Jumat, 12 Agustus 2011

OMK


 

Menggugat Pendampingan OMK Model Hubungan Subjek – Objek

(Otokritik Atas Pendampingan Kaum Muda)

Pengantar

    "Jangan pernah menjadi tua sebelum pernah menjadi muda", adalah kalimat klise yang bernada provokatif untuk orang muda supaya sungguh-sungguh mengalami masa mudanya dengan penuh kebahagiaan. Persoalannya adalah bagaimana menjadi muda sebelum menjadi tua? Karena tidak sedikit dari orang muda yang menghabiskan masa mudanya dengan mencoba hidup dengan gaya hedonistik.

    Berhadapan dengan orang muda ini, Gereja sering tampil sebagai "the guardian angel", tetapi dengan penuh kerendahan hati di sini saya harus mengatakan bahwa tidak jarang niat baik Gereja itu gagal karena cara pendampingan yang keliru. Pada saat itulah para pendamping akan melagukan lagu lama, "Kalau orang muda seperti ini, masa depan Gereja akan suram,...". Pertanyaannya siapakah dan atau apakah yang keliru?

    Sharing saya ini saya beri judul, "Menggugat pendampingan model hubungan subjek-objek." Lewat tulisan yang saya angkat dari pengalaman pribadi dalam hidup bersama teman-teman muda lainnya, saya ingin mengkritik model pendampingan yang selama ini diterapkan untuk kaum muda, yakni pendampingan dengan model hubugnan subjek-objek.


 

Belajar dari kesalahan

    Tahun lalu saya mengambil satu mata kuliah tentang orang muda. Pertanyaan pertama dari dosen pengampuh kepada para mahasiswanya adalah, "Apa alasan Anda mengambil kuliah kaum muda ini?" Alasan yang muncul sejumlah mahasiswa yang hadir pada hari itu. Alasan yang saya berikan sempat membuat dosen saya terkejut karena tidak sesuci dengan alasan rekan saya yang lain. "Saya mengambil kuliah ini karena saya sakit hati dengan cara pendampingan orang muda sekarang yang cenderung menindas dan memasung kebebasan kaum muda,…" kataku ketika diberi kesempatan untuk mengemukakan alasan saya mengambil kuliah kaum muda tersebut.

    Pada akhir perkuliahan mata kuliah tentang kaum muda itu, saya tampil mempresentasikan makalah saya dengan judul, "Mencari format yang tepat untuk pendampingan orang muda". Inti makalah saya itu kurang-lebih sama dengan apa yang saya sharingkan dalam tulisan ini, yakni merevisi cara pendampingan lama yang cenderung menerapkan model hubugnan subjek-objek menjadi model hubungan subjek-subjek. Artinya, merevisi cara pendampingan dengan konsep bahwa pendamping dilihat sebagai subjek yang memiliki segala-galanya, yang siap mentransper apa yang dimilikinya tersebut kepada orang muda sebagai objek yang tidak tahu apa-apa. Konsep seperti inilah yang menurut saya keliru. Maka saya menawarkan suatu tawaran pendampingan yang sebetulnya bukan hal baru, hanya saja jarang sekali dipakai, yakni melihat kaum muda sebagai subjek. Dalam arti bahwa baik pendamping maupun yang didampingi (kaum muda) sama-sama berperan sebagai subjek.

    Tawaran ini bukan berangkat dari konsep teoritis belaka. Tawaran ini saya angkat berangkat dari pengalaman pribadi mendampingi kaum muda di pedalaman Sulawesi sana. Ketika saya baru diminta untuk menjadi pendamping kaum muda, kecenderungan saya adalah menerapkan model pendampingan hubungan subjek-objek. Di mana tim pendampin yang saya bentuk diformat sedemikian rupa sebagai pendamping yang memiliki segala-galanya dengan harapan bisa mentranspernya kepada teman-teman yang didampingi. Awalnya model pendampingan ini seolah-olah menuai sukses, tetapi setelah melihat lebih jauh ternyata yang terjadi adalah kerugian. Saya tidak tahu betapa banyak waktu yang kami habiskan untuk memformat para pendamping sebagai 'subjek' yang siap pakai. Belum terhitung jumlah materi yang habis untuk itu. Semua berakhir dengan kekecewaan. Orang-orang muda yang didampingi pada lari, karena merasa tidak mendapatkan apa-apa.

    Saya lalu mencoba mencari titik lemahnya dari pendampingan tersebut. Akhirnya saya melihat bahwa titik lemahnya terletak pada hubungan pendamping dengan yang didampingi. Kekeliruan saya adalah menerapkan metode hubungan subjek-objek.

    Berangkat dari kesadaran tersebut maka, saya kemudian mengubah format pendampingan dengan model hubungan subjek-subjek. Dalam pertemuan-pertemuan rutin mingguan yang sudah hampir mati itu, saya selalu bertanya kepada mereka (bukan lagi kepada pendamping), kira-kira apa yang bisa kita lakukan. Jadi bukan lagi ide itu datang dari saya atau dari tim yang telah saya bentuk, tetapi mencoba mencari ide itu dari mereka. Bahkan tidak jarang secara spontan saya menunjuk mereka untuk mengkoordinir rekan-rekan mereka dalam merencanakan sesuatu. Singkatnya saya menghargai mereka semua bisa melakukan sesuatu hal yang positif.

    Dengan cara ini saya ingin mengubah format lama yang saya sadari sangat keliru itu. Dalam waktu beberapa minggu saja, saya melihat perubahan yang sangat besar pada orang-orang muda itu. Perkumpulan-perkumpulan kembali hidup.


 


 

Refleksi Singkat     

    Lagu lama yang kerap terdengar tentang Kaum Muda adalah, :"Orang muda zaman sekarang tidak lagi seperti orang-orang muda zaman dulu". Ada nada pessimis dari Kaum Muda tempo doeloe terhadap perkembangan Kaum Muda sekarang. Apakah memang faktanya demikian?

    Minat Kaum Muda angkatan Mgr. Soegijopranoto dan bapak Kasimo Cs sudah sangat berbeda dengan minat Kaum Muda sekarang. Sejarah bangsa kita menunjukkan bahwa Kaum Muda Katolik tempo doeloe cukup berjasa dalam pemerintahan. Sekolah-sekolah Katolik di tanah Jawa, Sumatra, Flores dan Sulawesi juga ikut menyumbangkan banyak tenaga (Kaum Muda Katolik dan non-Katolik) yang handal bagi bangsa ini. Atmosphere Indonesia era tahun empat puluhan sampai tahun tujuh-puluhan seolah memaksa Kaum Muda untuk terjun dalam ranah politik. Maka bisa dipahami bahwa sederetan nama-nama mereka terukir indah dengan tinta emas dalam lembaran sejarah bangsa. Memasuki era tahun delapanpuluhan, minat Kaum Muda di bidang politik mulai mengkerucut. Tetapi itu sama sekali tidak berarti bahwa Kaum Muda Katolik sudah melupakan janji suci mereka untuk selalu mengabdi Gereja dan Negara (Pro Ecclesia et Patria).

Segudang prestasi di bidang lain pun terus menjadi saksi keberadaan Kaum Muda Katolik di negeri ini. Tidak sedikit dari Kaum Muda Gereja yang dengan penuh semangat berkaya di belakang layar. Sebagai konseptor yang handal, atau pejuang kemanusiaan yang gigih. Sederetan nama-nama mereka di dunia seni dan musik terus menjadi saksi sejarah bahwa mereka tetap eksis di tengah yang lain.

Tanpa sadar kita menempatkan orang muda sebagai objek di masa sekarang, yang baru akan menjadi subjek di masa yang akan datang. Kaum Muda cenderung dilihat sebatas sebagai aset masa depan Gereja ('the churchmen of tomorrow'), yang baru berperan ketika mereka menjadi dewasa. Cara pandang Gereja terhadap Kaum Muda sebagai "the churchmen of tomorrow" ini mempunyai dampak negatif terhadap metode pendampingan mereka. Dengan menempatkan mereka sebagai 'komponen yang akan datang', sadar atau tidak, Gereja akan cenderung menerapkan satu pembinaan model "subjek-objek". Di mana Gereja memformat para formatores bermental 'pembina' yang seolah-olah memiliki segalanya (maha tahu); dan kaum muda sebagai ojek yang harus dididik, atau istilah KWI 'tabung kosong yang siap diisi'.

    Model pendampingan seperti inilah yang kiranya harus digugat kalau memang Gereja peduli dengan orang muda. Kalau tidak, maka jangan berharap banyak kepada kaum muda. Dan bahkan jangan menyalahkan mereka, karena memang mereka diformat salah.

    Dengan model pendampingan subjek-subjek ini, Kaum Muda tidak lagi dilihat sekadar sebagai komponen masa depan (the churchmen of tomorrow), tetapi sungguh-sungguh dilihat sebagai komponen masa kini sekaligus komponen masa depan. Kaum Muda bukan lagi sebagai 'tabung kosong' yang harus diisi, tetapi sebagai subjek yang sedang menciptakan sesuatu, dan sesuatu yang diciptakan tersebut membawa perubahan untuk masa sekarang dan masa yang akan datang. Masa depan sesungguhnya bukanlah sesuatu yang ada di seberang sana, tetapi sesuatu yang sedang diciptakan, dan yang proses penciptaannya membawa perubahan baik pada pencipta maupun pada apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang.

    Diharapkan bahwa dengan model pendampingan subjek-subjek, masing-masing pribadi bisa berperanserta aktif, karena sungguh merasa dilibatkan dan diberi kepercayaan serta tanggungjawab untuk ikut mengembangkan Gereja yang hidup dalam masyarakat. Moga-moga dengan cara seperti ini, kaum muda akan sungguh bisa diberdayakan (dan bukan diperdaya) sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan zamannya.***


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

Bio Data Singkat Penulis


 

Nama Lengkap        : Y a n s Paganna'

Tempat & Tanggal Lahir    : Toraja, 02 Desember 1978    

Status : Mahasiswa Fakultas Filsafat – Teologi Wedabhakti,

Universitas Sanata Dharma – Yogyakarta,

Anggota Agenda 18 Jakarta.

Alamat                 : Wisma Anging Mammiri Yogyakarta

Jln. Kaliurang Km. 7,4 Yogyakarta 55011

Phone    (0274) 885227

E-mail: yanstumbangdatu@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar