Remah-remah:
Panas terik matahari yang membakar kulit tidak menjadi halangan buatku untuk melanjutkan rencana petualanganku siang ini. Setelah pulang dari pedalaman, sebuah kampung yang berbatasan dengan Palopo, aku melanjutkan rencakanku dari rumah untuk terus ke arah timur kampung itu yakni Bastem-Pantilang.
Dari rumah aku sudah siap dengan rencanaku siang ini. Motor Megapro yang selalu menemaniku dalam setiap perjalanan ke pedalaman kuservis dengan baik kemarin sore. Angin ban kuganti dan rantai kusetel untuk tujuan sebuah petualangan. Tidak lupa baut-baut kukencangkan dan kuikat sebuah pompa tangan di bagian belakang motorku. Kunci-kunci dan ban dalam cadangan kumasukkan dalam tas, sehingga tasku terasa berat, tidak seperti kunjunganku pada hari-hari minggu ke tempat lain. Kamera kukalungkan dalam leher, sehingga terkesan seorang petualang sejati, atau lebih mirip seorang turis hahaha.
Aku sadar bahwa dalam rencana ini aku sedang menantang sebuah resiko, karena itu aku mempersiapkan diri dengan baik mulai dari kemarin sampai pagi tadi. Aku merasa siap dengan resiko yang akan kuhadapi dalam petualanganku siang ini.
Tidak seperti biasanya, setelah pelayanan aku masih tinggal cerita dengan umat dan masyarakat. Siang ini aku langsung pamit dengan mengatakan alasanku, hendak melihat pemandangan indah dari daerah Bastem-Pantilang kea rah Bokin.
Kulanjutkan rencanaku yang kedua, yakni mengunjungi daerah Bastem-Pantilang. Saat motorku sedang mendaki ke sebuah gunung, kuyakinkan diriku bahwa aku akan menemukan sebuah pemandangan yang indah. Aku sempat tergelincil ke tetapi tidak sampai terjatuh. Kucoba untuk lebih hati-hati lagi dan terus menambah gas pada tanjakan yang sangat terjal dan berbatu-batu. Aduh aku salah perhitungan, ban motorku terlalu keras sehingga setir sedikit sulit aku kendalikan, tetapi aku tidak mungkin berhenti di tengah pendakian yang terjal. Megapro yang telah siap tempur itu meraung-raung seakan ingin mengatakan tidak sanggup, tetapi gigi satu yang kupasang kubantu dengan stengah kopleng, dan akhirnya aku berhasil sampai ke sebuah bukit dengan pemandangan yang indah. "Waou,…. Indahnya?", ucapku spontan saat menyaksikan pemandangan indah di depanku. Segera kuambil kamera dan kuabadikan.
Lama aku duduk di atas bukit indah itu, sambil merokok dan menyaksikan keindahan alam yang ada di hadapanku. Bukit-bukit indah dengan sawah-sawah bertingkat yang menghijau, jalan-jalan rintisan tampak seperti jalan tikus dari atas bukit tempatku berdiri. Rumah-rumah penduduk dari kejauhan hanya tampak seperti batu-batu sungai berpisah jauh satu dengan yang lain.
Aku tidak peduli lagi dengan panas terik yang membakar kulit. Motorku juga kuparkir saja di atas puncak itu dan aku duduk di atas hamparan padang rumput di atas bukit itu sembali tak henti-hentinya mengagumi keindahan alam di depanku.
Dua batang rokok class mild kubakar di atas puncak bukit itu. Kuperkirakan sekitar 20 menit. Aku mengarahkan pandanganku kea rah bukit yang lebih tinggi di sampingku. Kuputuskan untuk melanjutkan petualanganku. Aku tidak ingin mengulangi pengalaman menyiksa dengan ban motor yang terlalu keras, maka kukurangi angin ban motorku. Kulanjutkan petualanganku. Aku mendaki-dan-mendaki terus bukit terjal dan berbatu-batu itu. Aku terlalu yakin bahwa sesuatu yang lebih indah ada di atas gunung sana. Barangkali aku bisa melihat seluruh daerah Toraja dan kota Palopo dari atas., pikirku sambil terus mendaki gunung. Tetapi sial sekali, aku tergelincir dan terjatuh. Aku cepat-cepat bangun tetapi sulit sekali, karena motor besar menindih kaki kiriku saat terjatuh, "Aduh,…. Kurang ajar", makiku sambil berusaha bangun dengan paksa. Dengan sepenuh kekuatan yang tersisa aku mencoba bangun. "Ukh ea,…ea,…", desahku dalam kesakitan mengangkat motor raksasa yang terbanting di tengah jalan. "Ukh ea,…", dan akhirnya berhasil. Aku langsung naik kembali dan langsung membunyikan motor raksasaku itu dengan stater tangan. Rupanya ia masih ingin menolongku dan tidak mempersulitku. Motorku langsung bunyi dan jalan. Aku sudah ragu dengan jalan di depanku, maka aku berhenti di tempat yang sedikit rata. Megapro yang setia itu kuparkir dan aku mencoba melihat luka di kaki kiriku yang tertindih motor tadi. Tidak apa-apa, hanya sedikit bengkak.
Tidak ada yang lewat di jalan itu, karena memang daerah itu adalah daerah perbatasan yang nyaris dilewati oleh manusia kecuali kalau terpaksa ada urusan penting. Kubulatkan hatiku untuk membatalkan petualanganku lebih lanjut. Aku hanya melirik ke atas gunung di sebelahku, "Tungguko,… suatu hari aku akan datang dengan motor penjelajahku. Jangan pikir aku kalah", kataku dalam hati.
Aku memang terpaksa menggunakan motor raksasaku hari ini karena motor penjelajahku sedang dipinjam teman ke kota Rantepao dan belum kembali.
Aku pulang. Pulang dengan hati perasaan terkalahkan. Rupanya amunisi yang kusiapkan tidak memadai, dan aku harus mengaku kalah, tetapi bukan berarti aku mundur. Kita adakan pertarungan ulang entah kapan, aku akan pulang mempersiapkan amunisi yang cukup, karena sekarang aku sedikit ada bayangan tentang kekuatanmu.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar