Berguru Kebijaksanaan Pada Seorang Nenek
(Sebuah permenungan tentang cinta)
Aroma harum-mewangi menusuk hidung, seakan mengundang semua saja yang lewat di depan rumah untuk mampir sekadar merasaka bau harum-mewangi itu walau hanya beberapa detik saja. Aroma itu datang dari sebuah dapur tempat kopi arabika toraja sedang digoreng dalam belanga tanah liat (kurin tanah). Sungguh sebuah aroma yang khas. Sekelompok ibu-ibu yang professional dalam pengolahan kopi bubuk sedang bercanda gurau sembari menggoreng biji kopi arabika pilihan dalam belanga tanah liat di atas bara api yang telah diatur sedemikian rupa.
"Wouu,… harumm….rasanya aku mau tinggal terus di sini sampai aroma itu hilang", kataku dalam hati saat mendekati tempat darimana aroma itu muncul. Kucoba mendekati seorang nenek yang sedang istirahat menuangkan kopi arabika itu ke dalam lesung dan siap menumbuknya.
"Waou,… harum sekali ya?", tanyaku sambil mengambil satu biji dari kopi yang telah digoreng dalam belanga tanah liat itu.
"Iya pastor, ini kopi arabika asli dari daerah ini – Bokin", jawab nenek itu sambil menuangkan habis ke dalam lesung kayu di depannya.
"Kokh tidak digiling saja nenek?", tanyaku lagi sambil duduk di sampingnya dan mengunya-ngunya biji kopi yang tadi kuambil.
"Wah,… enak sekali memang ya?", komentarku dengan nada tanya saat merasakan aroma biji kopi yang ada di dalam mulutku.
"Kalau digiling, minyaknya tidak keluar, maka kalau mau menginginkan aroma yang enak dari kopi arabika harus ditumbuk seperti ini", katanya sambil menumbuk pelan kopi yang ada di dalam lesung kayu.
"Oh,… begitu?", tanyaku heran.
"Iya pastor, apalagi kalau digoreng dalam belanga tanah liat, rasa harumnya akan sangat terasa", katanya lagi.
"Sama dengan beras kalau dimasak dalam belanga tanah liat di atas bara api, akan sangat berbeda dengan nasi yang dimasak dengan kompor gas atau kompor minyak tanah", sambungnya.
"Tapi kalau begini khan repot", kataku sambil mengambil kamera untuk memotretnya.
"Kalau mau hasil yang terbaik, memang harus melewati proses yang panjang dan kadang-kadang merepotkan", katanya.
Aku sedikit tersentak saat mendengar nenek yang sederhana ini mengucapkan kata-kata tersebut. Aku hampir tidak percaya bahwa dialah yang mengatakannya. Aku hanya mengangguk sambil merenungkan dalam hati kata-katanya tersebut, 'kalau mau yang terbaik memang kadang-kadang melewati proses yang panjang dan kadang merepotkan'.
"Iya, iya,… iya ya,…" kataku mengiyakan kata-katanya tersebut.
Tidak lama kopi yang ditumbuk nenek itu sudah dituangkan kedalam sebuah tempat dan seorang ibu sudah siap untuk menapisnya sampai halus. Tidak sekali jadi. Kuperhatikan saat ibu itu menapisnya hanya sedikit saja yang lolos lewat tapisan. Kemudian dimasukkan lagi ke dalam lesung dan ditumbuk lagi. Begitu seterusnya sampai beberapa kali. Aku kemudian minta untuk mencobanya, "Eh,…. boleh tidak dicoba ya?", kataku.
"Oh iya pastor, silahkan. Pasti membuat pastor tidak akan mengingat lagi kopi yang lain", kata nenek itusembari melempar sebuah senyum manis ke arahku.
Seorang ibu muda yang mendengar permintaanku itu langsung keluar dari dalam dapur dan mengambil sebuah cangkir batu kemudian menuangkan satu sendok kopi yang telah ditapis lalu menuangkan air panas ke dalamnya.
"Ibu, kalau boleh jangan dicampur gula ya", pintaku.
"Oh,… pastor mau coba tidak pakek gula seperti orang Jepang", katanya.
"Iya, aku mau coba kopi asli ini".
Tidak lama ibu itu sudah datang membawanya. Aku langsung mencobanya, "Sruuppp waou,… enakkk sekali. Harum dan seperti langsung menusuk sampai ke otak", kataku.
"Pantas orang jepang dan orang barat jauh-jauh datang ke tempat ini untuk mendapatkannya. Aku baru nikmati kopi paling enak. Terlambat aku tahu", kataku lagi.
Lama aku bersama mereka, melihat ibu-ibu itu mengolah kopi arabika secara tradisional tersebut. Aku berjalan ke pendopo dengan penuh kegembiraan sembari merenungkan kata-kata nenek tadi yang rupanya sangat membekas dalam benakku, "Kalau mau yang terbaik memang harus melewati proses panjang dan kadang-kadang merepotkan".
"Iya, juga ya?", kataku terbangun dari tidur panjangku setelah pulang dari tempat ibu-ibu itu menggoreng kopi arabika dalam belanga tanah liat. Kecenderungan manusia modern adalah bekerja cepat dan praktis. Kadang-kadang dengan jalan instant. Ibu-ibu itu tidak mau bekerja ala modern, karena ingin mempersembahkan yang terbaik untuk orang lain. Sebuah prinsip yang sungguh tidak ekonomis dan barangkali merupakan sebuah kebodohan untuk orang modern, tetapi bagi mereka sebuah persembahan indah penuh kasih. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar