I LOVE TORAJA
By: Y a n s Sulo Paganna', Pr.
(Sebuah Otokritik)
Pengantar:
Keramaian kota Rantepao dalam beberapa tahun terakhir ini berubah dengan sangat pesat. Lorong pertokoan yang dulunya hanya ramai dikunjungi pada hari-hari pasar Rantepao (baca: pasar Bolu), sekarang setiap pagi sampai malam dipadati pengunjung; baik domestik maupun para bule-bule. Penulis adalah salah satu yang sering mengunjungi pertokoan Rantepao tersebut. Penulis suka berjalan-jalan di lorong pertokoan Rantepao karena setiap kali penulis berjalan-jalan di lorong tersebut yang terbayang di dalam memori penulis adalah suasana Malioboro – Djogjakarta. Semasa penulis menjadi penghuni kota Djogjakarta, penulis juga hampir setiap minggu jalan-jalan ke Malioboro sekadar belanja baju kaos Dagadu atau sekadar refreshing menghilangkan kepenatan di bangku kuliah. Lorong pertokoan Rantepao – Toraja Utara untuk penulis juga demikian. Di tengah-tengah kesibukan rutinitas pekerjaan, penulis senang jalan-jalan ke kota Pong Tiku ini untuk menghilangkan rasa lelah, sesekali membeli souvenir atau baju kaos Toraja untuk penulis kirimkan teman-teman penulis di luar Sulawesi.
Di lorong pertokoan kota Rantepao yang ramai itu, ada satu tulisan yang entah karena alasa apa selalu mengundang tawa dalam hati, "I LOVE TORAJA". Tulisan ini bisa anda temukan pada baju kaos oblong seharga Rp 25.000,- (belum tawar), atau di tas kain seharga Rp 20.000,- (belum tawar). Awalnya penulis tertarik untuk membelikan teman sebagai ole-oleh, tetapi penulis keliling untuk mencari baju kaos dari kain yang lumayan bagus tetapi tidak ada, maka penulis tidak membelinya. Dari sinilah penulis akhirnya pulang ke rumah untuk bermenung tentang tulisan "I LOVE TORAJA".
Tanpa mengurangi rasa hormat penulis pada designernya, penulis merasa ada sesuatu yang lucu dan sedikit konyol di balik tulisan "I LOVE TORAJA", tersebut. Lucu karena tulisan itu terasa hambar dan tampa makna bagi penulis. Barangkali juga karena hal yang penulis rasakan ini juga dirasan oleh para pedagang sehingga mereka tidak menyediakannya dalam kualitas yang lebih baik. Atau jangan-jangan dari kualitas kain ini mau menggabarkan kualitas cinta dari yang sedang mengenakannya untuk Toraja itu sendiri. Hahahaha, entahlah. Konyol karena Toraja yang menjadi kebanggaan daerah bahkan dijadikan sebagai daerah tujuan wisata nasional, ternyata justru tidak memberikan sesuatu yang bisa dibanggakan kecuali karena keindahan alamnya yang perlahan-lahan juga sudah dan sedang digugat atas nama bisnis. Inilah sebuah kekonyolan tersebut. Di satu sisi mengenakan baju bertuliskan I LOVE TORAJA, tetapi di sisi lain kita sendiri tidak mau peduli dengannya.
'KTRR' (Katuru'-turu': Ikut-ikutan) Trend Nasional
Ada sebuah gerakan cinta daerah yang sekarang menjadi trend nasional, yakni dengan munculnya slogan bernada iklan "I LOVE,…. (Toraja: kalau Toraja, Sarira: kalau sarira, Papua: kalau Papua, Bunaken: kalu Bunake, dst). Ini merupakan fenomena menarik bagi penulis. Sepertinya awalnya trend ini untuk memperkenalkan wisata daerah tertentu, tetapi rupa-rupanya para pebisnis melirik peluang bersar juga dengan munculnya fanatisme tempat tertentu. Sebut saja misalnya I Love Soroako, atau I Love Bokin, etc. Tetapi sudahlah. Apapun maksud para pebisnis melirik peluang menguntungkan ini, yang menarik untuk penulis sorot adalah substansi di balik kata-kata itu sendiri, "I LOVE TORAJA".
"I love,…..", sebuah frase yang kedengarannya indah penuh keramahan. Coba anda e-j-a sendiri frase tersebut, "I LOVE,…". I love my baby misalnya, atau I love my wife misalnya, dll. Sebuah ungkapan CINTA yang intim penuh makna, yang sungguh-sungguh mendalam tanpa kepalsuan atau kepura-puraan. Tetapi kata, I LOVE TORAJA. Aduh rasa-rasanya ada sesuatu yang aneh dan terasa tidak spontan keluar dari dalam hati. Berbeda saat kita mengatakan I love Bali, atau I Love Bunaken, dll. Entahlah, barangkali ini hanya perasaan penulis saja.
Baiklah, barangkali anda sendiri bingung mengapa penulis berkata demikian. Mari kita berenang menerobos dan mendekati pulau indah yang hendak kita tuju. Apa toh yang kita banggakan, yang membuat kita mencintai daerah Toraja ini melampaui batas daerah kelahiran itu sendiri? Barangkali terlalu cepat kalau penulis mengatakan bahwa sepertinya tidak ada lagi yang istimewa dari daerah ini (baca: Toraja), dan tidak ada bedanya lagi dengan daerah-daerah kelahiran di kota-kota atau di daerah-daerah lain. Lihat saja para wisatawan mancanegara hampir-hampir tidak ada lagi yang kita jumpai di tempat ini. Kalaupun ada barangkali karena "terpaksa" oleh system wisata paket 'Bali-Bunaken,-Toraja-Lombok'. Atau dengar saja komentar-komentar anak-anak Toraja saat keluar dari daerah ini sepertinya mereka tidak lagi rindu untuk kembali, bukan karena alasan beban pesta yang menindih pundak, tetapi rasa-saranya atmosphere Toraja sendiri tidak begitu mampu membangun rasa at home apalagi rasa cinta. Nah sekarang pertanyaannya adalah "WHY"? Mengapa rasa cinta dan rasa bangga terhadap daerah ini perlahan-lahan terkubur dalam hati anak-anak Toraja sendiri, dan mengapa nama Toraja tidak lagi mengundang kekaguman para wisatawan mancanegara seperti di era tahun delapan puluhan?
Untuk mampu menyingkap rahasia di balik pertanyaan ini, maka mau tidak mau kita harus mengurai satu persatu yang "pernah" menghipnotis para tourist untuk berbondong-bondong datang melihat seperti apa daerah yang santer diberitakan sebagai "daerah para dewa" setelah Bali. Sebut saja beberapa di antaranya; misalnya budaya, keindahan alam, warisan tradisi leluhur, keramahtamahan masyarakat, atau apa?
Mari kita mengurainya satu per satu. Masihkah kita bangga dengan budaya Toraja yang pernah tersohor di dunia wisata internasional? Sebuah budaya yang sedang menuju liang kubur, karena tidak lagi dilestarikan dan dipelihara? Budaya yang penulis maksudkan di sini tidak hanya sebatas pada karya seni manusia, tetapi lebih dari itu. Budaya siri' dan longko' (budaya malu) jauh lebih urgen dan penting dibandingkan karya seni yang ada. Dari sisi budaya dalam frame sebagai karya seni kondisinya cukup memprihatinkan. Tari-tarian yang sesungguhnya menyimpan pesan dan sekaligus menampilkan karakter manusia Toraja sebagai manusia tidak lagi dipelihara. Kalaupun masih kita lihat, sudah banyak yang merupakan tarian gado-gado ala campursari. Kita barangkali tidak tahu bahwa saat tarian pa' do bulan yang terdiri dari 12 bagian itu dipertunjukkan sesungguhnya sedang berkisah kepada penonton. Atau tidak tahukah anda bahwa gerakan para penari yang lembut hampir menyatu dengan bumi sesungguhnya mau berbicara siapa dan bagaimana seorang toraja itu. Karya seni yang lain, yang tidak akan habis-habisnya penulis urai satu persatu, misalnya manimbong, ma'bugi', ma' randing, ma'badong, ma'marakka, dll. Semua ini hanya menjadi kisah indah yang diceritakan oleh generasi di atas kita.
Lebih parah lagi ketika menyinggung tentang budaya ini adalah "matinya budaya siri' dan budaya longko' di negeri "TERCINTA" ini.
Fenomena yang menarik saat ini adalah maraknya para perantau toraja pulang membangun tongkonan, atau yang dijadikan tongkonan. Padahal barangkali tidak ada lagi yang tahu maksud daripada tongkonan itu selain sebagai symbol pemersatu. Hahahaha, sayang sekali. Tidak tahukah anda bahwa rumah tongkonan yang dilengkapi dengan alang sura' merupakan symbol yang tidak akan habis-habisnya direnungkan? Rumah tongkonan merupakan symbol seorang ibu (baca: perempuan) dan alang sura' sebagai seorang ayah (baca laki-laki). Selain dalam perannya sebagai seorang ibu yang melahirkan dan memberi makan anak-anaknya, tongkonan juga dikatakan menjaga aluk sola pemali. Maka ada namanya tongkonan kaparengngesan. Dan aluk sola pemali inilah yang diwariskan turun-temurun bagi anak cucu supaya dipegang erat-erat.
Pada satu generasi di atas kita, budaya siri' dan longko' ini masih dipegang kuat. Kalau ada anak cucu dari sebuah tongkonan berbuat sesuatu yang tidak baik, yang bersangkutan diundang ke tongkonan dan diadakan namanya massuru' (pengakuan dosa). Keluarga besar (toma'rapu) datang ke tongkonan (dari kata tongkon artinya duduk serius) untuk duduk bersama membicarakan persoalan yang ada. Tetapi sekarang? Tongkonan semakin menjamur tetapi sepertinya tongkonan tidak lagi menjalankan perannya yang sesungguhnya. Memang gampang sekali membangun, tetapi yang sulit adalah memeliharanya, termasuk memelihara maksud dari bangunan itu, yang dalam hal ini tongkonan sebagai "ibu" yang menjaga dan memelihara nasehat-nasehat moral kepada anak-anaknya.
Ini baru satu unsur dan penulis sudah mulai capek untuk mengurainya satu demi satu. Kita coba lihat lagi sedikit dari tongkonan dan alang sura'. Mereka adalah symbol suami istri, dimana sang suami dengan setia menjaga dan mencari nafkah, yakni menyediakan makanan yang akan dimakan, dst. Selain symbol kesetiaan tetapi juga symbol tanggungjawab. Sebuah budaya yang hampir hilang dari daerah yang "katanya" kita cintai ini. Budaya siri' dan longko', kesetiaan dan tanggung jawab yang bisa kita timba dari rumah tongkonan dan alang sura' ini.
Barangkali terlalu keras kalau dikatakan, kalau saja kita tidak sanggup menghidupkan dan menghidupi budaya siri' dan budaya longko', kesetiaan dan tanggung jawab adalah lebih baik kalau tidak membangun tongkonan tersebut. Dan tidak tahukah anda bahwa doa sepanjang masa tongkonan untuk anak-anaknya, teristimewa untuk yang akan menjadi pemimpin dari tongkonan itu adalah "Denno upa' ammu lobo' mu kasalle, ammu manarang mu kinaya, ammu bida mu barani", yang kalau ditafsirkan secara bebas isin doa tersebut adalah supaya menjadi orang besar, berpengetahuan dan bijak, serta berani membela kebenaran. Aduh sebuah permenungan yang tak pernah habis-habisnya. Hanya saja ini bisa direnungkan ketika kita mampu masuk dalam arti symbol yang diwariskan oleh leluhur kita.
Sisi lain yang mengundang rasa ingin tahu para wisatawan untuk datang ke daerah ini adalah keindahan alamnya. Keindahan alam Toraja mengundang decak kagum setiap wisatawan yang datang sekarang mulai dirusak dengan munculnya para pebisnis baru. Gunung-gunung batu yang dulu tampak indah memamerkan keelokannya sekarang dirusak dengan munculnya penggilingan batu. Lihatlah misalnya lereng gunung di Mengkendek, Sangalla', dan beberapa tempat lagi yang tidak sempat penulis rekam. Sawah-sawah indah yang dulu menjadi pemandangan tersendiri dari setiap wisatawan yang datang ke Toraja sekarang dirusak dengan hadirnya ruko-ruko baru di sepanjang jalan.
Warisan tradisi leluhur. Ada satu kesalahan yang hanya akan diratapi bahwa masyarakat Toraja hampir tidak ada lagi yang mencoba untuk memelihara warisan tradisi leluhur. Seolah-olah semua diselesaikan dengan kata, "Dah bukan zamannya lagi". Perjanjian atau "basse" yang dibuat oleh para leluhur kita dengan seenaknya saja diinjak dan dilanggar. Pesan-pesan moral leluhur yang sangat bernilai juga dengan gampang dilupakan bahkan pura-pura tidak diingat lagi.
Keramatamahan masyarakat Toraja yang telah meninggalkan kesan tak terlupakan siapa pun yang datang ke Toraja serasa hilang tanpa bekas menguap entah kemana. Di beberapa lorong dan daerah pada malam hari kita merasa tidak nyaman lagi untuk melintas. Rumah-rumah juga sudah dipagar dan dikunci dengan doble kunci. Sangat berbeda dengan era tahun enampuluhan ke bawah, saat rumah-rumah penduduk hanya ditutup seadanya saja sekedar supaya angin atau binatang tidak masuk ke atas rumah. Sekarang siapa lagi yang berani meninggalkan rumah dalam keadaan kosong sebelum mengumpulkan cucian dan mengunci rumah rapat-rapat? Ketakutan pada hukum karma bahwa berbuat jahat kepada orang lain akan mendatangkan kemalangan yang jauh lebih besar dari apa yang dibuat sudah tidak ada lagi. Belum lagi budaya siri' dan longko' yang dulu diajarkan dan dipesankan turun-temurun sekarang tinggal cerita indah belaka.
Lalu apa yang anda dan penulis sebagai orang Toraja lagi banggakan? Apa yang kita cintai dari daerah ini? Bukankah semuanya tinggal kisah indah yang kita kenang? Tidakkah kata-kata "I Love Toraja", tinggal sebuah susunan huruf demi huruf dan kata demi kata yang kosong tanpa makna? Ataukah kita tidak paham arti dan substansi sesungguhnya dari kata-kata tersebut? Atau jangan-jangan kita hanya jatuh dan menjadi korban dari sebuah trend nasional yang sekarang lagi hidup dan dihidupi oleh orang lain, sebut saja Bali misalnya, "I Love Bali". Bali dan beberapa daerah lain kalau boleh dikatakan demikian, slogan dengan realita pengungkapannya sungguh-sungguh berjalan selaras dan berpadanan antara ungkapan dan kenyataan. Lihat saja bagaiman mereka membangun Bali, menjaga adat-istiadat dan budaya leluhur. Budaya gotong royong misalnya, keyakinan dari yang namanya hukum karma, dll. Kendati seluruh dunia mengalir ke Bali, masyarakat asli Bali tetap eksis dan tidak gampang goyang. Mereka sungguh-sungguh bangga menyandang nama Bali, dengan dialek Bali yang khas, "Namma saiyya Madeee. Saiyya darii Ballii,…hahaha". Tetapi kita sebagai seorang Toraja? Baru ucapkan kata "E" saja sudah berusaha sembunyakan identitasnya, sampai-sampai "E" yang harusnya memang diucapkan dengan penekanan tajam dirusak hahaha, misalnya "Peka". Seorang anak Toraja mengucapkannya "Pekaaa" bahkan tidak sedikit ditambahkan lagi ciptaan barunya dengan tambahan "h", "pekaaah" di belakang. Lucu sekali bukan? Hahaha,…..
Ok, kembali ke topik, I LOVE TORAJA. Sebuah frase yang sesungguhnya boleh disejajarkan dengan pernyataan Sukarno-Hatta saat memproklamasikan Indonesia, paling tidak dalah hal pengakuan sebuah identitas. Sukarno-Hatta mengumumkan pengakuan sebuah identitas, dan si pembeli baju kaos dengan tulisan "I Love Toraja" juga mengungkapkan pengakuan sebuah identitas daerah Toraja yang dibanngakan.
Sekalilagi pertanyaan adalah apakah seorang Toraja sadar akan arti di balik kata-kata klise tersebut? Atau jangan-jangan karena memang hanya kata-kata klise, maka anda tidak pernah mencoba untuk merenungkannya dan mencoba menemukan makna yang sesungguhnya? Tahukah anda dan sadarkah anda bahwa tulisan "I Love Toraja" ini tidak lain kecuali hanyalah symbol sebuah kebanggaan? Lalu apa yang anda banggakan tentang Toraja atau ketorajaan anda? Sebelum melihatnya lebih jauh, mari kita berenang sejenak ke pinggir. Kita mengambil waktu istirahat dan melayangkan pandangan jauh ke depan sembari menikmati pemandangan indah yang ada di seberang sana, dengan mencoba berguru pada mahaguru symbol bernama Ern Cassirer.
Mari Belajar Sejenak Dari Ern Cassirer
Erns Cassirer, seorang tokoh neo-kantian telah membuat studi khusus mengenai simbol dan simbolisasi, yang menurut M. Eliade dibuat oleh manusia modern tanpa sadar. Tindakan manusia tidak hanya dilihat dari sisi historisnya saja, tetapi juga dari sisi antropologisnya. Dalam arti antropologis berarti bahwa manusia selalu bergerak dalam rangka simbolis. Simbolisasi berkaitan erat dengan hakekat dan esensi manusia itu sendiri. Menurut hakekatnya, manusia adalah mahluk simbolis (animal symbolicum). Ia hanya ada dalam gerak pengungkapan diri sebagai pelaksana dirinya. Tidak sedikit pun manusia melepaskan diri dari pengungkapan diri melalui simbol. Manusia selalu melaksanakan dirinya di dalam dan melalui simbol. Dari strukturnya, simbol tidak pernah tampil untuk dirinya sendiri, melainkan untuk apa yang dilambangkan. Namun apa yang dilambangkan itu hanya bisa dialami dan dipahami melalui dan dalam bentuk simbol.
Secara etimologis, kata simbol diturunkan dari kata Yunani, "symbolon", yang kata kerjanya symballein. Kata kerja symballein berarti menggabungkan, mengumpulkan, menyatukan, mempertemukan. Kata symbolon sendiri berarti harafiah "tanda pengenal, lencana, atau semboyan". Symbolon di Yunani dipakai sebagai bukti identitas. Dalam masyarakat Yunani, ada suatu kebiasaan untuk memberikan sesuatu benda kepada sahabat/pasangan sebagai tanda pengenal, atau bukti ikatan persahabatan, seperti cincin, segel atau papan kecil yang kemudian dibagi atau dipecah menjadi dua. Pecahan ini kemudian dibawa oleh masing-masing dari dua sahabat atau orang yang mengadakan perjanjian itu sebagai tanda pengenal ketika mereka bertemu yakni dengan mengadakan tindakan symballein.
Dalam bahasa Latin, 'symbolicum', yang berarti menghubungkan dua hal. Dalam pada inilah kemudian muncul istilah simbol dan yang disimbolkan. Antara simbol dengan yang disimbolkan terdapat suatu korelasi yang sangat erat antara satu dengan yang lain. Simbol berpartisipadi terhadap yang disimbolkan. Simbol sebagai partisipasi, berarti yang disimbolkan lebih besar dari simbol itu sendiri.
Simbol dibedakan dari tanda. Hanya saja kamus besar bahasa Indonesia, sedikit menyamakan kedua istilah tersebut. Padahal kedua istilah tersebut sangat berbeda satu dengan yang lain. Simbol bisa menjadi tanda, tetapi tanda belum bisa disebut simbol. Dengan kata lain bahwa simbol bukan sekadar tanda biasa. Untuk membedakan kedua istilah tersebut, kita bisa melihat beberapa ciri simbol: Pertama, simbol bukan sekadar ungkapan kosong belaka, tetapi tanda yang menunjuk suatu realitas atau tindakan yang nyata dan real. Kedua, apa yang ditunjuk oleh simbol adalah suatu realitas yang mengatasi hal indrawi. Ketiga, simbol itu selalu dalam konteks masyarakat atau kebersamaan. Keempat, simbol bukan sekadar ada dalam tataran rasional belaka, melainkan menyapa dan menyentuh seluruh pengalaman hidup manusia.
Membangun Kesadaran
Tulisan "I Love Toraja", entah diterima atau tidak menyiratkan sebuah ungkapan kebanggaan dan kecintaan akan Toraja, dan bukan sekadar tulisan kosong. Ini tidak bisa dilepaskan dari sebuah pengungkapan manusia, sebuah symbol ke-identitas-an seorang Toraja atao daerah Toraja. Atau istilah Marthin Heidegger dalam filsafatnya disebut sebuah "Dasein", ungkapan 'ada disitu'. Dengan tulisan tersebut sesunggunya merupakan proklamasi dan atau pengumuman kepada yang lain bahwa "Kami ada di sini", sekaligus merupakan undangan untuk melihat dan mengiyakan kebenaran daripadanya. "Kami ada di sini, datanglah dan lihatlah, dan jangan anda tidak percaya, tetapi percayalah".
'Love', cinta-kasih: Sebuah ungkapan yang seharusnya datang dan keluar dari dalam hati, maka simbolnya "Hati – Jantung merah" (Aku punya penafsiran lain tentang symbol ini, tetapi tidak ingin aku katakana di sini, kecuali dalam bukuku: Mari belajar kebijaksanaan). I Love Toraja, rasa-rasanya sangat kering dan kosong tanpa makna, bahkan terkesan klise dan ikut-ikutan alias KTRR (katuru'-turu' githu hahaha). Bagaimana tidak? Katanya 'cinta Toraja', mana buktinya? Cukupkah dengan menggunakan baju bertuliskan "I LOVE TORAJA"? Hahaha,… tidak ada bedanya dengan seorang turis Belgia yang membeli dan memakainya, atau saya yang membeli baju kaos Joger Bali, hanya luarnya saja dan tidak masuk sampai ke dalam. Barangkali sama dengan seorang yang mengagumi keindahan sebuah kuburan dari jauh sangat indah tetapi di dalamnya berserakan tulang-belulang.
Untuk mendalami kata-kata ini, baiklah kiranya kalau anda dan penulis lagi-lagi mencari seorang mahaguru yang sungguh-sungguh brilian dalam mengurai kata dan arti dari kata "CINTA: LOVE", seoran "filsuf cinta" bernama Gabriel Marcel. Filsuf cinta ini lahir dan hidup antara tahun 1889-1973. Seorang tokoh eksistensial Kristen (kendati ia sendiri menolak disebut tokoh eksistensial) yang sangat tersohor, dengan filsafat cintanya. Menurutnya, cinta bukan sekadar perasaan emotif belaka, tetapi merupakan inti kehidupan yang berproses dalam hubungan manusia. Minta maaf aku mencoba mengingatnya lagi, Marcel mengurai tahapan cinta: Pertama ia menyebut tahap "KERELAAN: disponibilite", merupakan sikap kesediaan untuk terbuka, membiarkan orang lain agar masuk dalam hubungan denganku; Kedua "PENERIMAAN: receptivite", sikap inisiatif, memulai aktivitas dalam hubungan dengan mempersilahkan yang lain memasuki duniaku, atau mendengarkan yang lain, meyediakan tempat dalam HATI-ku untuk yang lain; Ketiga "KETERLIBATAN: engagement", sikap ikut ambil bagian dalam keprihatinan yang lain; Keempat "KESETIAAN: fidelite", merupakan sikap total dalam hubungan cinta. Kesetiaan oleh dia dikatakan bukan sebagai sikap ikut-ikutan tanpa pendirian, melainkan kesediaan terlibat bersama dengan segala resiko yang ada.
Gabriel Marsel dengan filsafat cintanya akhirnya sampai pada titik kreativitas cinta dalam hubungan intersubjektif. Menurutnya, kreativitas yang paling sederhana dapat disaksikan lewat karya-karya manusia. Seperti karya-karya seni Toraja di atas. Menurutnya juga kreativitas dapat pula menunjuk pada hubungan manusia yang wajar, misalnya suksesio kepemiminan dalam suatu daerah. Dan kreativitas juga bisa berarti negative, yakni apabila masyarakat mengecap seseorang sebagai penghianat, pembuat onar. Kreativitas ini mengadakan kondisi, membuat keadaan yang baru yang berlaku bagi orang itu, mempengaruhi "adanya". Kreativitas cinta berbeda dengan dua hal terakhir ini. Kreativitas cinta menghasilkan kebebasan. Kreativitas cinta menumbuhkan kreativitas subjek yang dicintainya.
Maka terasa lucu dan konyol kalau membaca tulisan I LOVE TORAJA, sungguh sebuah kata-kata klise tanpa makna. Pertanyaannya, manakah 'ketorajaan' yang sesungguhnya? Sebut satu, dua, tiga, etc: Gotong royong, ulet, ramah, jujur, tahu malu (siri' sola longko'), solider (sipopa'di'), suka menolong (sidikkanan), peduli dengan sesama (siangkaran), etc. Tetapi apa yang terjadi? Perlahan-lahan tetapi pasti toraja sedang berjalan menuju jurang kehilangan identitas ketorajaanya. Budaya siri' dan longko' hampir hilang, budaya tiga s (sipopa'di', sidikkanan, siangkaran) juga hampir menjadi barang langka, gotong royong perlahan diganti dengan budaya 'uang', orang toraja yang dikenal ulet dan jujur juga sudah sulit ditemukan, dan keramahan seorang toraja telah terbang tinggi ke angkasa dan sulit untuk kembali lagi.
Lihatlah bahwa hanya dalam beberapa kurun waktu saja identitas ketorajaan di atas perlahan-lahan menguap entah kemana dan digantikan dengan budaya barat atau budaya ciptaan baru.
Masihkah anda dan penulis bangga membaca dan memakai baju "I LOVE TORAJA", jangan-jangan anda dan penulis adalah salah satu pecundang Toraja. Tetapi kata orang bijak, jangan memadamkan api yang mulai redup, tetapi tambahkanlah minyak ke dalamnya supaya menerangi lebih luas lagi tempat di sekelilingnya. Mari mencintai Toraja dengan memulainya dari diri sendiri membangun ketorajaan kita yang hampir hilang; budaya gotong royong, ulet, ramah, jujur, tahu malu (siri' sola longko'), solider (sipopa'di'), suka menolong (sidikkanan), peduli dengan sesama (siangkaran), etc.
Nah, marilah memaknai kata "I LOVE TORAJA" dengan baik dan bijaksana, serta berlomba membangunToraja yang anda dan penulis cintai ini.***
Bokin, Jumat Kliwon Sepetmber 2011
(P. Yans Sulo Paganna', Pr)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar