Kamis, 29 September 2011

OTOKRITIK TORAJA

I LOVE TORAJA


 

By: Y a n s Sulo Paganna', Pr.

(Sebuah Otokritik)


 

Pengantar:

Keramaian kota Rantepao dalam beberapa tahun terakhir ini berubah dengan sangat pesat. Lorong pertokoan yang dulunya hanya ramai dikunjungi pada hari-hari pasar Rantepao (baca: pasar Bolu), sekarang setiap pagi sampai malam dipadati pengunjung; baik domestik maupun para bule-bule. Penulis adalah salah satu yang sering mengunjungi pertokoan Rantepao tersebut. Penulis suka berjalan-jalan di lorong pertokoan Rantepao karena setiap kali penulis berjalan-jalan di lorong tersebut yang terbayang di dalam memori penulis adalah suasana Malioboro – Djogjakarta. Semasa penulis menjadi penghuni kota Djogjakarta, penulis juga hampir setiap minggu jalan-jalan ke Malioboro sekadar belanja baju kaos Dagadu atau sekadar refreshing menghilangkan kepenatan di bangku kuliah. Lorong pertokoan Rantepao – Toraja Utara untuk penulis juga demikian. Di tengah-tengah kesibukan rutinitas pekerjaan, penulis senang jalan-jalan ke kota Pong Tiku ini untuk menghilangkan rasa lelah, sesekali membeli souvenir atau baju kaos Toraja untuk penulis kirimkan teman-teman penulis di luar Sulawesi.


 

Di lorong pertokoan kota Rantepao yang ramai itu, ada satu tulisan yang entah karena alasa apa selalu mengundang tawa dalam hati, "I LOVE TORAJA". Tulisan ini bisa anda temukan pada baju kaos oblong seharga Rp 25.000,- (belum tawar), atau di tas kain seharga Rp 20.000,- (belum tawar). Awalnya penulis tertarik untuk membelikan teman sebagai ole-oleh, tetapi penulis keliling untuk mencari baju kaos dari kain yang lumayan bagus tetapi tidak ada, maka penulis tidak membelinya. Dari sinilah penulis akhirnya pulang ke rumah untuk bermenung tentang tulisan "I LOVE TORAJA".


 

Tanpa mengurangi rasa hormat penulis pada designernya, penulis merasa ada sesuatu yang lucu dan sedikit konyol di balik tulisan "I LOVE TORAJA", tersebut. Lucu karena tulisan itu terasa hambar dan tampa makna bagi penulis. Barangkali juga karena hal yang penulis rasakan ini juga dirasan oleh para pedagang sehingga mereka tidak menyediakannya dalam kualitas yang lebih baik. Atau jangan-jangan dari kualitas kain ini mau menggabarkan kualitas cinta dari yang sedang mengenakannya untuk Toraja itu sendiri. Hahahaha, entahlah. Konyol karena Toraja yang menjadi kebanggaan daerah bahkan dijadikan sebagai daerah tujuan wisata nasional, ternyata justru tidak memberikan sesuatu yang bisa dibanggakan kecuali karena keindahan alamnya yang perlahan-lahan juga sudah dan sedang digugat atas nama bisnis. Inilah sebuah kekonyolan tersebut. Di satu sisi mengenakan baju bertuliskan I LOVE TORAJA, tetapi di sisi lain kita sendiri tidak mau peduli dengannya.


 


 

'KTRR' (Katuru'-turu': Ikut-ikutan) Trend Nasional


 

Ada sebuah gerakan cinta daerah yang sekarang menjadi trend nasional, yakni dengan munculnya slogan bernada iklan "I LOVE,…. (Toraja: kalau Toraja, Sarira: kalau sarira, Papua: kalau Papua, Bunaken: kalu Bunake, dst). Ini merupakan fenomena menarik bagi penulis. Sepertinya awalnya trend ini untuk memperkenalkan wisata daerah tertentu, tetapi rupa-rupanya para pebisnis melirik peluang bersar juga dengan munculnya fanatisme tempat tertentu. Sebut saja misalnya I Love Soroako, atau I Love Bokin, etc. Tetapi sudahlah. Apapun maksud para pebisnis melirik peluang menguntungkan ini, yang menarik untuk penulis sorot adalah substansi di balik kata-kata itu sendiri, "I LOVE TORAJA".


 

"I love,…..", sebuah frase yang kedengarannya indah penuh keramahan. Coba anda e-j-a sendiri frase tersebut, "I LOVE,…". I love my baby misalnya, atau I love my wife misalnya, dll. Sebuah ungkapan CINTA yang intim penuh makna, yang sungguh-sungguh mendalam tanpa kepalsuan atau kepura-puraan. Tetapi kata, I LOVE TORAJA. Aduh rasa-rasanya ada sesuatu yang aneh dan terasa tidak spontan keluar dari dalam hati. Berbeda saat kita mengatakan I love Bali, atau I Love Bunaken, dll. Entahlah, barangkali ini hanya perasaan penulis saja.


 

Baiklah, barangkali anda sendiri bingung mengapa penulis berkata demikian. Mari kita berenang menerobos dan mendekati pulau indah yang hendak kita tuju. Apa toh yang kita banggakan, yang membuat kita mencintai daerah Toraja ini melampaui batas daerah kelahiran itu sendiri? Barangkali terlalu cepat kalau penulis mengatakan bahwa sepertinya tidak ada lagi yang istimewa dari daerah ini (baca: Toraja), dan tidak ada bedanya lagi dengan daerah-daerah kelahiran di kota-kota atau di daerah-daerah lain. Lihat saja para wisatawan mancanegara hampir-hampir tidak ada lagi yang kita jumpai di tempat ini. Kalaupun ada barangkali karena "terpaksa" oleh system wisata paket 'Bali-Bunaken,-Toraja-Lombok'. Atau dengar saja komentar-komentar anak-anak Toraja saat keluar dari daerah ini sepertinya mereka tidak lagi rindu untuk kembali, bukan karena alasan beban pesta yang menindih pundak, tetapi rasa-saranya atmosphere Toraja sendiri tidak begitu mampu membangun rasa at home apalagi rasa cinta. Nah sekarang pertanyaannya adalah "WHY"? Mengapa rasa cinta dan rasa bangga terhadap daerah ini perlahan-lahan terkubur dalam hati anak-anak Toraja sendiri, dan mengapa nama Toraja tidak lagi mengundang kekaguman para wisatawan mancanegara seperti di era tahun delapan puluhan?


 

Untuk mampu menyingkap rahasia di balik pertanyaan ini, maka mau tidak mau kita harus mengurai satu persatu yang "pernah" menghipnotis para tourist untuk berbondong-bondong datang melihat seperti apa daerah yang santer diberitakan sebagai "daerah para dewa" setelah Bali. Sebut saja beberapa di antaranya; misalnya budaya, keindahan alam, warisan tradisi leluhur, keramahtamahan masyarakat, atau apa?


 

Mari kita mengurainya satu per satu. Masihkah kita bangga dengan budaya Toraja yang pernah tersohor di dunia wisata internasional? Sebuah budaya yang sedang menuju liang kubur, karena tidak lagi dilestarikan dan dipelihara? Budaya yang penulis maksudkan di sini tidak hanya sebatas pada karya seni manusia, tetapi lebih dari itu. Budaya siri' dan longko' (budaya malu) jauh lebih urgen dan penting dibandingkan karya seni yang ada. Dari sisi budaya dalam frame sebagai karya seni kondisinya cukup memprihatinkan. Tari-tarian yang sesungguhnya menyimpan pesan dan sekaligus menampilkan karakter manusia Toraja sebagai manusia tidak lagi dipelihara. Kalaupun masih kita lihat, sudah banyak yang merupakan tarian gado-gado ala campursari. Kita barangkali tidak tahu bahwa saat tarian pa' do bulan yang terdiri dari 12 bagian itu dipertunjukkan sesungguhnya sedang berkisah kepada penonton. Atau tidak tahukah anda bahwa gerakan para penari yang lembut hampir menyatu dengan bumi sesungguhnya mau berbicara siapa dan bagaimana seorang toraja itu. Karya seni yang lain, yang tidak akan habis-habisnya penulis urai satu persatu, misalnya manimbong, ma'bugi', ma' randing, ma'badong, ma'marakka, dll. Semua ini hanya menjadi kisah indah yang diceritakan oleh generasi di atas kita.


 

Lebih parah lagi ketika menyinggung tentang budaya ini adalah "matinya budaya siri' dan budaya longko' di negeri "TERCINTA" ini.

Fenomena yang menarik saat ini adalah maraknya para perantau toraja pulang membangun tongkonan, atau yang dijadikan tongkonan. Padahal barangkali tidak ada lagi yang tahu maksud daripada tongkonan itu selain sebagai symbol pemersatu. Hahahaha, sayang sekali. Tidak tahukah anda bahwa rumah tongkonan yang dilengkapi dengan alang sura' merupakan symbol yang tidak akan habis-habisnya direnungkan? Rumah tongkonan merupakan symbol seorang ibu (baca: perempuan) dan alang sura' sebagai seorang ayah (baca laki-laki). Selain dalam perannya sebagai seorang ibu yang melahirkan dan memberi makan anak-anaknya, tongkonan juga dikatakan menjaga aluk sola pemali. Maka ada namanya tongkonan kaparengngesan. Dan aluk sola pemali inilah yang diwariskan turun-temurun bagi anak cucu supaya dipegang erat-erat.


 

Pada satu generasi di atas kita, budaya siri' dan longko' ini masih dipegang kuat. Kalau ada anak cucu dari sebuah tongkonan berbuat sesuatu yang tidak baik, yang bersangkutan diundang ke tongkonan dan diadakan namanya massuru' (pengakuan dosa). Keluarga besar (toma'rapu) datang ke tongkonan (dari kata tongkon artinya duduk serius) untuk duduk bersama membicarakan persoalan yang ada. Tetapi sekarang? Tongkonan semakin menjamur tetapi sepertinya tongkonan tidak lagi menjalankan perannya yang sesungguhnya. Memang gampang sekali membangun, tetapi yang sulit adalah memeliharanya, termasuk memelihara maksud dari bangunan itu, yang dalam hal ini tongkonan sebagai "ibu" yang menjaga dan memelihara nasehat-nasehat moral kepada anak-anaknya.

Ini baru satu unsur dan penulis sudah mulai capek untuk mengurainya satu demi satu. Kita coba lihat lagi sedikit dari tongkonan dan alang sura'. Mereka adalah symbol suami istri, dimana sang suami dengan setia menjaga dan mencari nafkah, yakni menyediakan makanan yang akan dimakan, dst. Selain symbol kesetiaan tetapi juga symbol tanggungjawab. Sebuah budaya yang hampir hilang dari daerah yang "katanya" kita cintai ini. Budaya siri' dan longko', kesetiaan dan tanggung jawab yang bisa kita timba dari rumah tongkonan dan alang sura' ini.


 

Barangkali terlalu keras kalau dikatakan, kalau saja kita tidak sanggup menghidupkan dan menghidupi budaya siri' dan budaya longko', kesetiaan dan tanggung jawab adalah lebih baik kalau tidak membangun tongkonan tersebut. Dan tidak tahukah anda bahwa doa sepanjang masa tongkonan untuk anak-anaknya, teristimewa untuk yang akan menjadi pemimpin dari tongkonan itu adalah "Denno upa' ammu lobo' mu kasalle, ammu manarang mu kinaya, ammu bida mu barani", yang kalau ditafsirkan secara bebas isin doa tersebut adalah supaya menjadi orang besar, berpengetahuan dan bijak, serta berani membela kebenaran. Aduh sebuah permenungan yang tak pernah habis-habisnya. Hanya saja ini bisa direnungkan ketika kita mampu masuk dalam arti symbol yang diwariskan oleh leluhur kita.

Sisi lain yang mengundang rasa ingin tahu para wisatawan untuk datang ke daerah ini adalah keindahan alamnya. Keindahan alam Toraja mengundang decak kagum setiap wisatawan yang datang sekarang mulai dirusak dengan munculnya para pebisnis baru. Gunung-gunung batu yang dulu tampak indah memamerkan keelokannya sekarang dirusak dengan munculnya penggilingan batu. Lihatlah misalnya lereng gunung di Mengkendek, Sangalla', dan beberapa tempat lagi yang tidak sempat penulis rekam. Sawah-sawah indah yang dulu menjadi pemandangan tersendiri dari setiap wisatawan yang datang ke Toraja sekarang dirusak dengan hadirnya ruko-ruko baru di sepanjang jalan.


 

Warisan tradisi leluhur. Ada satu kesalahan yang hanya akan diratapi bahwa masyarakat Toraja hampir tidak ada lagi yang mencoba untuk memelihara warisan tradisi leluhur. Seolah-olah semua diselesaikan dengan kata, "Dah bukan zamannya lagi". Perjanjian atau "basse" yang dibuat oleh para leluhur kita dengan seenaknya saja diinjak dan dilanggar. Pesan-pesan moral leluhur yang sangat bernilai juga dengan gampang dilupakan bahkan pura-pura tidak diingat lagi.


 

Keramatamahan masyarakat Toraja yang telah meninggalkan kesan tak terlupakan siapa pun yang datang ke Toraja serasa hilang tanpa bekas menguap entah kemana. Di beberapa lorong dan daerah pada malam hari kita merasa tidak nyaman lagi untuk melintas. Rumah-rumah juga sudah dipagar dan dikunci dengan doble kunci. Sangat berbeda dengan era tahun enampuluhan ke bawah, saat rumah-rumah penduduk hanya ditutup seadanya saja sekedar supaya angin atau binatang tidak masuk ke atas rumah. Sekarang siapa lagi yang berani meninggalkan rumah dalam keadaan kosong sebelum mengumpulkan cucian dan mengunci rumah rapat-rapat? Ketakutan pada hukum karma bahwa berbuat jahat kepada orang lain akan mendatangkan kemalangan yang jauh lebih besar dari apa yang dibuat sudah tidak ada lagi. Belum lagi budaya siri' dan longko' yang dulu diajarkan dan dipesankan turun-temurun sekarang tinggal cerita indah belaka.


 

Lalu apa yang anda dan penulis sebagai orang Toraja lagi banggakan? Apa yang kita cintai dari daerah ini? Bukankah semuanya tinggal kisah indah yang kita kenang? Tidakkah kata-kata "I Love Toraja", tinggal sebuah susunan huruf demi huruf dan kata demi kata yang kosong tanpa makna? Ataukah kita tidak paham arti dan substansi sesungguhnya dari kata-kata tersebut? Atau jangan-jangan kita hanya jatuh dan menjadi korban dari sebuah trend nasional yang sekarang lagi hidup dan dihidupi oleh orang lain, sebut saja Bali misalnya, "I Love Bali". Bali dan beberapa daerah lain kalau boleh dikatakan demikian, slogan dengan realita pengungkapannya sungguh-sungguh berjalan selaras dan berpadanan antara ungkapan dan kenyataan. Lihat saja bagaiman mereka membangun Bali, menjaga adat-istiadat dan budaya leluhur. Budaya gotong royong misalnya, keyakinan dari yang namanya hukum karma, dll. Kendati seluruh dunia mengalir ke Bali, masyarakat asli Bali tetap eksis dan tidak gampang goyang. Mereka sungguh-sungguh bangga menyandang nama Bali, dengan dialek Bali yang khas, "Namma saiyya Madeee. Saiyya darii Ballii,…hahaha". Tetapi kita sebagai seorang Toraja? Baru ucapkan kata "E" saja sudah berusaha sembunyakan identitasnya, sampai-sampai "E" yang harusnya memang diucapkan dengan penekanan tajam dirusak hahaha, misalnya "Peka". Seorang anak Toraja mengucapkannya "Pekaaa" bahkan tidak sedikit ditambahkan lagi ciptaan barunya dengan tambahan "h", "pekaaah" di belakang. Lucu sekali bukan? Hahaha,…..


 

Ok, kembali ke topik, I LOVE TORAJA. Sebuah frase yang sesungguhnya boleh disejajarkan dengan pernyataan Sukarno-Hatta saat memproklamasikan Indonesia, paling tidak dalah hal pengakuan sebuah identitas. Sukarno-Hatta mengumumkan pengakuan sebuah identitas, dan si pembeli baju kaos dengan tulisan "I Love Toraja" juga mengungkapkan pengakuan sebuah identitas daerah Toraja yang dibanngakan.


 

Sekalilagi pertanyaan adalah apakah seorang Toraja sadar akan arti di balik kata-kata klise tersebut? Atau jangan-jangan karena memang hanya kata-kata klise, maka anda tidak pernah mencoba untuk merenungkannya dan mencoba menemukan makna yang sesungguhnya? Tahukah anda dan sadarkah anda bahwa tulisan "I Love Toraja" ini tidak lain kecuali hanyalah symbol sebuah kebanggaan? Lalu apa yang anda banggakan tentang Toraja atau ketorajaan anda? Sebelum melihatnya lebih jauh, mari kita berenang sejenak ke pinggir. Kita mengambil waktu istirahat dan melayangkan pandangan jauh ke depan sembari menikmati pemandangan indah yang ada di seberang sana, dengan mencoba berguru pada mahaguru symbol bernama Ern Cassirer.


 


 

Mari Belajar Sejenak Dari Ern Cassirer


 

Erns Cassirer, seorang tokoh neo-kantian telah membuat studi khusus mengenai simbol dan simbolisasi, yang menurut M. Eliade dibuat oleh manusia modern tanpa sadar. Tindakan manusia tidak hanya dilihat dari sisi historisnya saja, tetapi juga dari sisi antropologisnya. Dalam arti antropologis berarti bahwa manusia selalu bergerak dalam rangka simbolis. Simbolisasi berkaitan erat dengan hakekat dan esensi manusia itu sendiri. Menurut hakekatnya, manusia adalah mahluk simbolis (animal symbolicum). Ia hanya ada dalam gerak pengungkapan diri sebagai pelaksana dirinya. Tidak sedikit pun manusia melepaskan diri dari pengungkapan diri melalui simbol. Manusia selalu melaksanakan dirinya di dalam dan melalui simbol. Dari strukturnya, simbol tidak pernah tampil untuk dirinya sendiri, melainkan untuk apa yang dilambangkan. Namun apa yang dilambangkan itu hanya bisa dialami dan dipahami melalui dan dalam bentuk simbol.


 

Secara etimologis, kata simbol diturunkan dari kata Yunani, "symbolon", yang kata kerjanya symballein. Kata kerja symballein berarti menggabungkan, mengumpulkan, menyatukan, mempertemukan. Kata symbolon sendiri berarti harafiah "tanda pengenal, lencana, atau semboyan". Symbolon di Yunani dipakai sebagai bukti identitas. Dalam masyarakat Yunani, ada suatu kebiasaan untuk memberikan sesuatu benda kepada sahabat/pasangan sebagai tanda pengenal, atau bukti ikatan persahabatan, seperti cincin, segel atau papan kecil yang kemudian dibagi atau dipecah menjadi dua. Pecahan ini kemudian dibawa oleh masing-masing dari dua sahabat atau orang yang mengadakan perjanjian itu sebagai tanda pengenal ketika mereka bertemu yakni dengan mengadakan tindakan symballein.


 

Dalam bahasa Latin, 'symbolicum', yang berarti menghubungkan dua hal. Dalam pada inilah kemudian muncul istilah simbol dan yang disimbolkan. Antara simbol dengan yang disimbolkan terdapat suatu korelasi yang sangat erat antara satu dengan yang lain. Simbol berpartisipadi terhadap yang disimbolkan. Simbol sebagai partisipasi, berarti yang disimbolkan lebih besar dari simbol itu sendiri.


 

Simbol dibedakan dari tanda. Hanya saja kamus besar bahasa Indonesia, sedikit menyamakan kedua istilah tersebut. Padahal kedua istilah tersebut sangat berbeda satu dengan yang lain. Simbol bisa menjadi tanda, tetapi tanda belum bisa disebut simbol. Dengan kata lain bahwa simbol bukan sekadar tanda biasa. Untuk membedakan kedua istilah tersebut, kita bisa melihat beberapa ciri simbol: Pertama, simbol bukan sekadar ungkapan kosong belaka, tetapi tanda yang menunjuk suatu realitas atau tindakan yang nyata dan real. Kedua, apa yang ditunjuk oleh simbol adalah suatu realitas yang mengatasi hal indrawi. Ketiga, simbol itu selalu dalam konteks masyarakat atau kebersamaan. Keempat, simbol bukan sekadar ada dalam tataran rasional belaka, melainkan menyapa dan menyentuh seluruh pengalaman hidup manusia.


 


 

Membangun Kesadaran


 

Tulisan "I Love Toraja", entah diterima atau tidak menyiratkan sebuah ungkapan kebanggaan dan kecintaan akan Toraja, dan bukan sekadar tulisan kosong. Ini tidak bisa dilepaskan dari sebuah pengungkapan manusia, sebuah symbol ke-identitas-an seorang Toraja atao daerah Toraja. Atau istilah Marthin Heidegger dalam filsafatnya disebut sebuah "Dasein", ungkapan 'ada disitu'. Dengan tulisan tersebut sesunggunya merupakan proklamasi dan atau pengumuman kepada yang lain bahwa "Kami ada di sini", sekaligus merupakan undangan untuk melihat dan mengiyakan kebenaran daripadanya. "Kami ada di sini, datanglah dan lihatlah, dan jangan anda tidak percaya, tetapi percayalah".


 

'Love', cinta-kasih: Sebuah ungkapan yang seharusnya datang dan keluar dari dalam hati, maka simbolnya "Hati – Jantung merah" (Aku punya penafsiran lain tentang symbol ini, tetapi tidak ingin aku katakana di sini, kecuali dalam bukuku: Mari belajar kebijaksanaan). I Love Toraja, rasa-rasanya sangat kering dan kosong tanpa makna, bahkan terkesan klise dan ikut-ikutan alias KTRR (katuru'-turu' githu hahaha). Bagaimana tidak? Katanya 'cinta Toraja', mana buktinya? Cukupkah dengan menggunakan baju bertuliskan "I LOVE TORAJA"? Hahaha,… tidak ada bedanya dengan seorang turis Belgia yang membeli dan memakainya, atau saya yang membeli baju kaos Joger Bali, hanya luarnya saja dan tidak masuk sampai ke dalam. Barangkali sama dengan seorang yang mengagumi keindahan sebuah kuburan dari jauh sangat indah tetapi di dalamnya berserakan tulang-belulang.


 

Untuk mendalami kata-kata ini, baiklah kiranya kalau anda dan penulis lagi-lagi mencari seorang mahaguru yang sungguh-sungguh brilian dalam mengurai kata dan arti dari kata "CINTA: LOVE", seoran "filsuf cinta" bernama Gabriel Marcel. Filsuf cinta ini lahir dan hidup antara tahun 1889-1973. Seorang tokoh eksistensial Kristen (kendati ia sendiri menolak disebut tokoh eksistensial) yang sangat tersohor, dengan filsafat cintanya. Menurutnya, cinta bukan sekadar perasaan emotif belaka, tetapi merupakan inti kehidupan yang berproses dalam hubungan manusia. Minta maaf aku mencoba mengingatnya lagi, Marcel mengurai tahapan cinta: Pertama ia menyebut tahap "KERELAAN: disponibilite", merupakan sikap kesediaan untuk terbuka, membiarkan orang lain agar masuk dalam hubungan denganku; Kedua "PENERIMAAN: receptivite", sikap inisiatif, memulai aktivitas dalam hubungan dengan mempersilahkan yang lain memasuki duniaku, atau mendengarkan yang lain, meyediakan tempat dalam HATI-ku untuk yang lain; Ketiga "KETERLIBATAN: engagement", sikap ikut ambil bagian dalam keprihatinan yang lain; Keempat "KESETIAAN: fidelite", merupakan sikap total dalam hubungan cinta. Kesetiaan oleh dia dikatakan bukan sebagai sikap ikut-ikutan tanpa pendirian, melainkan kesediaan terlibat bersama dengan segala resiko yang ada.


 

Gabriel Marsel dengan filsafat cintanya akhirnya sampai pada titik kreativitas cinta dalam hubungan intersubjektif. Menurutnya, kreativitas yang paling sederhana dapat disaksikan lewat karya-karya manusia. Seperti karya-karya seni Toraja di atas. Menurutnya juga kreativitas dapat pula menunjuk pada hubungan manusia yang wajar, misalnya suksesio kepemiminan dalam suatu daerah. Dan kreativitas juga bisa berarti negative, yakni apabila masyarakat mengecap seseorang sebagai penghianat, pembuat onar. Kreativitas ini mengadakan kondisi, membuat keadaan yang baru yang berlaku bagi orang itu, mempengaruhi "adanya". Kreativitas cinta berbeda dengan dua hal terakhir ini. Kreativitas cinta menghasilkan kebebasan. Kreativitas cinta menumbuhkan kreativitas subjek yang dicintainya.


 

Maka terasa lucu dan konyol kalau membaca tulisan I LOVE TORAJA, sungguh sebuah kata-kata klise tanpa makna. Pertanyaannya, manakah 'ketorajaan' yang sesungguhnya? Sebut satu, dua, tiga, etc: Gotong royong, ulet, ramah, jujur, tahu malu (siri' sola longko'), solider (sipopa'di'), suka menolong (sidikkanan), peduli dengan sesama (siangkaran), etc. Tetapi apa yang terjadi? Perlahan-lahan tetapi pasti toraja sedang berjalan menuju jurang kehilangan identitas ketorajaanya. Budaya siri' dan longko' hampir hilang, budaya tiga s (sipopa'di', sidikkanan, siangkaran) juga hampir menjadi barang langka, gotong royong perlahan diganti dengan budaya 'uang', orang toraja yang dikenal ulet dan jujur juga sudah sulit ditemukan, dan keramahan seorang toraja telah terbang tinggi ke angkasa dan sulit untuk kembali lagi.


 

Lihatlah bahwa hanya dalam beberapa kurun waktu saja identitas ketorajaan di atas perlahan-lahan menguap entah kemana dan digantikan dengan budaya barat atau budaya ciptaan baru.


 

Masihkah anda dan penulis bangga membaca dan memakai baju "I LOVE TORAJA", jangan-jangan anda dan penulis adalah salah satu pecundang Toraja. Tetapi kata orang bijak, jangan memadamkan api yang mulai redup, tetapi tambahkanlah minyak ke dalamnya supaya menerangi lebih luas lagi tempat di sekelilingnya. Mari mencintai Toraja dengan memulainya dari diri sendiri membangun ketorajaan kita yang hampir hilang; budaya gotong royong, ulet, ramah, jujur, tahu malu (siri' sola longko'), solider (sipopa'di'), suka menolong (sidikkanan), peduli dengan sesama (siangkaran), etc.


 

Nah, marilah memaknai kata "I LOVE TORAJA" dengan baik dan bijaksana, serta berlomba membangunToraja yang anda dan penulis cintai ini.***


 

Bokin, Jumat Kliwon Sepetmber 2011

(P. Yans Sulo Paganna', Pr)

Mari tertawa dan bermeng

MARI TERTAWA DAN BERMENUNG

=Rapat Kerbau Berakhir Ricuh=

(P. Yans Sulo Paganna', Pr).


 

Dari negeri para binatang dikisahkan bahwa kelompok kerbau sepakat untuk mengadakan musyawara bersama. Inti musyawara yang hendak dicapai adalah mencari kesepakatan supaya harga-harga mereka di mata manusia sama.


 

Musyawara yang dihadiri perwakilan dari masing-masing jenis kerbau itu dipersiapkan dengan baik. Tidak tanggung, tanggung ketua panitia menyewa satu lapangan bola untuk acara musyawara bersama di antara mereka. Seksi-seksi dibentuk, bahkan koordinator masing-masing seksi secara berkala bertemu dan selalu dihadiri oleh ketua panitia, sekertaris, bendahara dan beberapa penasehat.


 

Setelah tiba hari "H", semua perwakilan kerbau yang merupakan utusan kelompok memasuki lapangan dengan wajah-wajah yang seram. Semua siap dengan argumen masing-masing. Wakil dari kelompok tedong saleko yang awalnya tampak tenang, saat memasuki lapangan Musyawara yang telah ditata indah oleh seksi tempat itu akhirnya mulai tampak gelisah. Iya mulai sadar bahwa dalam muyawarah bersama hari itu dialah yang akan menjadi sorotan kerbau-kerbau yang lain.


 

Saat semua perwakilan kelompok kerbau itu telah menempati tempat mereka masing-masing seperti yang diatur oleh seksi tempat, ketua panitia didampingi sang sekertaris dan beberapa penasehat mengambil tempat terdepan menghadap para anggota peserta Musyawara. Model tempat yang dirancang oleh seksi tempat sedikit membentuk lingkaran untuk menggambarkan kesederajatan di antara mereka.


 

Rapat dibuka oleh ketua panitia, "Saudara-saudara seperti yang anda dan kita ketahui bersama, maksud Musyawara kita pada hari ini sampai besok sebelum fajar menyingsing adalah ingin mengambil keputusan bersama secara mufakat supaya harga-harga kita ditentukan samarata. Musyawara kita pada hari ini dihadiri oleh semua perwakilan dari masing-masing kelompok, kecuali kelompok tedong bulan yang juga kami undang tetapi tidak sempat hadir dengan alasan kehabisan tiket. Kita harus maklum karena sudara-saudara kita ini tinggal di daerah yang jauh dan tidak ada yang tinggal di daerah kita ini. Apakah Musyawara ini boleh kita buka?" tanya ketua panitia kepada para peserta Musyawara.


 

"Intorupsi saudara ketua,… sebelum memulai saya selaku wakil tedong tekken langi', mau bertanya soal pengaturan tempat. Apakah alasan panitia menempatkan kelompok kami di bagian paling belakang. Sekian saudara ketua?"


 

Belum sempat dijawab oleh panitia tiba-tiba salah satu kelompok langsung menyerobot, "Saya kira inilah salah satu maksud dari kegiatan hari ini, yakni hendak menentukan kesederajatan di antara kita", katanya.


 

"Apa, kesederajatan?", kata tedong saleko mulai terpancing.


 

"Hahaahahaa,… enak saja ngomong. Apakah saud,..".


 

Belum sempat wakil dari tedong saleko yang sudah mulai emosi itu berbicara, tiba-tiba ketua panita menghentikannya. "Saudara-saudara yang terhormat, rapat Musyawara bersama belum kita mulai dan anda sudah bertengkar. Saya atas nama ketua panitia meminta supaya semua tertib mengikuti musyawara ini", katanya mencoba menertibkan situasi.


 

"Hahaha,… saudara ketua, saya selaku wakil dari kelompok tedong saleko tidak setuju dengan,…"


 

"Diam ! Saya bilang diam,…" kata ketua panitia dengan nada tegas.


 

"Saudara harus taat dengan peraturan dalam Musyawara ini, salah satunya adalah taat pada pimpinan rapat", sambung ketua panitia.


 

Suasana menjadi hening saat ketua panitia mulai berbicara keras. Rapat Musyawara kembali dilanjutkan.


 

"Saudara-saudara yang saya hormati. Sebelum sampai pada kesepakatan mengenai kesederajatan yang akan kita bangun bersama, baik kiranya kalau dalam session pertama ini masing-masing dari kita mengungkapkan argumen-argumennya mengapa manusia selama ini memberinya nilai yang tinggi atau rendah", kata sang ketua panitia. "Dan demi ketertiban Musyawara bersama ini, saya selaku ketua dan sekaligus pemimpin rapat yang akan menentukan siapa yang boleh bicara. Okey, setujuh?", tanya sang pemimpin rapat. Semua terdiam, tanda setuju.


 

"Baik, saya persilahkan pertama kepada wakil dari kelompok tedong saleko. Silahkan memberikan argumen mengapa manusia menilai anda terlalu tinggi".


 

"Terima kasih atas waktu yang diberikan kepada saya selaku wakil dari kelompok tedong saleko", katanya.


 

"Saya kira kami layak dihargai tinggi dibandingkan saudara-saudara karena beberapa alasan: Pertama, kelangkaan kami. Kalau boleh saya katakana, kami ini adalah kelompok khas dan istimewa karena kami hanya bisa lahir di daerah ini,…" "Apa,… apa iya,… " terdengar nada protes dalam halaman tsb.


 

"Okey barangkali anda semua terkejut dengan ini dan akan mengatakan di tempat lain juga kelompok kami ini banyak ditemukan. Saya ingin mengatakan, itu bukanlah turunan dari kelompok kami. Hati-hati jangan sampai tertipu, karena kami memiliki kekhasan yang tidak semua manusia mengetahuinya. Kedua, kami dinilai tinggi karena warna kulit kami yang khas dengan simbol-simbol yang kami hadirkan pada kulit kami, dan ini tidak ada pada diri anda sekalian. Jadi minta maaf ini juga adalah kekhasan dari kelompok kami. Simbol yang kami hadirkan ini membawa pesan tersendiri bagi manusia. Ketiga, tanduk, kuku dan sorot mata kami yang sangat indah serta ketenangan kami membuat manusia juga jatuh hati dengan kami. Dan yang terakhir, harap dikoreksi kalau keliru, konon daging kami serta aroma kami jauh lebih enak dan harum dibandingkan dengan daging dan aroma saudara-saudara sekalian", katanya menutup argumen-argumennya.


 

"Huuu,… puji diri melulu," terdengar komentar dari belakang.

Suara-suara sumbang yang liar itu dihentikan oleh pimpinan rapat, "Harap saudara-saudara tetap menjaga etika Musyawara yang kita anut".


 

"Sekarang kesempatan berikut saya berikan kepada kelompok yang hampir mirip dengan itu yakni kelompok tedong sambau'. Saya persilahkan memberikan argumen-argumennya".


 

Dengan sedikit malu-malu wakil dari tedong sambau' menekan tombol on pada mic yang ada di depannya. "Baik saudara-saudara saya yang terhormat. Saya tidak pandai bicara seperti saudara pembica yang pertama tadi, tetapi kalau kami, eee.. kalau saya selaku wakil dari kelompok tedong sambau' diminta untuk memberikan alasan mengapa manusia memberi kami harga yang sangat rendah, bahkan lebih rendah dari harga saudara kita babi. Kami sudah beberapa kali melayangkan surat protes kepada manusia, tetapi jawabannya selalu bahwa kami ini adalah kelompok yang salah cetak kata mereka. Katanya, kami ini antara mau lahir ke kelompok tedong saleko atau tedong bulan yang oleh manusia di negeri ini dipantangkan untuk hidup karena dianggap sumber tertutupnya reseki bagi mereka. Karena itu seperti yang anda ketahui dan lihat sendiri pada kelompok kami, sepintas hampir mirip dengan tedong bonga tetapi juga nyaris mirip tedong bulan, dan mata kami memang tidak seindah dengan teman-teman kelompok tedong bonga apalagi tedong saleko. Tampilan wajah kami juga tidak terlalu enak untuk dipandang. Jadi kami menerima saja diri ini apa adanya. Barangkali ini memang nasib yang sudah harus kami terima", kata wakil tedong sambau' dengan nada pesimis dan merendah.


 

Rasa ibah memenuhi lapangan tempat Musyawara itu berlangsung saat mendengar argumen dari kelompok tedong sambau'.


 

"Baik saudara-saudara. Suasana Musyawara kita sampai pada detik ini masih berjalan baik, sekarang saya selaku pimpinan rapat memberikan kesempatan kepada wakil dari kelompok tedong balean. Seperti saudara-saudara ketahui bahwa manusia juga memberikan nilai yang cukup tinggi terhadap saudara-saudara kita ini, saya persilahkan", kata pimpinan rapa mempersilahkan wakil dari kelompok tedong balean untuk berbicara.


 

Dengan gaya yang sedikit arogan wakil dari kelompok tedong balean ini mulai berbicara, "Saudara-saudara saya sekalian. Saya tidak perlu berterima kasih kepada saudara pimpinan rapat dan kepada saudara sekalian karena bukan itu yang anda harapkan. Saya kira yang anda harapkan adalah argumen dari kami seperti yang diminta oleh saudara pimpinan rapat. Baiklah kalau demikian. Seperti saudara-saudara ketahui dari nama kelompok kami saja saudara-saudara bisa memaklumi kalau manusia menilai kami dengan harga yang tinggi, bahkan seharusnya kamilah yang lebih tinggi daripada saudara kita dari kelompok tedong saleko, tapi sudahlah".


 

Tedong saleko yang mendengar itu langsung bereaksi "Apa yang anda katkan? Coba diulangi sekali lagi,…", protes tedong saleko dengan nada tersinggung tanpa dipersilahkan berbicara. Pimpinan rapat yang melihat situasi panas ini langsung meredamnya.


 

"Saudara-saudara, saya harap saudara-saudara masih setia dengan komitmen dan kesepakatan kita bersama untuk menjunjung tinggi etika Musyawara mufakat. Tidak ada yang boleh berbicara tanpa seizin pimpinan rapat", katanya dengan nada keras sambil mengarahkan pandangannya ke arah kelompok tedong saleko.


