Surga Kecil itu ada di Lereng Bokin
By: Yans Sulo Paganna', Pr.
Aku tinggal seorang diri di atas sebuah gunung yang jauh dari yang namanya tetangga. Tetangga terdekatku di bawah lembah kira-kira seratus meter jaraknya.
Saat pertama kali datang ke tempat ini, kurasa sebagai sebuah surga kecil, "Owu,… sebuah istana surga mini,…", kataku dalam hati saat datang sebagai pendatang baru di tempat ini. Sebuah kompleks yang sangat indah dengan taman yang tertata indah. Bunga-bunga pendahuluku yang memang hobby melihara bunga terus kupelihara dengan baik. Bahkan aku menambahkan beberapa jenis bunga kendati awalnya aku tidak begitu hobby memelihara bunga. Entah mengapa setelah datang dan tinggal di "surga kecil" ini aku tiba-tiba tertarik memelihara bunga. Barangkali karena hari-hariku dalam kesendirian memanggilku untuk bersahabat dengan mereka, bersahabat dengan alam, dan bersahabat dengan diriku Dia yang mencipta semuanya ini.
Setiap bangun pagi, saat duduk di pendopo depan rumahku aku selalu merasa sedang berada dalam taman firdaus, berada di tengah-tengah taman yang indah dengan bunga-bunga yang sangat indah. Pemandangan indah terpampang memesona di depan pendopoku seolah-olah sedang memamerkan karya agung sang penciptanya. Deretan bukit-bukit dengan sawah-sawah di sepanjang lereng dan pohon-pohon hijau di antaranya serta tampak rumah-rumah penduduk yang tampak jelas dengan atap seng yang menyolok serasa sedang menikmati sebuah lukisan seorang maestro menambah kelengkapan atmosphere surga buatku. Apalagi kalau sedang beruntung dan matahari terbit dengan cahaya merah keemasan muncul di balik gunung persis di depan pendopoku, "Oh,… Tuhan betapa agung karya tangan-Mu", kataku mensyukuri keindahan alam setiap bangun pagi, saat sedang duduk dengan secangkir kopi toraja di meja pendopo rumahku.
Di pendopo indah itu aku duduk seorang diri dan mulai berbicara dengan alam, dengan burung-burung yang berkicau indah di pagi hari. Bersama mereka, aku menyambut hari dengan penuh sukacita. Bunga-bunga yang mekar di taman dengan gumpalan tetesan-tetesan embun yang masih melekat pada daun terpancar indah dengan pantulan cahaya sinar matahari pagi yang kelembutannya menyapa bumi. Burung-burung yang bersorak gembira menyambut hari juga serasa mengundangku untuk ikut bergembira dan bersyukur atas hari yang baru. Kucoba menangkap maksud dari semua bunyi-bunyi alam dan kicauan burung-burung hutan yang hadir dalam istana kecil tempatku tinggal. Sungguh sebuah suasana surga. Panorama indah yang memesona di depanku dan di sekitar kompleks rumahku dalam kicauan burung-burung hutan semakin menghantarku pada sebuah kerinduan surga sesungguhnya yang dijanjikan Tuhanku kepada siapa saja yang percaya.
Sebelum larut dalam rutinitas harianku, aku mengawalinya dengan datang kepada Tuhanku dalam sebuah meditasi-kontemplasi dan Ekaristi Kudus. Ini kulakukan di sebuah ruang atas rumahku, dekat pintu masuk. Sebuah ruangan berukuran 3X4m yang kutata sedemikian rupa menjadi ruang suci untuk bertemu dengan Tuhanku. Ruangan ini kualas dengan karpet merah lembayung. Di dalamnya kutempatkan sebuah meja kecil dengan dekorasi yang unik. Meja kecil yang kubungkus dengan kain putih bersih dan kupercantik dengan selendang khas toraja membentang ¾ meja itu membuat siapa saja merasa tersenyum penuh kedamaian saat memandangnya. Di atasnya kuletakkan sebuah salib kuningan 15cm dengan lilin altar di samping kiri dan kanan depan meja. Kuletakkan juga di atasnya piala dan ampul serta beberapa buku ibadat dan Misa. Di belakang meja kecil itu kuletakkan sebuah kursi kayu tempatku duduk saat sedang berdoa. Sedikit agak di kanan belakang kursi kuletakkan sebuah tabernakel kecil yang kuapit dengan arca Tuhanku bersama bunda-Nya. Tabernakel kecil dan dua arca ini aku tempatkan sedikit lebih tinggi dari tempat dudukku dan meja kecil yang ada di dalam ruang suci ini. Di belakang dua arca dan tabernakel kecil itu kupasang kain merah sewarna dengan karpet. Bagian kiri ruangan kugantung sebuah figura indah dari bulu domba dengan lukisan Tuhanku sedang menggendong seokor domba sambil memegang tongkat seorang gembala. Bagian kanan ruangan sebuah jendela. Jendela ini kuhiasi dengan gorden biru laut. Plafon ruangan kucat dengan cat putih bersih dan dinding-dinding ruangan kubiarkan menampilkan warna kayu alami. Suasana ini membuatku enjoy dalam doa dan kontemplasiku. Di depan pintu ruang suci ini kutulis sebuah tulisan, "Ruang Pertapaan".
Rumahku yang dibangun dengan mengambil arsitektur semi rumah adat toraja ini dikelilingi dengan halaman yang luas dan hijau. Rumput-rumput kupelihara dengan baik. Setiap minggu aku selalu menyempatkan waktu untuk merapikan rumput-rumput dan bunga-bunga pagar yang tumbuh mengelilinginya. Di depan rumah tumbuh dua pohon dengan daun-daun yang rimbun. Aku sering duduk di bawah pohon itu sambil memandang ke arah utara menikmati panorama indah kampung Pantilang – Bastem, sebuah panorama yang tidak habis-habisnya kukagumi keindahannya.
Di dekat pohon yang rimbun itu kutanam bunga-bunga angrek dan bebeapa bunga mawar yang tumbuh dengan subur dan indah. Dalam kesendirianku terkadang aku masuk dalam dunia mereka. Kadang-kadang aku bertanya kepada mereka mengapa mereka diciptakan sebagai bunga yang istimewa di mata manusia? Aku berdiri dan memetik setangkai mawar dan memandangnya dengan penuh tanya. Tiba-tiba aku teringat dengan sebuah kontemplasi tinggat tinggi seorang kudus dalam Gereja saat menjelaskan makna dari symbol setangkai mawar untuk bunda Tuhanku yang tidak lain juga telah menjadi bundaku oleh karena Tuhanku. Nama orang kudus itu adalah Santo Louis de Monfort, seorang suci yang menjadi pewarta doa kepada bunda Tuhanku. Dengan sangat memesona penuh kekaguman ia mengartiak semua bagian pada setangkai mawar yang ada di tanganku bunga mawar itu melambangkan Tuhanku dengan bunda-Nya dalam kehidupan; daun mawar hijau melambangkan misteri-misteri gembira; duri-durinya melambangkan misteri sengsara; bunganya melambangkan misteri kemuliaan Tuhanku bersama bunda-Nya; kuncup-kuncupnya melambangkan masa kanak-kanak Tuhanku bersama ibunya; kelopaknya yang terbuka melambangkan penderitaan Tuhanku bersama ibu bunda-Nya; dan mawar yang mekar melambangkan kemenangan Tuhanku. Aku terdiam dalam kekaguman sebuah symbol tak terbatas itu. Tanpa perintah dari siapapun, spontan kakiku melangka menuju ke ruang suci di atas rumahku dan menempatkan mawar indah itu di depan arca bundaku sembari berkata, "Bunda Tuhan dan bundaku, kupersembahkan setangkai mawar ini bersama orang sucimu Lois de Monfort untuk semua umat yang kulayani di negeri ini. Peluk dan dekaplah mereka semua dalam dekapan keibuanmu dan bawalah kami semua kepada puter-Mu, Tuhan kami yang sangat menyayangi dan mendengarkanmu,…".
Dengan penuh hormat aku menunduk di hadannya dan mundur beberapa langka kemudian memberi hormat dan sembah sujud di hadapan Sakramen Mahakudus yang sedang bertahta di dalam tabernakel di ruang suciku itu. Aku meninggalkan ruangaan suci dan berjalan keluar. Aku duduk di ruang tamu rumahku, di depan sebuah jendela besar berukuran 4X3m seluas ruangan tamuku sendiri. Jendela ini terbuka tanpa daun jendela. Aku hanya memasang gorden berwarna biru laut, sekadar untuk menghiasi keindahan ruangan tamu. Setiap hari aku selalu membukanya pertanda keterbukaanku menyambut semua orang yang datang ke tempatku.
Aku sendiri tidak pernah menerima tamu di tempat ini. Aku selalu menerima tamu-tamuku di pendopo depan rumahku atau di ruang kerjaku yang tertata indah, rapi dan bersih, sembari menikmati secangkir kopi toraja arabika tumbuk bikinan ibu-ibu dari paroki tempatku bertugas yang secara rutin datang setiap hari Sabtu untuk itu. Setiap tamu yang datang kuterima dengan penuh keramahan, bahkan sengaja aku menulis sebuah tulisan indah di depan ruang kerjaku, "Semoga Anda pulang lebih bahagia daripada saat Anda datang ke tempat ini". Ruang tamu di dalam ruang kerjaku hanya sesekali saja aku pakai untuk menerima tamu. Tamu-tamu yang kuterima di ruangan itu hanyalah tamu di bawa empat mata, saat sedang membicarakan sesuatu yang sangat penting dan rahasia. Ruangan kerjaku kutata sedemikian rupa supaya seolah menggambarkan keramahanku sendiri bagi siapa saja yang masuk ke ruangan itu. Buku-buku kususun dengan rapih dan baik dalam dua rak besar di belakang meja kerjaku. Di samping meja kerjaku kutempatkan satu set kursi tamu yang terbuat dari rotan dengan gabus warna merah. Gorden di samping kiri kanan jendela ruangan kerjaku kupasang gorden warna merah. Aku memang suka gorden warna merah. Di atas meja kerjaku kupasang sebuah salib duduk dari kuningan dan sebuah patung cantik bunda Tuhanku yang terbuat dari fiber setinggi 30cm. Meja kerjaku juga kudekor dengan indah seperti meja dalam ruang suci. Bedanya hanya pada kain penutup meja. Meja kerjaku kualas dengan kain batik halus, yang terurai hampir sampai ke lantai. Di bagian depan kutempel dengan kain selendang daerah Sumbawa kiriman seorang adik perempuanku. Aku suka duduk di meja kerjaku ini, di depan netbook-ku yang kusambung dengan baterai yang telah kucharge saat matahari bersinar baik. Di tempatku tinggal memang belum kenal namanya listrik, jadi kupakai listrik tenaga surya satu panel kecil sebagai sumber listrik.
Di samping dapur kusiapkan sebuah mesin generator yang lumayan besar, tetapi tidak setiap saat kuhidupkan. Mesin ini hanya kuhidupkan saat ada kegiatan atau saat aku dikunjungi oleh sahabat-sahabatku dan bermalam di rumahku. Dalam kesendirian aku merasa cukup dengan dua balon 10 watt dari listrik tenaga surya. Kalau beruntung, saat matahari bersinar dengan baik, dua balon ini bisa bertahan dari sore hari sampai pagi.
Aku cukup enjoy tinggal di atas gunung ini, di kompleks 'surga kecil'. Kendati dalam kesendirian, aku sama sekali tidak merasakan kesepian karena kucoba untuk menyatu dengan alam dan menyatu dengan kesendirianku sendiri. Padahal aku sesungguhnya bukanlah tipe orang yang senang bermenung dan menyendiri. Situasi dan kondisi telah membentukku menjadi seorang yang akrab dengan kesendirian dan kesunyian.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar