Minggu, 02 Oktober 2011

Dua sahabat berkisah

Mari Belajar Kebijaksanaan:

Si Kerdil dan si Subur

(Sebuah Renungan Pribadi)


 

Dari sebuah sudut rumah dan kebun dikisahkan sebuah curhat antara dua pohon lombok. Pohon lombok sedikit subur adalah pohon lombok ditanam oleh tuannya dalam pot bunga. Ia sedikit beruntung karena ditanam dalam pot bunga yang lumayan besar dengan tanah-tanah berhumus yang dicampurkan dengan abu dapur tuannya dan sedikit kotoran ayam sang tuannya. Dan pohon lombok yang lain adalah pohon lombok yang ditanam oleh tuannya di kebun dengan tanah yang tidak terlalu subur.

Setelah sang tuan menanam lombok-lombok itu pada tempatnya masing-masing. Tuannya meninggalkan mereka dan mulai masuk dalam kesibukan dan rutinitas hariannya sebagai seorang manager sebuah perusahaan. Kegiatan menanam lombok ini dilakukannya sekadar sebagai tempat rekreasi saja, mengisi waktu luangnya saat pulang dari kantor, atau sekedar mencari inspirasi bagaimana menjalankan perusahaannya.

Waktu berjalan terus, dua pohon lombok itu bertumbuh masing-masing dengan perjuangan dan keberuntungan mereka. Sang tuannya pun tidak pernah memperhatikannya lagi karena telah larut dalam kesibukan dan pekerjaannya memimpin perusahaannya.

Suatu sore terjadi diskusi di antara dua pohon. Pembicaraan dimulai dari lombok dari dalam pot bunga kepada lombok yang ditanam di kebun katanya.

"Hei sahabatku, kenapa tuan kita tidak pernah lagi memperhatikan kita ya?", tanyanya dari dalam pot.

"Iya, aku juga heran, kokh tuan kita sudah lupa dengan kita", jawab lombok dari kebun.

"Oh,… kupikir hanya aku yang dilupakannya", kata lombok dalam pot.

"Tidak, aku juga sudah lama menunggu tuan kita kapan ia datang menyapaku. Justru aku pikir hanya aku yang dilupakan", komentar lombok dari kebun.

"Kemarin tuan kita sempat lewat di sampingku, aku pikir ia akan menyapaku, tetapi ternyata tidak. Dia hanya memandangku dalam tatapan kosong, entah apa yang ia pikirkan", komentar lombok dalam pot.

"Engkau masih beruntung dalam hal ini. Tuan kita masih sering hadir di dekatmu kendati tidak menghiraukanmu. Tapi aku? Aku bahkan hampir tidak pernah lagi melihatnya".

"Kayaknya tuan kita terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Aku biasa melihatnya menelpon sambil berdiskusi dengan temannya di seberang", kata lombok dalam pot .

"Barangkali juga. Oh iya sobat, kita bersyukur bahwa alam masih berpihak kepada kita", sambungnya.

"Iya, untunglah masih ada hujan yang masih punya rasa kasihan kepada kita, sehingga kita tidak mati kekeringan", kata lombok dari kebun yang sudah mulai diselimuti dengan rumput-rumput liar.

"Bersabar saja sobat, mudah-mudahan tuan kita besok-besok mengingat kita lagi", kata lombok dalam pot dengan nada menghibur.

"Hahaha kata-katamu sangat mirip teman tuan kita yang sangat beriman yang punya pengharapan yang sangat besar, dan yang kemudian berujung dengan pengharapan utopis, hahaha. Sobat, engkau berkata demikian karena tidak ada yang mengganggu dan menggerogotimu di situ. Coba engkau yang di sini. Lihat saja para perampok, rumput-rumput liar ini selalu menodongku. Belum lagi kalau binatang peliharaan tuan kita, ayam-ayam itu dengan sombongnya membabi buta menginjak dan menendangku kesana-kemari saat mencari cacing tanah", kata lombok di kebun dari kebun dengan sedikit nada protes.

"Coba lihat sobat, batang-batangku sudah mulai kering, daun-daunku juga tinggal beberapa lembar saja. Stok makananku lebih banyak dihabiskan oleh rumput-rumput liar yang jauh lebih lihai dan terampil dalam mencari makan", sambungnya.

"Aduh,… sahabat, engkau kayaknya terlalu cerewet. Ngomongnya juga pakek istilah tinggi-tinggi".

"Maksudmu?", tanya lombok dari kebun dengan nada heran.

"Iya,…lha iyalah. Ngomong itu harus lihat sikon donk. Dah tahu di kebun, masih pakek istilah filosofis segala", katanya.

"Aku tidak mengerti apa yang engkau maksudkan ngomong tinggi-tinggi. Sombong maksudmu?", tanya lombok dari kebun yang tidak mengerti maksud sahabatnya itu.

"Itu thu,… pakek istilah utopis segala. Apa itu utopis?", katanya menunjukkan kata yang dimaksud filososfis dan tinggi-tinggi.

"Oh,… iya minta maaf. Maksudku berharap yang tidak tahu apakah akan terbukti", katanya.

"Iya, aku tahu kokh. Kita khan sama-sama pernah duduk manis mendengar kata itu diuraikan panjang lebar. Tapi maksudku kalau ngomong itu yang mudah dipahami orang lain lha", kata lombok dalam pot itu menasehati sahabatnya.

"Ok, terima kasih sahabat atas masukanmu. Karena kadang-kadang aku tidak sadar, kupikir orang lain mengerti apa yang kumaksudkan tetapi sesungguhnya tidak", katanya.

"Eh,… sahabat. Kita khan dua sahabat. Seharusnya bisa berbagi. Tetapi kuharap engkau mengerti sendiri denganku. Aku juga tidak bisa berbuat apa-apa. Seandainya bisa kita aku membagikan makanan yang adapadaku, tetapi sedangkan untuk diriku saja aku kawatir jangan-jangan tidak cukup. Lihatlah, aku batang-batangku terpaksa mengeluarkan bunga dan aku tentu saja membutuhkan sumber makanan yang ekstra untuk itu", kata lombok dalam pot.

"Kadang-kadang aku berpikir, kenapa tuan kita menanam aku di sini kalau ternyata kemudian ia hanya menanam lalu meninggalkanku untuk berjuang sendiri. Tapi sudahlah, mudah-mudahan betul apa yang engkau harapkan bahwa besok-besok dia akhirnya sadar bahwa ada yang ia lupakan", katanya menghibur diri.

***


 

Suatu sore sang tuannya datang mengunjungi mereka, "Waduh,… kokh lombok ini tidak berbuah, kenapa tidak mati saja daripada tumbuh dengan batang dan daun kurus kerempeng seperti ini?", kata tuannya saat melihat lombok di kebun yang tumbuh kurus itu.

Tuan itu juga berjalan dengan penuh kesal ke arah pohon lombok yang ditanamnya dalam pot bunga, "Aduh,… engkau sudah berbuah tetapi kenapa tidak berbuah banyak seperti lombok yang ada di kebun tetanggaku. Kalau tahu buahmu hanya seperti ini, lebih baik aku menanaminya dengan bunga cantik daripada menanammu dengan hasil yang menjengkelkan seperti ini", kata sang tuan mengomentari lombok yang ditanamnya dalam pot bunga itu.

(***Bersambung,…..).


 

Bokin-Toraja Utara, Primo Oktober 2011

P. Yans Sulo Paganna', Pr,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar