pinjaman yang ditetapkan secara sepihak. Keadaan ini menyebabkan mereka harus bekerja sebagai bentuk pembayaran atas hutang-hutang mereka.
Kasus-kasus perdagangan perempuan terutama untuk eksploitasi seksual ini sukar diselesaikan secara tuntas karena mekanisme perdagangan perempuan yang biasanya di bawah umur ini dilaksanakan secara tersembunyi dan menggunakan jaringan yang sangat tertutup. Mata rantai jaringan ini dimulai dari para calo yang menyamar sebagai pencari tenaga kerja di tingkat desa atau daerah asal, sampai dengan mucikari yang memperdagangkan mereka untuk keperluan seksual di daerah tujuan yang umumnya di kota-kota besar atau luar negeri. Kolusi yang dibina antara calo, mucikari, aparat, biro travel dan para konsumen, menyebabkan perdagangan haram ini makin subur (Setyawati 1999). Jaringan industri seks ini kemudian menjadi sangat panjang dan luas hingga meliputi beberapa negara sebagai konsekuensi dari mudahnya jalur komunikasi dan terbukanya sistem informasi maupun transportasi.
Pola jaringan sindikat perdagangan perempuan terorganisasi dengan rapi dan sangat sulit untuk dideteksi, terlebih bila yang bersangkutan ditujukan untuk kegiatan pelacuran. Kesulitan untuk mendeteksi jaringan sindiket ini selain kerana kemampuan dan jaringannya yang sangat kuat, mereka juga memiliki akses yang sangat dekat dengan biro jasa transportasi dan pengirim tenaga kerja ilegal serta biro keimigrasian, mulai dari daerah asal, dearah pemberangkatan hingga ke daerah penyeberangan Malaysia. Oleh itu kegiatan jaringan sindikat ini dapat dikatakan tidak menghadapi kendala yang cukup berarti (Demmallino dan Wicaksono 2004).
Peranan anggota sindikat ini bermacam-macam. Ada yang bertugas mengurus paspor dan visa, menjadi penghubung dengan mucikari di Malaysia dan mencari gadis-gadis berumur 14 hingga 20 tahun. Mereka ini mencari korban di pelosok desa dengan iming-iming gaji tinggi dan bekerja di tempat yang halal seperti pelayan toko atau rumah makan. Selain itu, segala pengurusan surat seperti paspor, visa dan izin kerja, keperluan selama di penampungan, dan ongkos keberangkatan tidak dipungut biaya. Biaya-biaya tersebut boleh dicicil nantinya setelah bekerja. Sindikat ini juga bekerja sama dengan PJTKI yang nakal.
Fenomena perdagangan perempuan ini merupakan sektor perdagangan yang kini berkembang pesat. Ianya dikendalikan oleh jaringan global yang tersusun serta bersindikat, dengan menggunakan kelengkapan teknologi yang canggih serta dilindungi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Perdagangan perempuan ini boleh dijadikan sebagai daya tarik wisatawan luar negari, yang mana menjadikan ianya satu perdagangan yang lumayan untuk diceburi. Kegiatan perdagangan perempuan ini juga semakin berleluasa disebabkan oleh nafsu materialistik, nafsu uang dan nafsu seks yang melebihi kewarasan akal manusia. Menurut satu kajian oleh Persatuan Bangsa-Bangsa, perniagaan haram ini mampu meraih keuntungan tinggi dengan anggaran keuntungan mencapai jutaan dollar. Satu kajian telah mencatatkan bahwa terkini hampir 300,000 perempuan melibatkan diri dalam pelacuran di Malaysia. Sebuah kelab yang menjalankan kegiatan tidak halal ini pula mampu mendapat hasil sehingga sebanyak hampir RM500,000 semalam.
FAKTOR PENYEBAB PERDAGANGAN PEREMPUAN
Pembangunan ekonomi di negara miskin dipengaruhi golongan berkuasa di negara kapitalis maju (Baran 1957). Kemunduran dan kemiskinan di negara-negara Dunia Ketiga ini dianggap sebagai hasil pergantungan negara tersebut ke dalam sistem ekonomi dunia. Keadaan ini dikenal juga sebagai perhubungan antara pusat dan pinggiran dimana negara-negara maju telah mengeksploit negara-negara pinggiran. Keadaan ini berlangsung sampai kepada tataran kehidupan di pedesaan. Menurut pendekatan struktur, kemiskinan yang terjadi di pedesaan berakar umbi kepada sistem produksi dan bukannya faktor internal individu tersebut (Frank 1978). Kekurangan ketiadaan sumber kebendaan menimbulkan halangan membuat dan menikmati pilihan di kalangan golongan miskin tersebut. Keadaan ini berimbas kepada munculnya perempuan-perempuan pedesaan yang miskin dan tidak berpenghasilan. Ketidak berdayaan perempuan-perempuan pedesaan tersebut telah dijadikan peluang oleh jaringan perdagangan haram untuk mengeksploit mereka.
Selain kemiskinan perempuan pedesaan, masih banyak lagi faktor-faktor penyebab perdagangan manusia. Sebab-sebab ini rumit dan seringkali saling memperkuat satu sama lain. Jika melihat perdagangan manusia sebagai pasar global, maka para korban merupakan sisi penawaran (persedian) dan para majikan yang kejam atau pelaku eksploitasi seksual mewakili permintaan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi dari sisi penawaran antara lain ialah kemiskinan, pendidikan dan ketrampilan yang rendah, kekurangan informasi, daya tarik standar hidup di tempat lain yang lebih tinggi, strukur sosial dan ekonomi yang lemah, kesempatan bekerja yang kurang, kejahatan yang terorganisir, kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak, diskriminasi terhadap perempuan, budaya patriarkhi, penegakan hukum yang lemah, korupsi pemerintah, ketidakstabilan politik, konflik bersenjata, dan tradisi-tradisi budaya seperti perbudakan tradisional. Di beberapa masyarakat, sebuah tradisi memungkinkan anak ketiga atau keempat dikirim untuk hidup dan bekerja di kota dengan seorang anggota keluarga jauh (seringkali seorang "paman"), dengan janji akan memberi pendidikan dan pelajaran berdagang kepada anak. Dengan mengambil keuntungan dari tradisi ini, para pelaku perdagangan seringkali memposisikan diri mereka sebagai agen pekerjaan, yang membujuk para orang tua untuk berpisah dengan seorang anak, tetapi kemudian memperdagangkan anak tersebut untuk bekerja sebagai pekerja seks, pelayan rumah atau perusahaan komersial.
Di sisi permintaan, faktor-faktor yang membawa pada perdagangan manusia mencakup industri seks dan permintaan akan tenaga kerja yang dapat dieksploitasi. Pariwisata seks dan pornografi telah menjadi industri dunia luas, yang difasilitasi oleh teknologi seperti internet, yang secara berlebihan memperluas pilihan-pilihan yang tersedia bagi para pelanggan dan memungkinkan adanya transaksi yang cepat dan hampir tidak terdeteksi. Perdagangan haram untuk tujuan prostitusi ini semakin tumbuh subur karena keuntungannya sangat luar biasa. Perdagangan manusia juga ditimbulkan oleh adanya permintaan global atas tenaga kerja yang murah, rentan, dan illegal.
PERDAGANGAN PEREMPUAN SEBAGAI ISU HAM
Perdagangan perempuan merupakan kegiatan pelanggaran hak asasi manusia terutama berupa tindakan kekerasan berbasis gender yang dialami perempuan ataupun hukum dan praktik yang mendiskriminasikan perempuan (Yasir 1999). Perdagangan perempuan merupakan salah satu aspek perbudakan moderen yang memprihatinkan karena kehidupan manusia dijadikan sebagai komoditi perdagangan. Ianya telah menempatkan nilai moneter pada kehidupan seorang perempuan. Sebuah harga diberikan atas kebebasan seorang perempuan. Kejahatan perdagangan manusia bukan hanya merusak nilai-nilai asasi manusia, tetapi telah merendahkan derajat manusia. Sebagai salah satu isu HAM, masalah perdagangan anak perempuan seharusnya mendapatkan prioritas penanganan. Pemerintah yang mentoleransi perdagangan manusia sama saja mentoleransi perbudakan. Bagaimanapun, penghapusan mata rantai perdagangan perempuan ini menghadapi kendala. Hal ini karena menyangkut faktor-faktor sosial budaya yang berkait erat dengan konstruksi sosial yang sudah melembaga dan hubungan gender yang asimetris.
Hukum sangat diperlukan untuk dapat melindungi perempuan daripada praktik perdagangan yang merupakan bentukan dari faktor sosial budaya tersebut. Hukum yang diperlukan adalah hukum pidana karena hukum ini dipandang sangat efektif untuk menangani berbagai tindak kejahatan yang menyangkut norma kesusilaan. Ianya bertujuan melindungi kepentingan individu atau hak-hak asasi manusia, serta melindungi kepentingan-kepentingan masyarakat dan negara dengan perimbangan yang serasi dari tindakan tercela di satu pihak dan tindakan penguasa yang sewenang-wenang di lain pihak. KUHP pasal 297 dan UU Perlindungan Anak pasal 83 mengatur secara tegas kebijakan-kebijakan terhadap perdagangan haram ini. Tetapi ianya belum sepenuhnya menjamin perlindungan atas hak-hak perempuan, utamanya yang menyangkut perlindungan atas hak kebebasan perempuan dan kesehatan reproduksi mereka. Hukum tersebut menjadi tidak sensitif gender dan sudah tidak up to date lagi. Oleh itu sudah saatnya pemerintah dan lembaga-lembaga terkait membuat suatu kebijakan atau peraturan hukum yang dapat melindungi kesehatan reproduksi perempuan dalam berbagai kegiatan seksual ilegal, khususnya yang menyangkut perdagangan perempuan untuk tujuan pelacuran.
Fenomena perdagangan perempuan ini telah membuahkan berbagai bentuk eksploitasi yang dialami para migran. Ianya dapat terjadi sejak mereka diberangkatkan dari daerah asal hingga ke negara tujuan dan ketika pemulangan terjadi. Bentuk-bentuk eksploitasi tersebut meliputi pencaloan administrasi, pemberangkatan dan penyelundupan, penipuan atas pekerjaan, pemaksaan pekerjaan, jerat hutang, pelecehan seksual dan pemotongan gaji (Demmallino & Wicaksono 2004). Semua bentuk-bentuk eksploitasi tersebut bercampur aduk antara eksploitasi ekonomi, seksual, fisik dan psikis.
Penipuan
Unsur penipuan terhadap para migran terjadi dalam proses keberangkatan migran dari daerah asal sampai ke daerah tujuan, dan juga sewaktu pemulangannya pun masih tidak luput dari penipuan. Perekrut menipu dengan berbagai macam janji, dari janji mendapatkan pekerjaan yang menghasilkan uang banyak sampai janji untuk mendapatkan bantuan finansial untuk keperluan keluarga calon migran. Biro perjalanan juga menipu melalui percaloan tiket, paspor, penginapan dan KTP. Kemudian pada proses penyebrangan, pihak penyelundup sering berkolusi dengan polisi lintas batas dalam melakukan kegiatan yang merugikan para migran. Sementara itu, pihak penyalur di daerah tujuan menipu pekerja migran dengan menjerumuskan pada pekerjaan ilegal, pemotongan gaji, perlindungan semu bila ada penggrebegan oleh kepolisian setempat, penginapan dan lain-lain.
Pemaksaan pekerjaan sebagai pelacur
Kasus eksploitasi terhadap pekerja migran terjadi pada tataran asusila kerana mereka diperjualbelikan dalam kasus perdagangan perempuan untuk prostitusi. Sebagai contoh, seorang koordinator perekrut yang berhasil menyeberangkan migran ke Malaysia memperoleh keuntungan 2.5 juta rupiah per orang. Jumlah ini belum termasuk royalti per bulan yang besarnya tergantung dari banyaknya pelanggan di Malaysia. Perekrut di daerah asal juga juga memperoleh keuntungan yang besarnya 1.5 juta rupiah per orang. Penadah yang mengelola lokalisasi memperoleh fee secara berjenjang atau berdasar kelas pelacur. Keuntungan terbesar diperoleh ketika seorang penadah mendapat migran yang perawan, yang biasa ditawar dengan harga 6 juta rupiah per orang (harga sebelum krisis moneter).
Pelecehan seksual
Di samping penipuan dan pemaksaan pekerjaan sebagai pelacur, migran sering mendapat pelecehan seksual. Sebagai contoh, seorang pekerja migran perempuan yang mengaku perawan dijual ke cukong seharga 6 juta rupiah dan harus "dites" lebih dahulu oleh cukong tersebut. Bila ternyata perempuan tersebut tidak perawan, maka cukong tidak membayarnya meskipun untuk biaya uji coba. Posisi perempuan menjadi tersudut karena penilaian keperawanan sangat subjektif dari cukong. Kasus pelecehan seksual yang lain yang sering dialami pekerja migran tersebut ialah jika terjadi penggrebegan atau razia oleh Polis Diraja Malaysia. Untuk menghindar dari razia terkadang terdapat beberapa orang pekerja migran ilegal mengaku istri dari seorang laki-laki yang ditunjuk sebagai suami mereka. Sebagai imbalannya lak-laki tersebut harus dibayar dengan sejumlah uang, termasuk didalamnya sogokan ringgit yang harus dibayarkan kepada oknum kepolisian Malaysia dan dibayar dalam bentuk hubungan seks.
Jerat hutang dan pemotongan gaji
Pekerja migran terjerat hutang sejak dari pemberian bantuan dari awal perekrutan, biaya perjalanan, sampai yang bersangkutan belum bekerja di negara tujuan. Seluruh biaya tersebut dihitung sekurang-kurang 2 atau 3 kali lipat dari total pembiayaan. Hutang ini kemudian dicicil melalui pemotongan gaji dalam beberapa bulan bahkan ada yang bertahun-tahun.
Penularan penyakit
Perdagangan perempuan akan memberi dampak yang sangat membimbangkan dari sudut kesehatan dan kesejahteraan rakyat. Ia membawa resiko penyakit kelamin dan HIV/AIDS yang dapat merebak dengan begitu pantas di kalangan masyarakat. Tentu sekali keadaan ini membawa dampak negatif kepada keharmonian kehidupan individu, keluarga pada umumnya dan seterusnya kepada seluruh masyarakat Indonesia-Malaysia. Hakekatnya keadaan ini membawa akibat yang buruk terhadap pembinaan generasi masa depan negara.
UPAYA-UPAYA MEMERANGI PERDAGANGAN PEREMPUAN
Berbagai upaya telah dan sedang dijalankan pemerintah Indonesia untuk memerangi kejahatan perdagangan perempuan, melalui upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan perdagangan perempuan. Rakyat perlu diperjelaskan tentang keseriusan isu perdagangan perempuan dengan segala implikasinya. Transformasi sosial masyarakat merupakan dasar penting kepada pembasmian gejala sosial, yang merangkumi isu perdagangan perempuan. Transformasi itu membawa implikasi bahwa masyarakat akan memiliki pemikiran dan nurani yang mementingkan kesejahteraan manusia, khususnya perempuan, mengatasi kepentingan keuntungan uang dan pemuasan hawa nafsu.
Untuk mencegah terjadinya perdagangan perempuan maka beberapa program perlu dilancarkan seperti program ekonomi, penyebarluasan informasi, dan akses pendidikan di wilayah rentan. Masyarakat daerah asal migran perlu diberdayakan ke arah pemahaman tentang prosedur ketenagakerjaan. Pihak Depnaker setempat harus memainkan perannya lebih aktif bersama-sama secara terpadu dengan pihak terkait (tokoh adat, agama, budaya, pemintah tingkat desa/kelurahan setempat) termasuk biro travel untuk membenahi segala kemungkinan bentuk eksploitasi pada calon migran maupun keluarganya.
Pemerintah juga perlu membenahi semua lini proses pemberangkatan dan penempatan pekerja migran oleh birokrat atau swasta. Peran swasta yang dominan didalam penempatan pekerja migran justru perlu dikurangkan karena selama ini mereka selalu lepas tanggung jawab apabila muncul persoalan di lapangan.
Mengikut harian Pikiran Rakyat (2005), upaya-upaya penghapusan kejahatan perdagangan perempuan di Indonesia agaknya masih setengah hati dan memprihatinkan. Demikian juga dukungan pemerintah terhadap penegakan hak asasi perempuan dan anak-anak masih sebatas politis, belum sampai pada tahap implementasinya. Secara politis Indonesia sudah banyak meratifikasi berbagai kesepakatan dunia mengenai diskriminasi gender dan penghapusan perdagangan perempuan. Akan tetapi implementasinya belum optimal. Belum ada langkah jelas dan nyata seperti dalam bentuk kontrak sosial pemerintah dengan masyarakatnya.
Perlu adanya ketegasan dari pemerintah pusat sampai daerah sebagai negara yang ikut meratifikasi agar ada jaminan terhadap ditegakkannya hak asasi perempuan, yakni dengan tindakan hukum dan sanksi keras untuk menghapus perdagangan perempuan. Kepolisian Republik Indonesia masih kesulitan mengatasi kasus perdagangan manusia karena instrumen hukum yang tersedia tidak mencukupi untuk menanggapi kompleksitas kejahatan perdagangan haram ini. Sebelum tahun 2007, UU yang paling relevan dalam kejahatan perdagangan tersebut adalah UU KUHP pasal 297 dan UU Perlindungan Anak pasal 83. Beberapa aspek penting yang tidak memadai dalam perundang-undangan tersebut meliputi definisi, sistem pembuktian kejahatan dan perlindungan korban. UU tersebut tidak memberikan definisi yang jelas mengenai perdagangan manusia sehingga telah membawa masalah serius dalam penerapan kedua UU tersebut dalam kasus yang seharusnya dikategorikan sebagai perdagangan manusia. Di lapangan banyak juga ditemukan bantuk-bentuk kejahatan lebih spesifik yang tidak mampu dijerat oleh pasal-pasal dalam UU tersebut, misalnya modus jeratan hutang.
Pemidanaan praktik serupa perdagangan manusia dalam UU yang ada lebih fokus kepada kejahatan perorangan, padahal nyata sekali perdagangan haram ini merupakan kejahatan terorganisir. Secara teknis hukum, penyelidikan dan penyidikan kejahatan perorangan dan terorganisir seharusnya berbeda. UU yang ada juga tidak menyediakn bantuan yang memadai bagi korban. Seharusnya ada bantuan untuk korban yang wajib diberikan menurut UU misalnya penangan luka jasmani dan trauma, klaim atas hak sebagai pekerja dan kemudahan berurusan dengan proses hukum sebagai korban tindak pidana.
Dalam hal menangani perdagangan perempuan, Pemerintah Thailand lebih maju dibanding Indonesia. Mereka telah mempunyai instrumen HAM nasional di bidang perlindungan dan penegakan hukum terhadap pelanggaran hak asasi manusia sebagai akibat perdagangan perempuan dan anak yaitu Undang-Undang Pencegahan dan Pelarangan terhadap Prostitusi tahun 1996 (Ditjen Ham, 2003). Indonesia sendiri, baru pada awal tahun 2007 ini mempunyai Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO No 21/2007). Undang-undang ini agaknya sudah menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam undang-undang sebelumnya yang berkaitan dengan perdagangan perempuan seperti KUHP pasal 297 dan UU Perlindungan Anak pasal 83. Sanksi hukumannya pun lebih berat, yakni hukuman penjara antara 3 sampai 15 tahun atau denda Rp 120 juta hingga Rp 600 juta bagi oknum yang tertangkap akibat melakukan kegiatan perdagangan perempuan. Bagaimanapun, efektifitas dari peraturan perundang-undangan tersebut sangat bergantung pada pelaksanaannya oleh aparat penegak hukum, polisi dan instansi terkait. Kekurangan kesadaran atas kerjasama aparat penegak hukum serta kolusi antara penegak hukum dengan sindikat kriminal sering dinyatakan sebagai faktor-faktor yang menghalangi efektifitas upaya penegakan hukum.
Panduan (guidelines) tentang pekerja migran mengenai pengaturan standar gaji minimum, hak pekerja dan perlindungan pekerja migran sampai saat ini belum tersedia. Untuk itu perlu dibuat perundingan kerjasama antara Menteri Tenaga Kerja Indonesia dan Malaysia. Dalam perundingan tersebut juga harus mengikutsertakan para pengusaha, terutama pengusaha pemasok pekerja migran dan para pengurus konfederasi Serikat Pekerja. Perundingan ini memang sangat berat, apalagi banyak perusahaan pengerah tenaga kerja adalah milik pejabat kerajaan Malaysia. Kesepakatan ini tentunya akan menyebabkan keuntungan mereka berkurang. Bagaimanapun, perundingan ini perlu diwujudkan untuk melindungi pekerja migran dari jeratan perdagangan manusia.
Pemerintah Malaysia sampai saat ini juga belum memiliki UU Anti Perdagangan Manusia. Oleh itu pekerja migran tanpa dokumen yang bekerja di Malaysia menjadi rawan kriminalisasi. Pihak Indonesia dapat mengatakan bahwa pekerja migran ilegal tersebut merupakan korban perdagangan manusia karena Indonesia mempunyai UU 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Bagaimanapun, di Malaysia, pekerja migran tersebut justru dikatakan melanggar hukum dan boleh ditahan Polis Diraja Malaysia. MoU antara pemerintah Indonesia dan Malaysia mengenai pekerja migran juga berpotensi menjurus kepada perdagangan manusia, karena majikan boleh menahan paspor buruh migran. Mereka yang kabur karena tidak tahan dengan siksaan majikan malah dianggap pelanggar keimigrasian, seperti dalam kasus Ceriyati (Ramadhanny 2007). Sudah saatnya MoU tersebut dikaji ulang. Pemerintah Indonesia juga perlu menghimbau secara tegas kepada kerajaan Malaysia melalui posisi Indonesia di ASEAN dan Dewan HAM PBB, untuk segera membuat UU Anti Perdagangan Manusia agar kedua negara dapat sepaham untuk melindungi buruh migran.
RUMUSAN
Perdagangan perempuan adalah pelanggaran hak asasi manusia. Pada dasarnya, perdagangan perempuan melanggar hak asasi universal manusia untuk hidup, merdeka, dan bebas dari semua bentuk perbudakan.
Perdagangan perempuan meningkatkan kerusakan sosial. Perdagangan ini merenggut anak secara paksa dari orang tua dan keluarga mereka, menghalangi pengasuhan dan perkembangan moral mereka, mengganggu jalannya pengetahuan dan nilai-nilai budaya dari orang tua kepada anaknya dan dari generasi ke generasi, yang membangun pilar utama masyarakat. Keuntungan dari perdagangan haram ini seringkali membuatnya mengakar di masyarakat-masyarakat tertentu, yang kemudian dieksploitasi secara berulang-ulang sebagai sumber yang siap menjadi korban.
Perdagangan perempuan menghilangkan sumber daya manusia. Perdagangan ini memiliki dampak negatif pada pasar tenaga kerja, yang menimbulkan hilangnya sumber-sumber daya manusia yang tidak dapat diperoleh kembali. Perdagangan haram ini menciptakan generasi yang terbelakang dalam hal pendidikan yang selanjutnya mengakibatkan hilangnya produktifitas dan kekuatan pendapatan di masa mendatang. Keadaan ini memperkuat putaran kemiskinan dan buta huruf yang memperlambat perkembangan nasional.
Perdagangan perempuan merusak kesehatan masyarakat. Para korban perdagangan seringkali mengalami kondisi yang menyakitkan diakibatkan kerana trauma fisik, seksual dan psikologis. Infeksi-infeksi yang ditularkan melalui hubungan seksual, penyakit kelamin dan HIV/AIDS seringkali merupakan akibat dari prostitusi yang dipaksakan. Kegelisahan, insomnia, depresi dan penyakit pasca traumatis stres adalah wujud psikologis umum di antara para korban.
Perdagangan perempuan menumbangkan wibawa pemerintah. Pemerintah telah berjuang untuk melaksanakan kendali penuh atas teritori nasional mereka tetapi amalan korupsi melemahkannya. Para pelaku perdagangan perempuan mengancam keamanan penduduk yang rentan dan lebih lanjut merusak usaha-usaha pemerintah untuk menggunakan wewenangnya. Selain itu, uang suap yang dibayarkan oleh para pelaku perdagangan menghalangi kemampuan pemerintah untuk memerangi korupsi yang dilakukan diantara para petugas penegak hukum, pejabat imigrasi dan pejabat pengadilan.
Pemerintah perlu mengambil langkah nyata untuk menindak tegas oknum-oknum yang terlibat dalam mata rantai perdagangan perempuan, dari calo, germo, PJTKI yang nakal, biro travel, aparat imigrasi, aparat penegak hukum, penadah dan sebagainya. Jangan sampai negara ini terus menerus tercoreng hanya karena tidak mampu mengurus pekerja migran yang merupakan pahlawan bangsa yang sebenar-benarnya.
RUJUKAN
Atmanto, I.A. dan Barus, D.M. 2007. Perdagangan manusia: dalam cengkeraman bapak ayam. Gatra no 30. 7 Juni
Baran, P. 1957. The political economy of growth. Monthly Review Press
Darwin, Mujahidir. 2003. Pekerja migran dan seksualitas. Yogya : PSKK UGM
Demmallino, E.B. dan Wicaksono, B. 2004. Utang budaya perempuan tana Toraja. Yogya : PSKK UGM
Ditjen HAM, 2003. Tinjauan trafficking di Thailand. http://www.ham.go.id/index_HAM (25/6/2007)
Farid, Muhammad. 2000. Perdagangan ("trafficking") anak dan perempuan : masalah definisi. Yogyakarta.
Frank, A.G. 1978. Dependent accululation and underdevelopment. London : The MacMillan Press Ltd.
Global Alliance Against Trafficking Women (GAATW), 1997. Practical guide to assisting trafficked women, Bangkok
Imelda, J.D. et al. 2004. Utang selilit pinggang : sistem ijon dalam perdagangan anak perempuan. Yogya : PSKK UGM
Mantra, I.B et al. 1999. Mobilitas tenaga kerja Indonesia ke Malaysia : studi kasus. Yogya : PSKK UGM
Pigay, N. 2005. Migrasi dan penyelundupan manusia.
http://www.nakertrans.go.id (27/3/2007)
Pikiran Rakyat. 2005. 24 Pebruari
Ramadhanny, F.2007. TKI di Malaysia rawan kriminalisasi. http//www.detik.com (28/6/2007)
Setyowati, Lugina. 1999. The government policy on prostitusion, a study of policy making in Indonesia, (Thesis for Master of Arts), Melbourne : Monash University
Sikwan, A dan Triastuti, M.R.H. 2004. Tragedi perdagangan amoi Singkawang. Yogya : PSKK UGM
Soesilo, R. 1994. Kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) serta komentar-komentarnya. Bogor : Politica
Yasir, Muhammad Alimi. 1999. Advokasi hak-hak perempuan membela hak mewujudkan perubahan. Yogya : LKIS
*) Dosen di Universitas Indonusa Esa Unggul Jakarta. Email : nratnawati@yahoo.com