Minggu, 02 Oktober 2011

Maria Symbol Kehidupan

Bunda Maria Simbol Kehidupan Beriman Gereja

Oleh: P. Yans Sulo Paganna', Pr.


 

"Karena ketidaktaatan Adam, manusia mengalami kebinasaan;

tetapi berkat ketaatan Maria, manusia memperoleh keselamatan"

(Sto. Ireneus)


 

KepadaYth,

Pimpinan Redaksi Mingguan HIDUP

Di- Tempat


 

Dengan hormat,

Penulis tertarik untuk mengirim tulisan Penulis ini kepada Anda untuk dibaca dan kalau sekiranya layak dimuat untuk pembaca Mingguan HIDUP. Penulis tertarik mengirimkannya karena pengalaman Penulis hari ini pulang dari pedalaman melayani Umat Allah. Dalam perjalanan pulang melayani hari ini, penulis melihat sekelompok anak-anak kecil sedang asyik mandi di sungai. Spontan penulis berhenti sejenak untuk mengambil gambar mereka dari kejauhan.


 

"Preakkk,….", tiba-tiba sebuah pukulan seorang di antara mereka memukul seorang temannya. Melihat suasana yang mulai kacau, penulis memarkir motor di pinggir jembatan dan turun melerainya.


 

(Cerita diedit), kemudian ternyata akhirnya kekacauan di antara anak-anak kecil yang sedang mandi itu dipicu karena alasan Rosario. Anak yang melayangkan pukulan itu "merasa tersinggung" melihat seorang temannya (yang mendapat pukulan) mengenakan kalung rosario saat terjun ke sungai yang tidak terlalu bersih.


 

Setelah tiba di rumah pastoran, penulis terkesan dengan pengalaman di tengah perjalanan pulang dari pedalaman siang ini. Sungguh, betapa kuatnya symbol itu pada manusia, sampai-sampai anak-anak ingusan, anak-anak SD itu berkelai hanya soal symbol. Penulis ingat ada tulisan singkat penulis dalam file tentang Bunda Maria sebagai symbol, maka spontan saja ada keinginan untuk membiarkan orang lain (baca: umat katolik) membacanya, khususnya di Bulan Rosario ini. Caranya adalah mengirimkannya kepada Mingguan HIDUP.


 


 


 


 


 

Biodata Singkat Penulis:


 

Nama Lengkap    : P. Yans Sulo Paganna', Pr.

Pekerjaan        : Pastor Kepala, Paroki Santa Maria Tombang Lambe' –

Bokin, Kevikepan Toraja, Keuskupan Agung Makassar.

Anggota Agenda 18 Jakarta (Group Penulis Katolik Jakarta).

Alamat         : Pastoran Bokin – Toraja Utara,

via Pastoran Rantepao – Toraja Utara,

Jln. WR. Monginsidi No 37 Rantepa –

Toraja Utara, Sulawesi Selatan.


 

***


 


 

Pengantar

Ada pepatah lama, "Surga terletak di telapak kaki ibu". Pepatah lama ini ingin penulis tempatkan dalam konteks "Bunda" Maria sebagai bunda Gereja dan bunda Kristus sendiri. Entah diterima atau tidak, disadari atau tidak, peranan Bunda Maria sungguh-sungguh begitu besar dalam karya keselamatan Allah atas umat-Nya. Sedemikian besar peran Bunda Maria dalam rangka karya keselamatan tersebut, maka tidak jarang ada sindiran dari orang lain bahwa orang katolik punya empat Allah (Bapa, Putera, Roh Kudus, dan Maria). Tidak perlu pusing dengan kata-kata bernada ejekan tersebut, karena mereka tidak tahu siapa dan bagaimana sesunggunya peran Bunda Maria dalam kehidupan umat beriman (baca: Gereja).

Bunda Maria telah menjadi "symbol" yang hidup bagi umat Kristen di mana pun di dunia ini. Hal ini sesungguhnya telah menjadi kesadaran umum sejak abad-abad awal, hanya saja pembicaraan mengenai simbol secara lebih spesifik hampir tidak pernah dibicarakan secara lebih rinci.

Sebagai sebuah simbol, peran Bunda Maria senantiasa terbuka untuk ditafsirkan oleh siapa pun. Namun, supaya tulisan ini bisa terfokus, penulis akan membatasi tema tulisan ini pada peran Bunda Maria sebagai simbol kehidupan orang-orang beriman kristiani. Sebagai sebuah simbol, kehadiran Bunda Maria dalam "hati" orang beriman sungguh tidak bisa dipungkiri perannya sebagai "agent" yang semakin mendekatkan orang-orang beriman dengan Allah.


 

Sekilas Tentang Arti Simbol

    Erns Cassirer, seorang tokoh neo-kantian telah membuat studi khusus mengenai simbol dan simbolisasi, yang menurut M. Eliade dibuat oleh manusia modern tanpa sadar. Tindakan manusia tidak hanya dilihat dari sisi historisnya saja, tetapi juga dari sisi antropologisnya. Dalam arti antropologis berarti bahwa manusia selalu bergerak dalam rangka simbolis. Simbolisasi berkaitan erat dengan hakekat dan esensi manusia itu sendiri. Menurut hakekatnya, manusia adalah mahluk simbolis (animal symbolicum). Ia hanya ada dalam gerak pengungkapan diri sebagai pelaksana dirinya. Tidak sedikit pun manusia melepaskan diri dari pengungkapan diri melalui simbol. Manusia selalu melaksanakan dirinya di dalam dan melalui simbol. Dari strukturnya, simbol tidak pernah tampil untuk dirinya sendiri, melainkan untuk apa yang dilambangkan. Namun apa yang dilambangkan itu hanya bisa dialami dan dipahami melalui dan dalam bentuk simbol.

    Secara etimologis, kata simbol diturunkan dari kata Yunani, "symbolon", yang kata kerjanya symballein. Kata kerja symballein berarti menggabungkan, mengumpulkan, menyatukan, mempertemukan. Kata symbolon sendiri berarti harafiah "tanda pengenal, lencana, atau semboyan". Symbolon di Yunani dipakai sebagai bukti identitas. Dalam bahasa Latin, 'symbolicum', yang berarti menghubungkan dua hal. Dalam pada inilah kemudian muncul istilah simbol dan yang disimbolkan. Antara simbol dengan yang disimbolkan terdapat suatu korelasi yang sangat erat antara satu dengan yang lain. Simbol berpartisipadi terhadap yang disimbolkan. Simbol sebagai partisipasi, berarti yang disimbolkan lebih besar dari simbol itu sendiri.

Simbol dibedakan dari tanda. Hanya saja kamus besar bahasa Indonesia, sedikit menyamakan kedua istilah tersebut. Padahal kedua istilah tersebut sangat berbeda satu dengan yang lain. Simbol bisa menjadi tanda, tetapi tanda belum bisa disebut simbol. Dengan kata lain bahwa simbol bukan sekadar tanda biasa. Untuk membedakan kedua istilah tersebut, kita bisa melihat beberapa ciri simbol: Pertama, simbol bukan sekadar ungkapan kosong belaka, tetapi tanda yang menunjuk suatu realitas atau tindakan yang nyata dan real. Kedua, apa yang ditunjuk oleh simbol adalah suatu realitas yang mengatasi hal indrawi. Ketiga, simbol itu selalu dalam konteks masyarakat atau kebersamaan. Keempat, simbol bukan sekadar ada dalam tataran rasional belaka, melainkan menyapa dan menyentuh seluruh pengalaman hidup manusia.

Dalam arti teologis, pembicaraan mengenai simbol dipahami sebagai suatu usaha manusia untuk menyingkap sesuatu makna di balik tanda yang datang kepadanya. Manusia mencoba mengarahkan refleksi imannya atas apa yang ditangkap oleh indra. Manusia senantiasa sadar bahwa di balik tanda yang nampak, tersembunyi suatu hal yang jauh lebih besar dari sekadar apa yang kelihatan.


 


 

Bunda Maria sebagai simbol

    Setelah melihat sekilas tentang arti symbol; baik dalam artian filosofis – antropologis – maupun dalam artian teologis, maka kita bisa memahami permasalahan pokok yang dimaksudkan ketika orang-orang Kristen menempatkan sosok Bunda Maria sebagai suatu simbol kehidupan orang-orang beriman. Pertanyaan yang mungkin muncul adalah, "Mengapa Bunda Maria bisa dikategorikan sebagai sebuah smbol, atau materi apa yang menyebabkan ia sampai disebut sebagai simbol?

    Pertama-tama harus dikatakan bahwa ketika mencoba melihat Bunda Maria sebagai simbol, hal yang harus disadari adalah bahwa dalam diri Bunda Maria kriteria umum yang dibuat oleh manusia mengenai ciri-ciri simbol bisa dengan jelas dilihat dalam dirinya.

Pembicaraan mengenai Bunda Maria hendak ditempatkan dalam konteks pembicaraan mengenai simbol teologis. Dalam artian bahwa, ketika Bunda Maria dilihat sebagai simbol, maka kiranya kehadiran Maria sesungguhnya mau menampilkan sesuatu yang lebih besar dari Bunda Maria sendiri. Sesuatu yang lebih besar dari itu tidak lain adalah perannya sebagai penghadir keselamatan, yakni melahirkan Sang Penyelamat sendiri. Dalam arti bahwa manusia yang telah 'mati' karena dosa, kemudian 'hidup kebali' oleh karena ketaatan Bunda Maria. Kematian dipulihan berkat ketaatannya.     

    Oleh Allah, Bunda Maria mendapat tugas mulia untuk menghadirkan suatu kehidupan baru bagi manusia. Barangkali dari sinilah juga kita akan bertitik tolak bahwa pembicaraan mengenai Bunda Maria tidak pernah akan dilepaskan dari pembicaraan mengenai Gusti Yesus sendiri. Dalam pembicaraan-pembicaraan lebih lanjut kemudian akan muncul diskusi yang sangat ramai, khsusnya pada abad-abad awal. Kemanusiaan dan keallahan Yesus menjadi dispute yang hampir tak terselesaikan.

    Maka, dalam pada ini juga Bunda Maria boleh dikatakan sebagai simbol tata rahmat, penghubung antara manusia dengan Allah sendiri. Dalam diri Bunda Maria, Allah menghadirikan Diri-Nya kepada manusia, sekaligus menghadirkan manusia bagi Allah sendiri. Dengan mengandung Yesus Kristus, Sang Kehidupan Baru, ia secara sungguh istimewa bekerja sama dengan Allah sendiri, yakni lewat ketaatannya, iman, pengharapan, serta cinta kasihnya yang berkobar. Bunda Maria tidak secara pasif digunakan oleh Allah dalam tata penyelamatan, tetapi sungguh-sungguh bekerja sama dengan Allah secara bebas. Sto. Ireneus berkata, "Dengan ketaatannya Bunda Maria menyebabkan keselamatan bagi dirinya maupun bagi segenap umat manusia. Ikatan yang disebabkan oleh ketidaktaatan Hawa telah diuraikan karena ketaatan Maria."


 


 


 


 

1. Bunda Maria sebagai hawa baru dan co-redemtrix

    Sejak abad-abad awal, Gereja memposisikan Bunda Maria sebagai Hawa kedua – Hawa baru, sebagai gambaran yang paralel dengan perbandingan Yesus sebagai Adam kedua – Adam baru.    Pencitraan yang mula-mula dihubungkan oleh Gereja sebagai Tubuh Kristus ini diberikan kepada Bunda Maria dalam perannya sebagai Bunda Penyelamat. Pencitraan ini membalikkan gambaran tentang Hawa pertama sebagai ibu yang lemah terhadap godaan dan tidak menaati firman Allah, yang pada akhirnya melahirkan kematian. Bunda Maria, Hawa baru, justru menjadi simbol wanita yang teguh pada imannya. Bunda Maria taat pada firman Allah, kendati ia sendiri belum tahu apa yang akan terjadi pada dirinya. Tetapi justru dengan demikianlah Bunda Maria mengandung dan melahirkan Sang Kehidupan, yakni Yesus Kristus.

Kiranya dalam hubungan dengan itulah para bapak Gereja sejak awal menyebut Bunda Maria sebagai Hawa baru, "maut datang melalui ketidaktaatan Hawa, kehidupan datang melalui Maria berkat ketaatannya. Dalam Kitab Kejadian dikatakan bahwa manusia (baca: Adam) menyebut istrinya Hawa, karena ia (baca: Hawa) menjadi ibu dari segala yang hidup.

    Kalau kita mencoba untuk melihat apa yang dikatakan oleh Kitab Suci, (khususnya dari Perjanjian Lama) tentang Hawa baru, Kitab Kejadian (3,15) seolah meramalkan akan hadirinya seorang Hawa Baru. Hawa baru yang dimaksudkan itu tidak lain adalah Bunda Maria sendiri. Bunda Maria dilihat sebagai Hawa baru, yakni dalam perannya sebagai orang yang melahirkan Sang Penebus sendiri, yang nota bene menghadirkan kehidupan baru (baca: keselamatan). Namun peran Bunda Maria dalam hal ini harus selalu ditempatkan pada perannya secara global dalam karya penebusan, sebagai Bunda Allah. Peran Bunda Maria hanyalah sebatas dalam kerjasama, dan bukanlah penebus itu sendiri. Hanya saja kerja sama Allah dan Bunda Maria itu sedemikian personal maka disebut istimewa. Mungkin kita akan bertanya, "bagaimana kerja sama Bunda Maria dengan karya penebusan Allah itu sehingga dia menjadi sangat istimewa?". Ini dapat dijelaskan oleh argumentasi teologi dogmatik, khususnya mengenai penebusan objektif dan penebusan subjektif.

    Dalam penjelasan teologi dokmatik, kedua istilah ini dijelaskan sebagai berikut: Penebusan objektif adalah pelaksanaan penebusan manusia secara global yang dilaksanakan dalam wafat dan kebangkitan Kristus. Penebusan subjektif adalah pelaksanaan penebusan objektif itu dalam masing-masing individu. Orang-orang yang menerima penebusan ini kemudian berkumpul menjadi satu Gereja dan dipanggil untuk bekerjasama dengan Allah dalam menyebarkan keselamatan, sehingga semakin banyak orang yang diselamatkan.

    Dalam diri Bunda Maria, kita dapat menemukan model kerjasama ini. Ia menerima rahmat dengan disposisi diri yang lebih baik kemudian memperkembangkannya. Dengan sikap hidupnya yang baik, ia memberi kesaksian datangnya kerajaan Allah dan berbuat baik kepada orang banyak sehingga orang-orang itu (baca: kita) bisa menerima datangnya kerajaan Allah. Kekhasan Bunda Maria dalam kerjasama dalam karya keselamatan Allah adalah bahwa ia bekerjasama dengan Kristus, puteranya ketika Kristus masih hidup di dunia ini. Ia bekerjasama dengan Yesus secara personal. Dalam arti pengalaman hidup Bunda Maria berhubungan langsung dengan pengalaman hidup Yesus. Contoh yang sangat jelas dalam hal ini adalah ketika ia akan mengandung Putra Allah, ia tidak mengatakan "tidak" atau "jangan" tetapi ia justru mengatakan "Fiat". Atau ketika Yesus memanggul salib-Nya, Bunda Maria memandang dengan kesedihannya yang amat mendalam, tetapi ia tidak berusaha menghentikan prosesi penyaliban itu.

    
 


 


 

2. Tubuh keibuan Bunda Maria sebagai sumber dan simbol kehidupan

Pembicaraan tentang kehidupan dalam tataran manusiawi tidak bisa dilepaskan dari tema tentang peran keibuan seorang wanita. Rahim wanita merupakan tempat awal kehidupan manusia. Di dalam rahim seorang ibu, benih kehidupan manusia terbentuk dan bertumbuh-berkembang. Dari seorang ibu jugalah fetus yang bertumbuh dalam rahim bisa memperoleh makanan demi perkembangannya. Rahim seorang ibu jugalah yang sangat berperan sebagai tempat perlindungan yang aman bagi kehidupan awal yang memang sangat rentan terhadap berbagai ancaman fisik.

Kandungan seorang wanita tidak hanya berperan secara biologis bagi pertumbuhan manusia saja. Unsur-unsur kejiwaan manusia pun mulai dibentuk di tempat tersebut. Perasaan, pikiran dan kehendak sebagai daya-daya psiko-spiritual manusia turut bertumbuh sejalan dengan pertumbuhan fisik dan aspek psiko-motoriknya. Unsur-unsur rohani pada sang anak juga berkaitan erat dengan unsur-unsur rohani sang ibu. Dari aspek psikologis, apa yang dialami, dirasakan, dan dipikirkan seorang ibu turut mempengaruhi pertumbuhan sang anak dalam aspek yang sama. Singkatnya, bahwa dalam rahim seorang ibu, manusia memperoleh bentuk awal kehidupan secara jasmani maupun rohani. Tubuh seorang ibu telah memberikan kelengkapan awal pada anak yang dikandungnya. Dengan kata lain, bahwa dalam rahim ibu-lah tiap benih kehidupan itu dimanusiakan dan dipersiapkan untuk menjalani kehidupan yang mandiri. Sebab itu rahim seorang ibu dapat dikatakan sebagai dunia pertama bagi manusia. Rahim wanita menjadi pra-kondisi dari realitas dunia yang sebenarnya.

Selanjutnya, dari tubuh seorang ibu pula manusia dilahirkan ke tengah dunia. Sang ibu melepaskan apa yang sebelumnya menjadi bagian dirinya untuk memperoleh kehidupan baru yang lain. Namun perhatian dan pemeliharaanya tidak cukup berhenti di sini, melainkan terus berlangsung hingga kemandirian hidup yang sesungguhnya bagi sang manusia baru.

Sampai di sini nampak bahwa keibuan sangat erat berkaitan dengan kehidupan. Keibuan dapat diartikan sebagai sumber kehidupan manusia dalam hakekatnya sebagai pembentuk kemanusiaan seseorang. Kecuali itu, dinamika kehidupan manusia dapat terungkap secara jelas dalam hidup seorang ibu, baik secara fisik-biologis maupun secara rohani psikologis. Tubuh perasaan, harapan, kegembiraan, penderitaan dan perjuangan seorang ibu menandakan sekaligus menghadirkan dinamika hidup tersebut. Dengan demikian, tepatlah jika dikatakan bahwa seorang ibu merupakan symbol kehidupan.

Tubuh keibuhan merupakan simbol dari awal kehidupan manusia. Tubuh seorang ibulah yang menerima dan mengandung benih kehidupan. Selanjutnya, dari tubuh keibuhan pula kehidupan itu dilahirkan; dilepaskan menuju perkembangannya dalam kemandirian. Dalam pada ini tubuh keibuhan menjadi simbol "penerimaan sekaligus pelepasan, pemberian diri sekaligus pengosongan diri" demi kehidupan yang lain. Tubuh keibuhan Bunda Maria menjadi simbol kehidupan iman orang-orang Kristen justru berkat kerelaan Bunda Maria untuk mengandung (baca: menerima) dan melahirkan (baca: melepaskan) Sang Penyelamat, yakni Yesus Kristus.

    Keselamatan bersumber pada pengosongan diri Yesus, Allah yang menjadi manusia, dan penyerahan dirinya dalam peristiwa penyaliban. Tindakan pengosongan diri dan Yesus ini menjadi teladan kehidupan beriman (bdk Flp 2,5-11). Iman akan Yesus Kristus diwujudkan dalam sikap aktif untuk menyerupakan diri dengan tindakan Kristus sendiri. Tindakan penyelamatan oleh Yesus Kristus tersebut telah diidentifikasikan dengan penyerahan diri Bunda Maria menjadi Bunda Allah yakni dengan melahirkan Yesus Kristus.

    Dengan demikian tubuh keibuan Bunda Maria menjadi pra-kondisi bagi hadirnya kehidupan baru – kehidupan kekal, yakni kehidupan dalam diri semua orang beriman. Dengan mengandung dan melahirkan Tuhan Yesus, Bunda Maria telah mengantisipasi karya penyelamatan dalam diri Yesus Kristus. Berkat imannya, Bunda Maria dapat dikatakan sebagai buah pertama sekaligus murid pertama Tuhan Yesus. Dengan pemberian dirinya Bunda Maria tidak hanya mendatangkan keselamatan bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi semua umat manusia. Karena itulah Bunda Maria dikatakan sebagai simbol iman yang menyelamatkan.


 


 

3. Keperawanan Bunda Maria

    Pembicaraan mengenai keperawanan Bunda Maria tidak sedikit menimbulkan kesalahpahaman di kalangan umat (dan mungkin di kalangan para pemimpin umat sendiri). Tidak jarang terjadi debat kusir mengenai keperawanan Bunda Maria. Di satu sisi umat sulit membayangkan Bunda Maria yang telah melahirkan Tuhan Yesus masih dapat dikatakan sebagai perempuan yang masih tetap perawan (virgin), sementara di sisi lain para teolog sibuk mencari pendasaran argumentasi yang tepat untuk menjelaskan bahwa Bunda Maria sungguh-sungguh tetap perawan, juga pada waktu kelahiran puteranya.


 

3. a. Paradoks inkarnasi dalam keperawanan dan keibuan Bunda Maria

    Penyelamatan umat manusia oleh Allah dalam diri Yesus Kristus, telah membawa-Nya pada pengidentifikasian diri sepenuhnya dalam kondisi kemanusiaan, tanpa menghilangkan keilahian-Nya. Dengan kata lain dalam misteri inkarnasi, Yesus Kristus tetap sepenuhnya Allah sekaligus sepenuhnya manusia. Dalam pribadi-Nya, Yesus Kristus sekaligus menghadirkan dua dimensi kehidupan, yakni dimensi vertikal dan dimensi horizontal dalam kesatuan-Nya dengan manusia (ciptaan). Inilah kiranya yang menjadi paradoks inkarnasi dalam pemahaman manusia.

    Dalam dirinya, Bunda Maria menunjukkan dan mewakili kedua dimensi paradoksal dalam inkarnasi tersebut. Keperawanannya menandakan karya ilahilah yang sedang terjadi atas dirinya, tanpa tergantung pada tindakan dan intervensi manusia. Apa yang telah ditandaskan penginjil Matius dan Lukas (Mt 1,18.20; Luk 1,28-35) itu kembali diangkat oleh Yustinus (+ 165) yang mengatakan bahwa, "Ketika Roh Allah hadir dan menguasai sang Perawan, maka mengandunglah dia, bukan karena melalui hubungan badaniah melainkan karena kuasa Allah." Sto. Ambrosius, yang hidup dua abad sesudahnya (339-397) menegaskan kembali pernyataan tersebut, :"Seorang perawan dapat melahirkan merupakan suatu tanda yang bukan berasal dari manusia melainkan dari misteri ilahi." Kedua pandangan ini menggarisbawahi dimensi ilahi dalam keperawanan Bunda Maria, yaitu bahwa keperawanan Bunda Maria mengarah pada Allah sebagai sumbernya dan mengingatkan kita akan misteri ilahi dalam inkarnasi.

Dalam tradisi Gereja sejak awal mula, keperawanan Bunda Maria selalu dihubungkan dengan misteri inkarnasi Yesus dan masuk dalam inti iman kita, selalu dikatakan kurang lebih bahwa Yesus Kristus itu lahir dari perawan Maria. Pernyataan ini bisa kita lihat dalam hasil-hasil konsili pada abad-abad awal Gereja. Sebut saja misalnya Konsili Konstantinopel (681), Konsili Lyon (1274), Konsili Wina (1312), Konsili Florence (1442).

Memang tidak salah bahwa istilah 'perawan' ini bisa diartikan secara harafiah, tetapi yang jauh lebih penting adalah arti atau makna simbolis dari kata 'perawan' tersebut. Perawan bukan pertama-tama diartikan sebagai tidak robeknya selaput darah Bunda Maria, tetapi istilah ini sesungguhnya lebih ingin menjelaskan bahwa sejak semula Bunda Maria telah dipersiapkan sebagai Bunda Allah, maka sejak semula ia terbebaskan dari dosa asal (DS 2803). Sejak saat pertama ia dikandung, ia dikarunia cahaya kekudusan yang istimewa (LG 56). Dalam arti ini keperawanan Bunda Maria lebih pada keperawanan teologis, dan bukan sekadar keperawanan fisik.

Namun jauh lebih penting untuk kita lihat di balik kata 'perawan' itu adalah makna simbolisnya. Di balik kata 'perawan' ini ada nilai yang ingin ditekankan oleh Gereja sendiri. Pertama, Gereja ingin menggarisbawahi bahwa Yesus itu adalah Anak Allah. Dengan mengatakan bahwa Bunda Maria itu perawan, ingin digarisbawahi bahwa asal-usul Yesus itu sungguh-sungguh Ilahi, bukan oleh karena nafsu seorang laki-laki dan perempuan. Kedua, kelahiran dari perawan merupakan antisipasi kelahiran manusia baru, yakni mereka yang percaya kepada Tuhan Yesus. Kelahiran dari perawan ini memberikan indikasi jelas bahwa keluarga yang dibentuk dalam Gereja adalah keluarga yang baru, yang memakai criteria yang baru. Ini adalah bentuk penciptaan yang baru, yang bukan lagi berdasarkan kepada aliran darah manusiawi tetapi kepada criteria yang baru, yakni iman kepada Yesus Kristus.


 


 


 

3. b. Bunda Maria sebagai tanda penebusan

    Karya penebusan telah dimulai dengan kehadiran Putra Allah dalam rahim sang Perawan Maria. Tindakan rencana penyelamatan tersebut secara nyata terwujud dalam pengosongan diri Allah yang menjadi manusia dan penyerahan diri-Nya untuk menjadi korban silih atas dosa-dosa manusia dalam misteri paskah.

    Tanda penebusan itu sendiri sebenarnya telah dihadirkan oleh Bunda Maria. Dalam peristiwa kabar gembiri, ia menyerahkan dirinya untuk menjadi Bunda Penebus. Dalam peristiwa kelahiran, ia juga mengosongkan dirinya untuk memberikan sang Penebus kepada seluruh dunia. Melalui keputusan dan tindakannya ini, Bunda Maria telah mengantisipasi karya penebusan yang kemudian dilaksanakan oleh Yesus Kristus. Dengan pemberian dirinya, Bunda Maria tidak hanya mendatangkan keselamatan bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi seluruh ciptaan. Karena itu dikatakan, "….ditebus secara lebih unggul" sebab ia tidak hanya sebagai gambaran orang yang ditebus. Ia juga mencitrakan diri sebagai pribadi yang menyubangkan kerjasama bagi terlaksananya karya penebusan. Dalam konteks yang sama, tubuh keibuannya telah menjadi pra kondisi kehidupan baru, yakni kehidupan kekal yang dimiliki oleh semua orang yang percaya dan ditebus oleh Kristus. Dalam pada ini Gereja, memandang Bunda Maria sebagai tanda penebusan sekaligus simbol iman yang menyelamatkan.


 


 

3. c. Keperawanan Bunda Maria dan pembaharuan ciptaan

Menurut beberapa penulis patristik, keperawanan Bunda Maria juga menyimbolkan keperawanan tanah surga yang darinya Adam diciptakan. Dengan demikian, Bunda Maria mewakili pembaharuan suluruh dunia natural menuju keadaan asalinya yang baik, sebagaimana digambarkan dalam kisah penciptaan (Kej 2,7). Pandangan ini dikedepankan antara lain oleh Sto. Ireneus, dan Sto. Agustinus. Sto. Ireneus mengemukakan bahwa alam yang keadaan awalnya adalah murni (baca: perawan) direstorasi melalui kelahiran oleh perawan. Pendapat senada dikemukakan oleh Sto. Agustinus yang mengatakan bahwa wajah dunia, yakni martabat dunia, ditampilkan secara benar sebagai Ibu Tuhan.

    Pandangan ini pada intinya mau menekankan bahwa dunia dan manusia diciptakan oleh Allah dalam kondisi yang baik. Kodrat "tubuh dunia" yang baik-murni kemudian ternodai oleh tubuh manusia pertama yang berdosa. Kondisi ini dapat dikembalikan kepada keadaan awalnya yang murni melalui "tubuh murni-perawan". Melalui peristiwa inkarnasi Allah memperbaharui seluruh ciptaan-Nya dalam diri Yesus Kristus. Peristiwa inilah yang disebut sebagai penciptaan baru. Dalam pada ini, Bunda Maria turut berperan di dalamnya, karena dialah yang melahirkan Sang Pembaharu Ciptaan. Di sinilah nampak jelas babaimana Bunda Maria sungguh berperan dalam memberikan dimensi manusia pada diri Yesus Kristus. Fungsi keibuannya memungkinkan Kristus lahir menderita dan wafat dalam cara yang identik dengan kondisi hidup manusia.


 


 

3. d. Bunda Maria simbol kemerdekaan dan kebaikan manusia

    Keputusan Bunda Maria untuk menjawab "ya" terhadap tawaran Allah mengungkapkan pilihannya untuk secara bebas berpartisipasi dalam karya penyelamatan Allah. Tradisi Gereja Katolik tidak memandang peran Bunda Maria ini semata-mata dalam fungsi biologisnya. Lebih dari itu, Bunda Maria menjadi teladan utama bagi orang-orang beriman Kristiani. Inilah yang menjadi simbol kemerdekaan iman manusia. Sebagai Hawa baru, Bunda Maria dapat menjawab undangan Allah dalam kemerdekaan pilihan untuk tidak menjadi tidak taat. Kecenderungan yang telah ada sejak dosa pertama ini justru dikalahkan Bunda Maria dalam kebebasan imannya. Bunda Maria menjadi pribadi yang terbuka dan taat seutuhnya kepada Allah.

    Di sinilah martabat manusia sebagai pribadi yang merdeka dipulihkan kembali. Manusia secara bebas dapat bekerjasama dengan Allah dalam karya keselamatan. Kodrat manusia yang pada dasarnya baik - meskipun telah ternodai dosa - dapat dipulihkan melalui karya Allah dan tindakan manusia yang bekerjasama dengan-Nya. Dalam pandangan Gereja Katolik, dalam diri Bunda Maria kita menemukan kemanusiaan yang "secara esensial dan radikal" baik adanya.


 

4. e. Bunda Maria simbol pengharapan

    Bunda Maria merupakan ungkapan penuh dari kerinduan kaum miskin YHWH dan menjadi teladan bagi mereka yang mempercayakan diri dengan sepenuh hati kepada janji-janji Allah. Bunda Maria ditempatkan sebagai pusat dari perjuangan untuk menghancurkan kerajaan dosa yang menyertai sejarah umat manusia di dunia dan sejarah keselamatan itu sendiri. Di tempat pusat ini, ia yang menjadi milik kaum lemah dan miskin, Tuhan menganugerahak rahmat kepada manusia dalam Putera-Nya yang terkasih. Dengan demikian di hadapan Allah dan di hadapan seluruh umat manusia, Bunda Maria tetap sebagai tanda pilihan Allah yang tak berubah dan tak bercela, sebagaimana dinyatakan dalam surat Rasul Paulus: "Dalam Kristus,…. Allah memilih kita,… sebelum dunia dijadikan,… Ia telah menentukan kita untuk menjadi anak-anak-Nya" (Ef 1,4-5). Pemilihan ini lebih kuat daripada segala pengalaman kejahatan dan dosa yang memadai dalam sejarah penyelamatan manusia. Dalam sejarah ini, Bunda Maria tetap merupakan tanda pengharapan yang pasti.

    Warta gembira malaikat Gabriel kepada Bunda Maria diletakkan dalam kerangka kata-kata yang meneguhkan ini, :"Jangan takut, Maria,…Bagi Allah tidak ada yang mustahil" (Luk 1,30.37). Seluruh hidup Bunda Perawan pada kenyataannya dipenuhi dengan kepastian bahwa Allah dekat dan bahwa Allah menyertai dengan penyelenggaraan-Nya. Dengan demikian kita dapat memandang Bunda Maria sebagai tanda pengharapan dan penghiburan yang pasti.


 

Belajar dari Bunda Maria

    Kalau dilihat dari sudut orang beriman, Bunda Maria boleh dikatakan sebagai seorang teladan beriman. Dia pantas disebut sebagai prototipe
orang beriman, khususnya dalam ketaatan atau kepasarahan totalnya kepada Allah, termasuk kesucian hatinya di hadapan Allah dan sesamanya. Beberapa karakter Bunda Maria yang diceritakan oleh Kitab Suci kiranya penting untuk kita lihat secara singkat, adalah:


 

a. Bunda Maria seorang perempuan gigih

    Dalam masyarakat di mana keluarga masih merupakan unit ekonomi, perempuan memegang peran yang sangat vital dalam memproduksi makanan, termasuk tenaga mereka dalam bidang pertanian. Kita bisa membayangkan situasi itu dengan situasi yang dialami oleh keluarga kudus dari Nazaret ketika Yesus hidup. Namun dalam situasi seperti itu, Bunda Maria dengan semangatnya yang keras berhasil membesarkan Tuhan Yesus dengan baik. Dalam arti ini, Maria menampilkan karakter seorang perempuan yang berani. Bahkan karakter ini juga sangat nampak dalam keberaniannya menyatakan kebenaran Allah kepada mereka yang membutuhkannya, kendati ia hidup dalam kesederhanaan yang mungkin akan dicemooh oleh masyarakatnya.

Bunda Maria adalah sosok orang yang hidupnya dalam Tuhan, yang menaruh kerinduan tak terbatas pada kehidupan. Maria mencurahkan seluruh hidupnya untuk memuliakan Allah, diangkat dari kehinaan oleh karena ia menyelamatkan kehidupan di sini dan saat ini (hic et nunc).

Maria sebagai Perawan dan ibu menjadi pusat simbol kristiani yang menandakan kemandirian, relasi, kekuatan dan kelembutan hati, perjuangan dan kemenagan, kekuatan Allah dan perantara manusia. Maria adalah figur idaman, yang menjadi prototipe manusia yang berjuang untuk melawan kelemahannya terhadap dosa. Melalui tindakan aktif untuk melaksanakan kehendak Allah, ia telah memulihkan dan mengangkat martabat manusia dari situasi ketidakberdayaan dan keterbelengguan akibat dosa.


 

b. Bunda Maria, seorang perempuan yang setia

"Aku ini hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataanmu" (Lih Luk 1,38). Inilah kata-kata yang keluar dari mulut Bunda Maria ketika ia menerima kabar dari malaikat Gabriel bahwa ia akan mengandung Sang Penyelamat. Suatu kalimat yang sungguh menunjukkan penyerahan diri secara total, sekaligus menyiratkan suatu kepercayaan yang penuh akan rencana Allah atas dirinya, mengungkapkan iman yang dalam kepada Allah. Bunda Maria tidak hanya menerima pasif begitu saja janji Allah tersebut, melainkan terlibat aktif dengan "berani mengatakan ya, terjadilah kehendak-Mu" kendati ia sendiri belum bersuami. Padahal dalam tradisi Yahudi, resiko perempuan yang mengandung di luar nikah adalah dihukum masyarakatnya dengan dirajam. Itulah keputusan iman yang menggetarkan hidupnya.

Bunda Maria pun tetap konsekuen dengan keputusannya. Ia tidak mengingkari apa yang telah diucapkannya, kendati tantangan dan cobaan datang silih berganti. Kesetiaan Bunda Maria kepada Allah dan kepada hidupnya sendiri ini kiranya pantas untuk kita teladani.

    

    c. Bunda Maria, perempuan yang jaya dalam doa

Dalam diri Bunda Maria yang 'penuh rahmat', kita melihat perannya sebagai 'pengantara segala rahmat' (mediatrix omnium gratianum). Kepengantaraannya dalam menghadirkan rahmat justru bersumber dari kehadirannya bersama sesama manusia yang berdoa dan menantikan Roh Kudus (Kis 1,12-14). Bunda Maria hadir untuk mendoakan sesamanya yang mengharapkan keselamatan. Ia menjadi teladan seorang pendoa, justru karena cinta keibuhannya yang ingin memberikan kehidupan kepada semua orang. Bunda Maria menjadi gambaran wanita yang bersahaja sekaligus tetap mengharapkan keselamatan Allah, bukan hanya bagi dirinya sendiri tetapi terutama bagi semua orang yang percaya kepada Yesus Kristus (Bdk. Luk 1,50-55).


 


 

Penutup

    Menyadari kedalaman makna apa yang sesungguhnya disimbolkan oleh Bunda Maria, maka marilah kita bersama dia datang kepada Allah dengan berdoa:

Gegrüβet seist du, Maria, voll der Gnade, der Herr ist mit dir. Du bist gebenedeit unter den Freuen, und gebenedeit ist die Frucht deines Leibes, Jesus.

Heilige Maria, Mutter Gottes, bitte für uns Sünder jetzt und in der Stunde unseres Todes. Amen.***

Sumber bacaan:

Akin, James,

"The Key to Understanding Mary", dalam

http://www.cin.org/users/james/files/key2mary.htm.

Beattie, Tina,

God's Mother Eve's Advocate: A Marian Narrative of Women's Salvation,

London: 2002.

Dister, Nico Syukur,

Teologi Sistematika 2, Yogyakarta: Kanisius, 2004.

Dokumen Konsili Vatikan II, Jakarta: Obor, 1993.

Campbell, Dwight P.,

"Eve as a type of Mary", dalam http://www.udayton.edu/mary/resources/eve.html. hlm. 2.

C. Groenen,

Mariologi Teologi dan Devosinya, Yogyakarta: Kanisius, 1988.

Cassirer, Ernst,

An Essay On Man, London: Yale University Press, 1970.

Herder,

Maria Heute Ehren, Freiburg: Deuthsland, 1977.

Johnson, Elisabeth A.,

"The symbolic Character of Theological Statements About Mary", hlm

312-336.

"Maria Die Mutter Gottes", dalam http://catholic-church.org/ao/marcat.html.

Martasudjita, E.,

    Sakramen-sakramen Gereja, Yogyakarta: Kanisius, 2003.

McBride, Alfred,

    Image Of Mary, Bangalore: Claretian Publications, 1999.

Yohanes Paulus II,

Bersatu Dengan Roh Yang Menghidupkan, Yogyakarta: Kanisius, 1998.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar