Senin, 15 Agustus 2011
LOKAKARYA SGPP KEV.TORAJA
LOKAKARYA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
SE-KEVIKEPAN TORAJ
=IKAR Rantepao, 13-14 Agustus 2011=
Pemberdayaan perempuan merupakan salah satu tema menarik yang pada akhir-akhir ini banyak dibicarakan. Di mana-mana muncul kelompok-kelompok, entah atas nama LSM atau kategorial, yang mencoba menyuarakan perempuan. Rupanya semakin disadari oleh banyak pribadi dan atau kelompok bahwa laki-laki dengan perempuan adalah dua mahluk yang diciptakan sederajat dan semartabat, yang oleh konstruksi budaya patriarki disetir menjadi dua mahluk yang berbeda kelas; dimana laki-laki merupakan warga negara kelas satu sementara perempuan titempatkan pada warga negara kelas dua. Barangkali terlalu ekstrim kalau dikatakan bahwa selama berabad-abad kehadiran perempuan tidak lain hanya sebagai pelengkap bagi “manusia” laki-laki.
Atas kesadaran bahwa dua mahluk (laki-laki dan perempuan) sesungguhnya merupakan dua pribadi yang sederajat dan semartabat itulah yang memanggil banyak orang dalam satu team-kelompok pemberdayaan perempuan di wilayah Gereja lokal kevikepan Toraja untuk mencoba mengangkat kembali isu kesetaraan gender. Persoalan yang muncul bahwa banyak orang atau kelompok yang berbicara tentang kesetaraan gender atau ketidak adilan gender tetapi sesungguhnya yang bersangkutan sendiri tidak paham dan mengerti tentang gender itu sendiri. Tidak jarang ketika berbicara mengenai gender, konotasi seseorang langsung pada perlakuan tidak adil kepada perempuan. Padahal ketika kita berbicara mengenai gender, sesungguhnya yang dimaksudkan adalah perjuangan kesamaan martabat antara laki-laki dengan perempuan. Berbicara mengenai gender berarti berbicara mengenai martabat manusia, yakni manusia laki-laki dan manusia perempuan. Karena kurangnya pemahaman dan pengertian tentang gender tersebut maka Gereja lokal kevikepan Toraja yang dimotori oleh team pemberdayaan perempuan keuskupan Agung Makassar mengadakan lokakarya dua hari penuh di Pusat Pastoral IKAR Rantepao pada tanggal 13-14 Agustus 2011. Lokakarya ini berjalan dengan baik. Lokakarya yang dibuka resmi oleh Vikep Toraja, P. Frans Arring, Pr. dihadiri 38 peserta. Yang merupakan perwakilan-perwakilan dari 11 paroki (kecuali paroki Sto. Antonius Rembon) di wilayah kevikepan Toraja.
Dalam lokakarya ini para pemateri memaparkan fakta ketidakadilan gender yang terjadi dalam masyarakat. Sesi pertama diisi oleh dua pembicara dari dinas pemberdayaan perempuan Tana Toraja (Mariana Belo) dan dari Toraja Utara (Mery Kubu, SH). Keduanya memaparkan data kekerasan dan perlakuan tidak adil kepada perempuan di wilayah Tana Toraja dan Toraja Utara. Menurut mereka, kasus yang sempat sampai ke kepolisian setempat menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun kasus perlakuan kasar (pemerkosaan, cabul, kekerasan dalam rumah tangga, dan penculikan anak gadis) semakin meningkat.
Setelah pemaparan dari ibu Mery Kubu, SH dan ibu Mariana Belo, sesi kedua diisi oleh P. Chris Sumarandak, MSC., selaku salah satu team SGPP (Sekertariat Gender Pemberdayaan Perempuan) Keuskupan Agung Makassar. Dalam session yang dibawakan dengan sangat hidup ini, Bapak Vikep, demikian sapaan akrab P. Chris, MSC., memaparkan bagaimana Gender dan Permasalahannya. Dengan gayanya yang sangat blak-blakan dan kadang-kadang diselingi dengan humor, beliau mampu membuat para peserta lokakarya untuk merasa gelisah dengan fakta ketidakadilan gender dalam masyarakat. “Kerap kali kita salah mengerti tentang gender, bahwa itu masalah perempuan. Sesungguhnya ketika berbicara mengenai gender kita berbicara mengenai ketidakadilan baik laki-laki maupun perempuan. Gender bukan saja persoalan perempuan tetapi menyangkut persoalan perendahan martabat manusia” tegasnya. P. Chris, MSC., yang juga adalah Vikep Luwu Raya ini beberapa kali mengulang kata-kata, “Nanti kalau Santo Petrus meminta kita masuk ke surga, dia tidak akan bilang bahwa yang duluan masuk adalah kelompok bapak-bapak setelah itu nanti kelompok ibu-ibu. Tidak,” tandasnya.
Sebelum sesi selanjutnya, ibu Lusi dari SGPP Makassar memaparkan data penjualan (trafficking) perempuan dari Indonesi ke luar negeri, khususnya ke Malaysia. Dan yang membuat para peserta lokakarya terperanga adalah data tentang perempuan Toraja yang diekspor ke luar negeri tersebut. Ibu Lusi Lamba’ memaparkan bahwa Tana Toraja dan Toraja Utara merupakan salah satu daerah pemasok perempuan yang kemudian dijadikan objek seks komersial di luar negeri. Karena itu ia menghimbau supaya hal ini tidak dicuekin, tetapi harus disikapi secara serius.
Setelah makan siang, sesi berikut diisi oleh P. Yans Paganna’, Pr. Dalam sesi ini, P. Yans, Pr., yang sekarang bertugas selaku pastor paroki Bokin-Tombang Lambe’ Toraja Utara, menyihir para peserta yang sudah mulai mengantuk dengan tema “Perempuan Toraja dan Budaya Siri’”. Dengan bahasa Torajanya yang sangat baik, beliau mengupas dalam tentang sejarah lahirnya manusia Toraja menurut versi To Manurun di Langi’, di mana laki-laki dan perempuan diciptakan sederajat dan semartabat. “Kalau kita melihat sejarah to manurun di langi’-kisah penciptaan manusia Toraja, sebetulnya tidak berbeda dengan Kitab Kejadian yang melihat laki-laki dan perempuan sebagai dua mahluk yang sederajat. Lalu mengapa dalam masyarakat perempuan menjadi mahluk kelas dua? Tidak lain karena budaya kita lebih dikendalikan oleh budaya patriarki. Dan celakanya bahwa perempuan seolah-olah diam dan tidak bersuara” katanya.
Pastor Yans yang sore itu tampil dengan batik biru menggarisbawahi pesan lelurur orang Toraja mengenai siri’ dan longko’ (budaya malu). “Naposiri’ iyanna Toraya ke umbala’-bala’kik kaleta, sia napolongko’ iyanna to ma’rapunta ke umpogau’ki penggauran kadake” (Orang Toraja itu sangat malu kalau saja ia merusak dirinya sendiri dengan cara-cara yang tidak baik, dan keluarga besar juga itu malu kalau ada kerabatnya yang hidup tidak benar). P. Yans, Pr., menutup materinya dengan kata-kata, “Semahal apa pun harga manusia, ia tidak pernah boleh di nilai dengan uang. Karena kalau manusia sudah dinilai dengan uang, maka ia tidak ada bedanya lagi dengan kerbau atau tedong di pasar Bolu Rantepao.
Sessi sore hari masih dilanjutkan oleh P. Yans, Pr., dengan tema “Perempuan dalam Kitab Suci”. Dalam sesi ini pastor yang energik itu kembali memaparkan kisah Kitab Suci yang membuat para peserta terperangah. “Siapa bilang perempuan dinomorduakan atau disepelehkan dalam Kitab Suci. Hanya bahwa masing-masing; baik itu laki-laki maupun perempuan mengambil perannya sendiri-sendiri” katanya. “Jelas kokh dalam Kitab Suci, bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan sebagai penolong yang sepadan. Karena itu sebetulnya dan seharusnya tidak boleh ada istilah bos dan anak buah dalam keluarga. Kalau pun terpaksa pakai istilah itu, maka seharusnya dua-duanya bos dan dua-duanya anak buah” tambahnya.
Malam hari setelah makan malam lokakarya yang dihadiri juga oleh Sekertaris Eksekutif SGPP KWI, Sr. Anna, SFS., dari Jakarta ini mengajak para peserta untuk menyaksikan dua film singkat tentang penjualan perempuan dan kekerasan dalam rumah tangga.
Pada hari kedua, pagi sampai siang hari diisi dengan presentasi program enam bulan ke depan dari masing-masing paroki yang hadir dalam lokakarya tersebut. Setelah presentasi dari masing-masing perwakilan paroki, P. Yans, Pr., selaku ketua panita lokakarya tersebut mengajak para peserta untuk membentuk team SGPP Kevikepan Toraja. Siang itu terbentuklah Team SGPP (Sekertariat Gender Pemberdayaan Perempuan) wilayah Kevikepan Toraja sebagai berikut:
Ketua :
Wakil etua :
Sekertaris I :
Wakil II :
Bendahara :
Bidang-bidang seksi
1. Seksi
2. Seksi
3. Seksi
4. Seksi
Lokakarya dua hari full SGPP Kevikepan Toraja itu ditutup dengan Misa Penutup di kapel Puspas IKAR Rantepao, yang dipimpin oleh P. Yans Paganna’, Pr., selaku koordinator SGPP Kevikepan Toraja dan didampingi oleh Vikep Luwu Raya, P. Chris Sumarandak, MSC., selaku anggota team SGPP Keuskupan Agung Makassar. Dalam homilinya, P. Yans, Pr., menggarisbawahi kata-kata Santo Paulus dalam bacaan kedua pada Minggu itu,....”dan musuh terakhir yang ditaklukkan Yesus adalah maut”. Beliau mengarahkan umat untuk melihat kejahatan dan ketidakadilan terhadap perempuan sebagai musuh bersama yang harus dihadapi dengan bergandengan tangan, baik selaku Gereja lokal kevikepan Toraja maupun selaku Gereja semesta dan masyarakat di manapun Gereja hadir.***
Bokin-Toraja Utara,
Hari Raya Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga
P. Yans Paganna’, Pr
Koordinator SGPP Kevikepan Toraja).
LOKAKARYA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
SE-KEVIKEPAN TORAJ
=IKAR Rantepao, 13-14 Agustus 2011=
Pemberdayaan perempuan merupakan salah satu tema menarik yang pada akhir-akhir ini banyak dibicarakan. Di mana-mana muncul kelompok-kelompok, entah atas nama LSM atau kategorial, yang mencoba menyuarakan perempuan. Rupanya semakin disadari oleh banyak pribadi dan atau kelompok bahwa laki-laki dengan perempuan adalah dua mahluk yang diciptakan sederajat dan semartabat, yang oleh konstruksi budaya patriarki disetir menjadi dua mahluk yang berbeda kelas; dimana laki-laki merupakan warga negara kelas satu sementara perempuan titempatkan pada warga negara kelas dua. Barangkali terlalu ekstrim kalau dikatakan bahwa selama berabad-abad kehadiran perempuan tidak lain hanya sebagai pelengkap bagi "manusia" laki-laki.
Atas kesadaran bahwa dua mahluk (laki-laki dan perempuan) sesungguhnya merupakan dua pribadi yang sederajat dan semartabat itulah yang memanggil banyak orang dalam satu team-kelompok pemberdayaan perempuan di wilayah Gereja lokal kevikepan Toraja untuk mencoba mengangkat kembali isu kesetaraan gender. Persoalan yang muncul bahwa banyak orang atau kelompok yang berbicara tentang kesetaraan gender atau ketidak adilan gender tetapi sesungguhnya yang bersangkutan sendiri tidak paham dan mengerti tentang gender itu sendiri. Tidak jarang ketika berbicara mengenai gender, konotasi seseorang langsung pada perlakuan tidak adil kepada perempuan. Padahal ketika kita berbicara mengenai gender, sesungguhnya yang dimaksudkan adalah perjuangan kesamaan martabat antara laki-laki dengan perempuan. Berbicara mengenai gender berarti berbicara mengenai martabat manusia, yakni manusia laki-laki dan manusia perempuan. Karena kurangnya pemahaman dan pengertian tentang gender tersebut maka Gereja lokal kevikepan Toraja yang dimotori oleh team pemberdayaan perempuan keuskupan Agung Makassar mengadakan lokakarya dua hari penuh di Pusat Pastoral IKAR Rantepao pada tanggal 13-14 Agustus 2011. Lokakarya ini berjalan dengan baik. Lokakarya yang dibuka resmi oleh Vikep Toraja, P. Frans Arring, Pr. dihadiri 38 peserta. Yang merupakan perwakilan-perwakilan dari 11 paroki (kecuali paroki Sto. Antonius Rembon) di wilayah kevikepan Toraja.
Dalam lokakarya ini para pemateri memaparkan fakta ketidakadilan gender yang terjadi dalam masyarakat. Sesi pertama diisi oleh dua pembicara dari dinas pemberdayaan perempuan Tana Toraja (Mariana Belo) dan dari Toraja Utara (Mery Kubu, SH). Keduanya memaparkan data kekerasan dan perlakuan tidak adil kepada perempuan di wilayah Tana Toraja dan Toraja Utara. Menurut mereka, kasus yang sempat sampai ke kepolisian setempat menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun kasus perlakuan kasar (pemerkosaan, cabul, kekerasan dalam rumah tangga, dan penculikan anak gadis) semakin meningkat.
Setelah pemaparan dari ibu Mery Kubu, SH dan ibu Mariana Belo, sesi kedua diisi oleh P. Chris Sumarandak, MSC., selaku salah satu team SGPP (Sekertariat Gender Pemberdayaan Perempuan) Keuskupan Agung Makassar. Dalam session yang dibawakan dengan sangat hidup ini, Bapak Vikep, demikian sapaan akrab P. Chris, MSC., memaparkan bagaimana Gender dan Permasalahannya. Dengan gayanya yang sangat blak-blakan dan kadang-kadang diselingi dengan humor, beliau mampu membuat para peserta lokakarya untuk merasa gelisah dengan fakta ketidakadilan gender dalam masyarakat. "Kerap kali kita salah mengerti tentang gender, bahwa itu masalah perempuan. Sesungguhnya ketika berbicara mengenai gender kita berbicara mengenai ketidakadilan baik laki-laki maupun perempuan. Gender bukan saja persoalan perempuan tetapi menyangkut persoalan perendahan martabat manusia" tegasnya. P. Chris, MSC., yang juga adalah Vikep Luwu Raya ini beberapa kali mengulang kata-kata, "Nanti kalau Santo Petrus meminta kita masuk ke surga, dia tidak akan bilang bahwa yang duluan masuk adalah kelompok bapak-bapak setelah itu nanti kelompok ibu-ibu. Tidak" tandasnya.
Sebelum sesi selanjutnya, ibu Lusi dari SGPP Makassar memaparkan data penjualan (trafficking) perempuan dari Indonesi ke luar negeri, khususnya ke Malaysia. Dan yang membuat para peserta lokakarya terperanga adalah data tentang perempuan Toraja yang diekspor ke luar negeri tersebut. Ibu Lusi Lamba' memaparkan bahwa Tana Toraja dan Toraja Utara merupakan salah satu daerah pemasok perempuan yang kemudian dijadikan objek seks komersial di luar negeri. Karena itu ia menghimbau supaya hal ini tidak dicuekin, tetapi harus disikapi secara serius.
Setelah makan siang, sesi berikut diisi oleh P. Yans Paganna', Pr. Dalam sesi ini, P. Yans, Pr., yang sekarang bertugas selaku pastor paroki Bokin-Tombang Lambe' Toraja Utara, menyihir para peserta yang sudah mulai mengantuk dengan tema "Perempuan Toraja dan Budaya Siri'". Dengan bahasa Torajanya yang sangat baik, beliau mengupas dalam tentang sejarah lahirnya manusia Toraja menurut versi To Manurun di Langi', di mana laki-laki dan perempuan diciptakan sederajat dan semartabat. "Kalau kita melihat sejarah to manurun di langi'-kisah penciptaan manusia Toraja, sebetulnya tidak berbeda dengan Kitab Kejadian yang melihat laki-laki dan perempuan sebagai dua mahluk yang sederajat. Lalu mengapa dalam masyarakat perempuan menjadi mahluk kelas dua? Tidak lain karena budaya kita lebih dikendalikan oleh budaya patriarki. Dan celakanya bahwa perempuan seolah-olah diam dan tidak bersuara" katanya.
Pastor Yans yang sore itu tampil dengan batik biru menggarisbawahi pesan lelurur orang Toraja mengenai siri' dan longko' (budaya malu). "Naposiri' iyanna Toraya ke umbala'-bala'kik kaleta, sia napolongko' iyanna to ma'rapunta ke umpogau'ki penggauran kadake" (Orang Toraja itu sangat malu kalau saja ia merusak dirinya sendiri dengan cara-cara yang tidak baik, dan keluarga besar juga itu malu kalau ada kerabatnya yang hidup tidak benar). P. Yans, Pr., menutup materinya dengan kata-kata, "Semahal apa pun harga manusia, ia tidak pernah boleh di nilai dengan uang. Karena kalau manusia sudah dinilai dengan uang, maka ia tidak ada bedanya lagi dengan kerbau atau tedong di pasar Bolu Rantepao.
Sessi sore hari masih dilanjutkan oleh P. Yans, Pr., dengan tema "Perempuan dalam Kitab Suci". Dalam sesi ini pastor yang energik itu kembali memaparkan kisah Kitab Suci yang membuat para peserta terperangah. "Siapa bilang perempuan dinomorduakan atau disepelehkan dalam Kitab Suci. Hanya bahwa masing-masing; baik itu laki-laki maupun perempuan mengambil perannya sendiri-sendiri" katanya. "Jelas kokh dalam Kitab Suci, bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan sebagai penolong yang sepadan. Karena itu sebetulnya dan seharusnya tidak boleh ada istilah bos dan anak buah dalam keluarga. Kalau pun terpaksa pakai istilah itu, maka seharusnya dua-duanya bos dan dua-duanya anak buah" tambahnya.
Malam hari setelah makan malam lokakarya yang dihadiri juga oleh Sekertaris Eksekutif SGPP KWI, Sr. Anna, SFS., dari Jakarta ini mengajak para peserta untuk menyaksikan dua film singkat tentang penjualan perempuan dan kekerasan dalam rumah tangga.
Pada hari kedua, pagi sampai siang hari diisi dengan presentasi program enam bulan ke depan dari masing-masing paroki yang hadir dalam lokakarya tersebut. Setelah presentasi dari masing-masing perwakilan paroki, P. Yans, Pr., selaku ketua panita lokakarya tersebut mengajak para peserta untuk membentuk team SGPP Kevikepan Toraja. Siang itu terbentuklah Team SGPP (Sekertariat Gender Pemberdayaan Perempuan) wilayah Kevikepan Toraja sebagai berikut:
Ketua :
Wakil etua :
Sekertaris I :
Wakil II :
Bendahara :
Bidang-bidang seksi
- Seksi
- Seksi
- Seksi
- Seksi
Lokakarya dua hari full SGPP Kevikepan Toraja itu ditutup dengan Misa Penutup di kapel Puspas IKAR Rantepao, yang dipimpin oleh P. Yans Paganna', Pr., selaku koordinator SGPP Kevikepan Toraja dan didampingi oleh Vikep Luwu Raya, P. Chris Sumarandak, MSC., selaku anggota team SGPP Keuskupan Agung Makassar. Dalam homilinya, P. Yans, Pr., menggarisbawahi kata-kata Santo Paulus dalam bacaan kedua pada Minggu itu,...."dan musuh terakhir yang ditaklukkan Yesus adalah maut". Beliau mengarahkan umat untuk melihat kejahatan dan ketidakadilan terhadap perempuan sebagai musuh bersama yang harus dihadapi dengan bergandengan tangan, baik selaku Gereja lokal kevikepan Toraja maupun selaku Gereja semesta dan masyarakat di manapun Gereja hadir.***
Bokin-Toraja Utara,
Hari Raya Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga
P. Yans Paganna', Pr
(Koordinator SGPP Kevikepan Toraja).
Jumat, 12 Agustus 2011
subjek objek
Menggugat Pendampingan OMK Model Hubungan Subjek – Objek
(Otokritik Atas Pendampingan Kaum Muda)
Pengantar
“Jangan pernah menjadi tua sebelum pernah menjadi muda”, adalah kalimat klise yang bernada provokatif untuk orang muda supaya sungguh-sungguh mengalami masa mudanya dengan penuh kebahagiaan. Persoalannya adalah bagaimana menjadi muda sebelum menjadi tua? Karena tidak sedikit dari orang muda yang menghabiskan masa mudanya dengan mencoba hidup dengan gaya hedonistik.
Berhadapan dengan orang muda ini, Gereja sering tampil sebagai “the guardian angel”, tetapi dengan penuh kerendahan hati di sini saya harus mengatakan bahwa tidak jarang niat baik Gereja itu gagal karena cara pendampingan yang keliru. Pada saat itulah para pendamping akan melagukan lagu lama, “Kalau orang muda seperti ini, masa depan Gereja akan suram,...”. Pertanyaannya siapakah dan atau apakah yang keliru?
Sharing saya ini saya beri judul, “Menggugat pendampingan model hubungan subjek-objek.” Lewat tulisan yang saya angkat dari pengalaman pribadi dalam hidup bersama teman-teman muda lainnya, saya ingin mengkritik model pendampingan yang selama ini diterapkan untuk kaum muda, yakni pendampingan dengan model hubugnan subjek-objek.
Belajar dari kesalahan
Tahun lalu saya mengambil satu mata kuliah tentang orang muda. Pertanyaan pertama dari dosen pengampuh kepada para mahasiswanya adalah, “Apa alasan Anda mengambil kuliah kaum muda ini?” Alasan yang muncul sejumlah mahasiswa yang hadir pada hari itu. Alasan yang saya berikan sempat membuat dosen saya terkejut karena tidak sesuci dengan alasan rekan saya yang lain. “Saya mengambil kuliah ini karena saya sakit hati dengan cara pendampingan orang muda sekarang yang cenderung menindas dan memasung kebebasan kaum muda,…” kataku ketika diberi kesempatan untuk mengemukakan alasan saya mengambil kuliah kaum muda tersebut.
Pada akhir perkuliahan mata kuliah tentang kaum muda itu, saya tampil mempresentasikan makalah saya dengan judul, “Mencari format yang tepat untuk pendampingan orang muda”. Inti makalah saya itu kurang-lebih sama dengan apa yang saya sharingkan dalam tulisan ini, yakni merevisi cara pendampingan lama yang cenderung menerapkan model hubugnan subjek-objek menjadi model hubungan subjek-subjek. Artinya, merevisi cara pendampingan dengan konsep bahwa pendamping dilihat sebagai subjek yang memiliki segala-galanya, yang siap mentransper apa yang dimilikinya tersebut kepada orang muda sebagai objek yang tidak tahu apa-apa. Konsep seperti inilah yang menurut saya keliru. Maka saya menawarkan suatu tawaran pendampingan yang sebetulnya bukan hal baru, hanya saja jarang sekali dipakai, yakni melihat kaum muda sebagai subjek. Dalam arti bahwa baik pendamping maupun yang didampingi (kaum muda) sama-sama berperan sebagai subjek.
Tawaran ini bukan berangkat dari konsep teoritis belaka. Tawaran ini saya angkat berangkat dari pengalaman pribadi mendampingi kaum muda di pedalaman Sulawesi sana. Ketika saya baru diminta untuk menjadi pendamping kaum muda, kecenderungan saya adalah menerapkan model pendampingan hubungan subjek-objek. Di mana tim pendampin yang saya bentuk diformat sedemikian rupa sebagai pendamping yang memiliki segala-galanya dengan harapan bisa mentranspernya kepada teman-teman yang didampingi. Awalnya model pendampingan ini seolah-olah menuai sukses, tetapi setelah melihat lebih jauh ternyata yang terjadi adalah kerugian. Saya tidak tahu betapa banyak waktu yang kami habiskan untuk memformat para pendamping sebagai ‘subjek’ yang siap pakai. Belum terhitung jumlah materi yang habis untuk itu. Semua berakhir dengan kekecewaan. Orang-orang muda yang didampingi pada lari, karena merasa tidak mendapatkan apa-apa.
Saya lalu mencoba mencari titik lemahnya dari pendampingan tersebut. Akhirnya saya melihat bahwa titik lemahnya terletak pada hubungan pendamping dengan yang didampingi. Kekeliruan saya adalah menerapkan metode hubungan subjek-objek.
Berangkat dari kesadaran tersebut maka, saya kemudian mengubah format pendampingan dengan model hubungan subjek-subjek. Dalam pertemuan-pertemuan rutin mingguan yang sudah hampir mati itu, saya selalu bertanya kepada mereka (bukan lagi kepada pendamping), kira-kira apa yang bisa kita lakukan. Jadi bukan lagi ide itu datang dari saya atau dari tim yang telah saya bentuk, tetapi mencoba mencari ide itu dari mereka. Bahkan tidak jarang secara spontan saya menunjuk mereka untuk mengkoordinir rekan-rekan mereka dalam merencanakan sesuatu. Singkatnya saya menghargai mereka semua bisa melakukan sesuatu hal yang positif.
Dengan cara ini saya ingin mengubah format lama yang saya sadari sangat keliru itu. Dalam waktu beberapa minggu saja, saya melihat perubahan yang sangat besar pada orang-orang muda itu. Perkumpulan-perkumpulan kembali hidup.
Refleksi Singkat
Lagu lama yang kerap terdengar tentang Kaum Muda adalah, :”Orang muda zaman sekarang tidak lagi seperti orang-orang muda zaman dulu”. Ada nada pessimis dari Kaum Muda tempo doeloe terhadap perkembangan Kaum Muda sekarang. Apakah memang faktanya demikian?
Minat Kaum Muda angkatan Mgr. Soegijopranoto dan bapak Kasimo Cs sudah sangat berbeda dengan minat Kaum Muda sekarang. Sejarah bangsa kita menunjukkan bahwa Kaum Muda Katolik tempo doeloe cukup berjasa dalam pemerintahan. Sekolah-sekolah Katolik di tanah Jawa, Sumatra, Flores dan Sulawesi juga ikut menyumbangkan banyak tenaga (Kaum Muda Katolik dan non-Katolik) yang handal bagi bangsa ini. Atmosphere Indonesia era tahun empat puluhan sampai tahun tujuh-puluhan seolah memaksa Kaum Muda untuk terjun dalam ranah politik. Maka bisa dipahami bahwa sederetan nama-nama mereka terukir indah dengan tinta emas dalam lembaran sejarah bangsa. Memasuki era tahun delapanpuluhan, minat Kaum Muda di bidang politik mulai mengkerucut. Tetapi itu sama sekali tidak berarti bahwa Kaum Muda Katolik sudah melupakan janji suci mereka untuk selalu mengabdi Gereja dan Negara (Pro Ecclesia et Patria).
Segudang prestasi di bidang lain pun terus menjadi saksi keberadaan Kaum Muda Katolik di negeri ini. Tidak sedikit dari Kaum Muda Gereja yang dengan penuh semangat berkaya di belakang layar. Sebagai konseptor yang handal, atau pejuang kemanusiaan yang gigih. Sederetan nama-nama mereka di dunia seni dan musik terus menjadi saksi sejarah bahwa mereka tetap eksis di tengah yang lain.
Tanpa sadar kita menempatkan orang muda sebagai objek di masa sekarang, yang baru akan menjadi subjek di masa yang akan datang. Kaum Muda cenderung dilihat sebatas sebagai aset masa depan Gereja (‘the churchmen of tomorrow’), yang baru berperan ketika mereka menjadi dewasa. Cara pandang Gereja terhadap Kaum Muda sebagai “the churchmen of tomorrow” ini mempunyai dampak negatif terhadap metode pendampingan mereka. Dengan menempatkan mereka sebagai ‘komponen yang akan datang’, sadar atau tidak, Gereja akan cenderung menerapkan satu pembinaan model “subjek-objek”. Di mana Gereja memformat para formatores bermental ‘pembina’ yang seolah-olah memiliki segalanya (maha tahu); dan kaum muda sebagai ojek yang harus dididik, atau istilah KWI ‘tabung kosong yang siap diisi’.
Model pendampingan seperti inilah yang kiranya harus digugat kalau memang Gereja peduli dengan orang muda. Kalau tidak, maka jangan berharap banyak kepada kaum muda. Dan bahkan jangan menyalahkan mereka, karena memang mereka diformat salah.
Dengan model pendampingan subjek-subjek ini, Kaum Muda tidak lagi dilihat sekadar sebagai komponen masa depan (the churchmen of tomorrow), tetapi sungguh-sungguh dilihat sebagai komponen masa kini sekaligus komponen masa depan. Kaum Muda bukan lagi sebagai ‘tabung kosong’ yang harus diisi, tetapi sebagai subjek yang sedang menciptakan sesuatu, dan sesuatu yang diciptakan tersebut membawa perubahan untuk masa sekarang dan masa yang akan datang. Masa depan sesungguhnya bukanlah sesuatu yang ada di seberang sana, tetapi sesuatu yang sedang diciptakan, dan yang proses penciptaannya membawa perubahan baik pada pencipta maupun pada apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang.
Diharapkan bahwa dengan model pendampingan subjek-subjek, masing-masing pribadi bisa berperanserta aktif, karena sungguh merasa dilibatkan dan diberi kepercayaan serta tanggungjawab untuk ikut mengembangkan Gereja yang hidup dalam masyarakat. Moga-moga dengan cara seperti ini, kaum muda akan sungguh bisa diberdayakan (dan bukan diperdaya) sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan zamannya.***
OMK SUBJEK-OBJEK
Menggugat Pendampingan OMK Model Hubungan Subjek – Objek
(Otokritik Atas Pendampingan Kaum Muda)
Pengantar
"Jangan pernah menjadi tua sebelum pernah menjadi muda", adalah kalimat klise yang bernada provokatif untuk orang muda supaya sungguh-sungguh mengalami masa mudanya dengan penuh kebahagiaan. Persoalannya adalah bagaimana menjadi muda sebelum menjadi tua? Karena tidak sedikit dari orang muda yang menghabiskan masa mudanya dengan mencoba hidup dengan gaya hedonistik.
Berhadapan dengan orang muda ini, Gereja sering tampil sebagai "the guardian angel", tetapi dengan penuh kerendahan hati di sini saya harus mengatakan bahwa tidak jarang niat baik Gereja itu gagal karena cara pendampingan yang keliru. Pada saat itulah para pendamping akan melagukan lagu lama, "Kalau orang muda seperti ini, masa depan Gereja akan suram,...". Pertanyaannya siapakah dan atau apakah yang keliru?
Sharing saya ini saya beri judul, "Menggugat pendampingan model hubungan subjek-objek." Lewat tulisan yang saya angkat dari pengalaman pribadi dalam hidup bersama teman-teman muda lainnya, saya ingin mengkritik model pendampingan yang selama ini diterapkan untuk kaum muda, yakni pendampingan dengan model hubugnan subjek-objek.
Belajar dari kesalahan
Tahun lalu saya mengambil satu mata kuliah tentang orang muda. Pertanyaan pertama dari dosen pengampuh kepada para mahasiswanya adalah, "Apa alasan Anda mengambil kuliah kaum muda ini?" Alasan yang muncul sejumlah mahasiswa yang hadir pada hari itu. Alasan yang saya berikan sempat membuat dosen saya terkejut karena tidak sesuci dengan alasan rekan saya yang lain. "Saya mengambil kuliah ini karena saya sakit hati dengan cara pendampingan orang muda sekarang yang cenderung menindas dan memasung kebebasan kaum muda,…" kataku ketika diberi kesempatan untuk mengemukakan alasan saya mengambil kuliah kaum muda tersebut.
Pada akhir perkuliahan mata kuliah tentang kaum muda itu, saya tampil mempresentasikan makalah saya dengan judul, "Mencari format yang tepat untuk pendampingan orang muda". Inti makalah saya itu kurang-lebih sama dengan apa yang saya sharingkan dalam tulisan ini, yakni merevisi cara pendampingan lama yang cenderung menerapkan model hubugnan subjek-objek menjadi model hubungan subjek-subjek. Artinya, merevisi cara pendampingan dengan konsep bahwa pendamping dilihat sebagai subjek yang memiliki segala-galanya, yang siap mentransper apa yang dimilikinya tersebut kepada orang muda sebagai objek yang tidak tahu apa-apa. Konsep seperti inilah yang menurut saya keliru. Maka saya menawarkan suatu tawaran pendampingan yang sebetulnya bukan hal baru, hanya saja jarang sekali dipakai, yakni melihat kaum muda sebagai subjek. Dalam arti bahwa baik pendamping maupun yang didampingi (kaum muda) sama-sama berperan sebagai subjek.
Tawaran ini bukan berangkat dari konsep teoritis belaka. Tawaran ini saya angkat berangkat dari pengalaman pribadi mendampingi kaum muda di pedalaman Sulawesi sana. Ketika saya baru diminta untuk menjadi pendamping kaum muda, kecenderungan saya adalah menerapkan model pendampingan hubungan subjek-objek. Di mana tim pendampin yang saya bentuk diformat sedemikian rupa sebagai pendamping yang memiliki segala-galanya dengan harapan bisa mentranspernya kepada teman-teman yang didampingi. Awalnya model pendampingan ini seolah-olah menuai sukses, tetapi setelah melihat lebih jauh ternyata yang terjadi adalah kerugian. Saya tidak tahu betapa banyak waktu yang kami habiskan untuk memformat para pendamping sebagai 'subjek' yang siap pakai. Belum terhitung jumlah materi yang habis untuk itu. Semua berakhir dengan kekecewaan. Orang-orang muda yang didampingi pada lari, karena merasa tidak mendapatkan apa-apa.
Saya lalu mencoba mencari titik lemahnya dari pendampingan tersebut. Akhirnya saya melihat bahwa titik lemahnya terletak pada hubungan pendamping dengan yang didampingi. Kekeliruan saya adalah menerapkan metode hubungan subjek-objek.
Berangkat dari kesadaran tersebut maka, saya kemudian mengubah format pendampingan dengan model hubungan subjek-subjek. Dalam pertemuan-pertemuan rutin mingguan yang sudah hampir mati itu, saya selalu bertanya kepada mereka (bukan lagi kepada pendamping), kira-kira apa yang bisa kita lakukan. Jadi bukan lagi ide itu datang dari saya atau dari tim yang telah saya bentuk, tetapi mencoba mencari ide itu dari mereka. Bahkan tidak jarang secara spontan saya menunjuk mereka untuk mengkoordinir rekan-rekan mereka dalam merencanakan sesuatu. Singkatnya saya menghargai mereka semua bisa melakukan sesuatu hal yang positif.
Dengan cara ini saya ingin mengubah format lama yang saya sadari sangat keliru itu. Dalam waktu beberapa minggu saja, saya melihat perubahan yang sangat besar pada orang-orang muda itu. Perkumpulan-perkumpulan kembali hidup.
Refleksi Singkat
Lagu lama yang kerap terdengar tentang Kaum Muda adalah, :"Orang muda zaman sekarang tidak lagi seperti orang-orang muda zaman dulu". Ada nada pessimis dari Kaum Muda tempo doeloe terhadap perkembangan Kaum Muda sekarang. Apakah memang faktanya demikian?
Minat Kaum Muda angkatan Mgr. Soegijopranoto dan bapak Kasimo Cs sudah sangat berbeda dengan minat Kaum Muda sekarang. Sejarah bangsa kita menunjukkan bahwa Kaum Muda Katolik tempo doeloe cukup berjasa dalam pemerintahan. Sekolah-sekolah Katolik di tanah Jawa, Sumatra, Flores dan Sulawesi juga ikut menyumbangkan banyak tenaga (Kaum Muda Katolik dan non-Katolik) yang handal bagi bangsa ini. Atmosphere Indonesia era tahun empat puluhan sampai tahun tujuh-puluhan seolah memaksa Kaum Muda untuk terjun dalam ranah politik. Maka bisa dipahami bahwa sederetan nama-nama mereka terukir indah dengan tinta emas dalam lembaran sejarah bangsa. Memasuki era tahun delapanpuluhan, minat Kaum Muda di bidang politik mulai mengkerucut. Tetapi itu sama sekali tidak berarti bahwa Kaum Muda Katolik sudah melupakan janji suci mereka untuk selalu mengabdi Gereja dan Negara (Pro Ecclesia et Patria).
Segudang prestasi di bidang lain pun terus menjadi saksi keberadaan Kaum Muda Katolik di negeri ini. Tidak sedikit dari Kaum Muda Gereja yang dengan penuh semangat berkaya di belakang layar. Sebagai konseptor yang handal, atau pejuang kemanusiaan yang gigih. Sederetan nama-nama mereka di dunia seni dan musik terus menjadi saksi sejarah bahwa mereka tetap eksis di tengah yang lain.
Tanpa sadar kita menempatkan orang muda sebagai objek di masa sekarang, yang baru akan menjadi subjek di masa yang akan datang. Kaum Muda cenderung dilihat sebatas sebagai aset masa depan Gereja ('the churchmen of tomorrow'), yang baru berperan ketika mereka menjadi dewasa. Cara pandang Gereja terhadap Kaum Muda sebagai "the churchmen of tomorrow" ini mempunyai dampak negatif terhadap metode pendampingan mereka. Dengan menempatkan mereka sebagai 'komponen yang akan datang', sadar atau tidak, Gereja akan cenderung menerapkan satu pembinaan model "subjek-objek". Di mana Gereja memformat para formatores bermental 'pembina' yang seolah-olah memiliki segalanya (maha tahu); dan kaum muda sebagai ojek yang harus dididik, atau istilah KWI 'tabung kosong yang siap diisi'.
Model pendampingan seperti inilah yang kiranya harus digugat kalau memang Gereja peduli dengan orang muda. Kalau tidak, maka jangan berharap banyak kepada kaum muda. Dan bahkan jangan menyalahkan mereka, karena memang mereka diformat salah.
Dengan model pendampingan subjek-subjek ini, Kaum Muda tidak lagi dilihat sekadar sebagai komponen masa depan (the churchmen of tomorrow), tetapi sungguh-sungguh dilihat sebagai komponen masa kini sekaligus komponen masa depan. Kaum Muda bukan lagi sebagai 'tabung kosong' yang harus diisi, tetapi sebagai subjek yang sedang menciptakan sesuatu, dan sesuatu yang diciptakan tersebut membawa perubahan untuk masa sekarang dan masa yang akan datang. Masa depan sesungguhnya bukanlah sesuatu yang ada di seberang sana, tetapi sesuatu yang sedang diciptakan, dan yang proses penciptaannya membawa perubahan baik pada pencipta maupun pada apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang.
Diharapkan bahwa dengan model pendampingan subjek-subjek, masing-masing pribadi bisa berperanserta aktif, karena sungguh merasa dilibatkan dan diberi kepercayaan serta tanggungjawab untuk ikut mengembangkan Gereja yang hidup dalam masyarakat. Moga-moga dengan cara seperti ini, kaum muda akan sungguh bisa diberdayakan (dan bukan diperdaya) sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan zamannya.***
Bio Data Singkat Penulis
Nama Lengkap : Y a n s Paganna'
Tempat & Tanggal Lahir : Toraja, 02 Desember 1978
Status : Mahasiswa Fakultas Filsafat – Teologi Wedabhakti,
Universitas Sanata Dharma – Yogyakarta,
Anggota Agenda 18 Jakarta.
Alamat : Wisma Anging Mammiri Yogyakarta
Jln. Kaliurang Km. 7,4 Yogyakarta 55011
Phone (0274) 885227
E-mail: yanstumbangdatu@yahoo.com
OMK
Menggugat Pendampingan OMK Model Hubungan Subjek – Objek
(Otokritik Atas Pendampingan Kaum Muda)
Pengantar
"Jangan pernah menjadi tua sebelum pernah menjadi muda", adalah kalimat klise yang bernada provokatif untuk orang muda supaya sungguh-sungguh mengalami masa mudanya dengan penuh kebahagiaan. Persoalannya adalah bagaimana menjadi muda sebelum menjadi tua? Karena tidak sedikit dari orang muda yang menghabiskan masa mudanya dengan mencoba hidup dengan gaya hedonistik.
Berhadapan dengan orang muda ini, Gereja sering tampil sebagai "the guardian angel", tetapi dengan penuh kerendahan hati di sini saya harus mengatakan bahwa tidak jarang niat baik Gereja itu gagal karena cara pendampingan yang keliru. Pada saat itulah para pendamping akan melagukan lagu lama, "Kalau orang muda seperti ini, masa depan Gereja akan suram,...". Pertanyaannya siapakah dan atau apakah yang keliru?
Sharing saya ini saya beri judul, "Menggugat pendampingan model hubungan subjek-objek." Lewat tulisan yang saya angkat dari pengalaman pribadi dalam hidup bersama teman-teman muda lainnya, saya ingin mengkritik model pendampingan yang selama ini diterapkan untuk kaum muda, yakni pendampingan dengan model hubugnan subjek-objek.
Belajar dari kesalahan
Tahun lalu saya mengambil satu mata kuliah tentang orang muda. Pertanyaan pertama dari dosen pengampuh kepada para mahasiswanya adalah, "Apa alasan Anda mengambil kuliah kaum muda ini?" Alasan yang muncul sejumlah mahasiswa yang hadir pada hari itu. Alasan yang saya berikan sempat membuat dosen saya terkejut karena tidak sesuci dengan alasan rekan saya yang lain. "Saya mengambil kuliah ini karena saya sakit hati dengan cara pendampingan orang muda sekarang yang cenderung menindas dan memasung kebebasan kaum muda,…" kataku ketika diberi kesempatan untuk mengemukakan alasan saya mengambil kuliah kaum muda tersebut.
Pada akhir perkuliahan mata kuliah tentang kaum muda itu, saya tampil mempresentasikan makalah saya dengan judul, "Mencari format yang tepat untuk pendampingan orang muda". Inti makalah saya itu kurang-lebih sama dengan apa yang saya sharingkan dalam tulisan ini, yakni merevisi cara pendampingan lama yang cenderung menerapkan model hubugnan subjek-objek menjadi model hubungan subjek-subjek. Artinya, merevisi cara pendampingan dengan konsep bahwa pendamping dilihat sebagai subjek yang memiliki segala-galanya, yang siap mentransper apa yang dimilikinya tersebut kepada orang muda sebagai objek yang tidak tahu apa-apa. Konsep seperti inilah yang menurut saya keliru. Maka saya menawarkan suatu tawaran pendampingan yang sebetulnya bukan hal baru, hanya saja jarang sekali dipakai, yakni melihat kaum muda sebagai subjek. Dalam arti bahwa baik pendamping maupun yang didampingi (kaum muda) sama-sama berperan sebagai subjek.
Tawaran ini bukan berangkat dari konsep teoritis belaka. Tawaran ini saya angkat berangkat dari pengalaman pribadi mendampingi kaum muda di pedalaman Sulawesi sana. Ketika saya baru diminta untuk menjadi pendamping kaum muda, kecenderungan saya adalah menerapkan model pendampingan hubungan subjek-objek. Di mana tim pendampin yang saya bentuk diformat sedemikian rupa sebagai pendamping yang memiliki segala-galanya dengan harapan bisa mentranspernya kepada teman-teman yang didampingi. Awalnya model pendampingan ini seolah-olah menuai sukses, tetapi setelah melihat lebih jauh ternyata yang terjadi adalah kerugian. Saya tidak tahu betapa banyak waktu yang kami habiskan untuk memformat para pendamping sebagai 'subjek' yang siap pakai. Belum terhitung jumlah materi yang habis untuk itu. Semua berakhir dengan kekecewaan. Orang-orang muda yang didampingi pada lari, karena merasa tidak mendapatkan apa-apa.
Saya lalu mencoba mencari titik lemahnya dari pendampingan tersebut. Akhirnya saya melihat bahwa titik lemahnya terletak pada hubungan pendamping dengan yang didampingi. Kekeliruan saya adalah menerapkan metode hubungan subjek-objek.
Berangkat dari kesadaran tersebut maka, saya kemudian mengubah format pendampingan dengan model hubungan subjek-subjek. Dalam pertemuan-pertemuan rutin mingguan yang sudah hampir mati itu, saya selalu bertanya kepada mereka (bukan lagi kepada pendamping), kira-kira apa yang bisa kita lakukan. Jadi bukan lagi ide itu datang dari saya atau dari tim yang telah saya bentuk, tetapi mencoba mencari ide itu dari mereka. Bahkan tidak jarang secara spontan saya menunjuk mereka untuk mengkoordinir rekan-rekan mereka dalam merencanakan sesuatu. Singkatnya saya menghargai mereka semua bisa melakukan sesuatu hal yang positif.
Dengan cara ini saya ingin mengubah format lama yang saya sadari sangat keliru itu. Dalam waktu beberapa minggu saja, saya melihat perubahan yang sangat besar pada orang-orang muda itu. Perkumpulan-perkumpulan kembali hidup.
Refleksi Singkat
Lagu lama yang kerap terdengar tentang Kaum Muda adalah, :"Orang muda zaman sekarang tidak lagi seperti orang-orang muda zaman dulu". Ada nada pessimis dari Kaum Muda tempo doeloe terhadap perkembangan Kaum Muda sekarang. Apakah memang faktanya demikian?
Minat Kaum Muda angkatan Mgr. Soegijopranoto dan bapak Kasimo Cs sudah sangat berbeda dengan minat Kaum Muda sekarang. Sejarah bangsa kita menunjukkan bahwa Kaum Muda Katolik tempo doeloe cukup berjasa dalam pemerintahan. Sekolah-sekolah Katolik di tanah Jawa, Sumatra, Flores dan Sulawesi juga ikut menyumbangkan banyak tenaga (Kaum Muda Katolik dan non-Katolik) yang handal bagi bangsa ini. Atmosphere Indonesia era tahun empat puluhan sampai tahun tujuh-puluhan seolah memaksa Kaum Muda untuk terjun dalam ranah politik. Maka bisa dipahami bahwa sederetan nama-nama mereka terukir indah dengan tinta emas dalam lembaran sejarah bangsa. Memasuki era tahun delapanpuluhan, minat Kaum Muda di bidang politik mulai mengkerucut. Tetapi itu sama sekali tidak berarti bahwa Kaum Muda Katolik sudah melupakan janji suci mereka untuk selalu mengabdi Gereja dan Negara (Pro Ecclesia et Patria).
Segudang prestasi di bidang lain pun terus menjadi saksi keberadaan Kaum Muda Katolik di negeri ini. Tidak sedikit dari Kaum Muda Gereja yang dengan penuh semangat berkaya di belakang layar. Sebagai konseptor yang handal, atau pejuang kemanusiaan yang gigih. Sederetan nama-nama mereka di dunia seni dan musik terus menjadi saksi sejarah bahwa mereka tetap eksis di tengah yang lain.
Tanpa sadar kita menempatkan orang muda sebagai objek di masa sekarang, yang baru akan menjadi subjek di masa yang akan datang. Kaum Muda cenderung dilihat sebatas sebagai aset masa depan Gereja ('the churchmen of tomorrow'), yang baru berperan ketika mereka menjadi dewasa. Cara pandang Gereja terhadap Kaum Muda sebagai "the churchmen of tomorrow" ini mempunyai dampak negatif terhadap metode pendampingan mereka. Dengan menempatkan mereka sebagai 'komponen yang akan datang', sadar atau tidak, Gereja akan cenderung menerapkan satu pembinaan model "subjek-objek". Di mana Gereja memformat para formatores bermental 'pembina' yang seolah-olah memiliki segalanya (maha tahu); dan kaum muda sebagai ojek yang harus dididik, atau istilah KWI 'tabung kosong yang siap diisi'.
Model pendampingan seperti inilah yang kiranya harus digugat kalau memang Gereja peduli dengan orang muda. Kalau tidak, maka jangan berharap banyak kepada kaum muda. Dan bahkan jangan menyalahkan mereka, karena memang mereka diformat salah.
Dengan model pendampingan subjek-subjek ini, Kaum Muda tidak lagi dilihat sekadar sebagai komponen masa depan (the churchmen of tomorrow), tetapi sungguh-sungguh dilihat sebagai komponen masa kini sekaligus komponen masa depan. Kaum Muda bukan lagi sebagai 'tabung kosong' yang harus diisi, tetapi sebagai subjek yang sedang menciptakan sesuatu, dan sesuatu yang diciptakan tersebut membawa perubahan untuk masa sekarang dan masa yang akan datang. Masa depan sesungguhnya bukanlah sesuatu yang ada di seberang sana, tetapi sesuatu yang sedang diciptakan, dan yang proses penciptaannya membawa perubahan baik pada pencipta maupun pada apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang.
Diharapkan bahwa dengan model pendampingan subjek-subjek, masing-masing pribadi bisa berperanserta aktif, karena sungguh merasa dilibatkan dan diberi kepercayaan serta tanggungjawab untuk ikut mengembangkan Gereja yang hidup dalam masyarakat. Moga-moga dengan cara seperti ini, kaum muda akan sungguh bisa diberdayakan (dan bukan diperdaya) sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan zamannya.***
Bio Data Singkat Penulis
Nama Lengkap : Y a n s Paganna'
Tempat & Tanggal Lahir : Toraja, 02 Desember 1978
Status : Mahasiswa Fakultas Filsafat – Teologi Wedabhakti,
Universitas Sanata Dharma – Yogyakarta,
Anggota Agenda 18 Jakarta.
Alamat : Wisma Anging Mammiri Yogyakarta
Jln. Kaliurang Km. 7,4 Yogyakarta 55011
Phone (0274) 885227
E-mail: yanstumbangdatu@yahoo.com
Kekudusan imam
SKETSA KEDUA:
Dalam liturgi, hadirlah Allah Tri-Tunggal.
Bukan kita yang berjasa, tetapi TUHAN SENDIRI yang datang memimpin dan menggunakan jasa kita untuk itu. Dia sebagai subjek dan objek dalam perayaan liturgi.
Dalam setiap perayaan liturgy, ada komunikasi timbal-balik antara Allah Tritunggal dengan umat Allah sendiri.
Catatan:
- Seorang imam dikuduskan seluruh badan (biologis) dan jiwanya, maka jangan sembarangan gerak-garuk sana-sini, khususnya saat sedang memimpin suatu perayaan. Jaga barang baik-baik.
- Untuk seluruh dunia, kata TUHAN BERSAMAMU- DAN BERSAMA ROHMU, adalah satu-satunya yang dipakai dalam perayaan yang dipimpin oleh imam.
- Harus menyelaraskan kepribadian dengan keluhuran martabat imamat Yesus Kristus.