 

"Silahkan wakil dari kelompok tedong tekken langi' melanjutkan argument-argumennya", katanya mempersilahkan.


 

"Seperti yang sudah saya katakana tadi bahwa dari nama kelompok kami saja sudah menunjukkan nilai kami, tekken langi'. Artinya kamilah yang dipakai oleh manusia sebagai tongkat ke surge. Maka tidak ada kelompok kami, mereka tidak bisa melihat surge. Jadi sesungguhnya saudara-saudara hanya menggenapi saja keberadaan kami,…."


 

"Plakkk,….", tiba-tiba sebuah pukulan telak menghantamnya dari belakang.

" Kurang ajar, sombongnya selangit. Tidak salah nama tekken langi', sombongnya sampai ke langit benaran", kat kerbau dari kelompok tedong pudu' yang menghantamnya itu tanpa dipersilahkan untuk berbicara.


 

Kerbau dari kelompok lotong boko', yang dari tadi juga merasa jengkel mendengar kesombongan tedong tekken langi' itu tiba-tiba juga datang menghantamnya, "plakk,…plakkk,…".


 

Tekken langi' yang memang tidak dikarunia kemampuan untuk berkelahi tersungkur tak berdaya mendapat pukulan telak lotong boko' si kerbau pendiam yang ganas itu.


 

Suasana rapat Musyawara bersama siang itu tiba-tiba menjadi kacau karena dipicu oleh arogansi wakil dari tekken langi'. Ketua panitia yang sekaligus bertindak selaku pimpinan rapat beberapa kali mencoba mengendalikan situasi yang panas itu tetapi sudah tidak bisa ia kendalikan. Pasukan keamanan terpaksa diturunkan untuk mengamankan situasi yang tak terkendali itu. Rapat dihentikan dengan paksa oleh pimpinan rapat.***

Rabu, 28 September 2011

Cinta Yesus

Kisah Indah dari Ruang Suci

(By:Yans Sulo Paganna', Pr.)


 

Dari sebuah ruangan berukuran 3X4m, sebuah ruangan yang tertata indah dan rapi; dengan karpet merah dan gorden biru laut, terdengar kisah indah mengundang hati untuk berkata, "Oh,…my God". Dari ruangan yang oleh tuannya disebut ruang doa ini terdengar kisah curhat dua arca cantik penuh karisma. Dua arca yang ditempatkan sedikit lebih tinggi dari meja kecil yang ada dalam ruangan itu dikisahkan sedang berbagi kisah satu dengan yang lain. Dikisahkan bahwa dalam keremangan lampu suci yang menerangi sebuah salib dinding berukuran 75 CM itu terjadi dialog antara arca seorang perempuan cantik bersahaja dengan arca putranya sendiri.

Sharing kisah dibuka pertama oleh arca si perempuan cantik bersahaja, "Nak,…aku sedih sekali belakangan ini karena tuan rumah di tempat kita mampir ini tidak begitu peduli lagi dengan kehadiran kita".


 

"Mengapa ibu berkata demikian?", tanya sang Putera kepada bundaNya.


 

"Iya, akhir-akhir ini mereka terlalu sibuk dengan pekerjaan mereka. Mereka sudah sering lupa untuk datang menyapa kita kendati hanya dengan sepata kata saja", jawab sang bunda.


 

"Ibu, ibu jangan terlalu bersedih. Barangkali mereka masih sibuk dengan urusan bisnis yang menyita waktu mereka. Besok-besok juga mereka akan datang kembali dan menemui ibu dan Aku", kata sang Putra mencoba meyakinkan sang bunda yang sedang diliputi rasa kecewa.


 

"Harap saja demikian anakku, tetapi kalau ibu menggunakan feeling keibuanku, sepertinya mereka sudah melupakan-Mu apalagi aku. Lihat saja, bunga mawar yang mereka bawa kepadaku ini sudah sangat kering. Mereka terakhir datang ke tempat ini saat salah seorang keluarganya sedang bermasalah, setelah itu mereka menghilang. Atau jangan-jangan keluarganya yang dikisahkannya kepadaku dengan bercururan air mata itu sudah hilang?", kata sang bunda.


 

"Ibu,… jangan terlalu dipikirkan. Biarkanlah mereka melakukan apa yang mereka ingin lakukan. Aku sudah mengutus salah seorang malaikat dari surga untuk memberitahukan supaya mereka tidak terlalu sibuk dengan urusan dunia, tetapi rupanya belum berhasil", kata sang Putera kepada ibunya.


 

"Iya, anakku. Ibu hanya kadang-kadang merasa sedih melihat mereka yang merasa bahwa semua yang ada pada mereka adalah hasil perjuangan mereka semata".


 

"Tidak apa-apa ibu, toh mereka juga akan tahu sendiri bahwa pandangan mereka itu keliru", kata sang Putera.


 

"Ibu, sesunggunya kalau mau berbicara mengenai rasa kecewa, seharusnya akulah yang harus leibih kecewa. Tetapi tidak demikian ibu. Karena kalau Aku kecewa itu berarti cinta-Ku tidak sungguh-sungguh tulus dan penuh atas mereka", sambung sang Putera sebelum ibu-Nya berkomentar lagi.


 

"Maksud-Mu?", tanya ibu-Nya.


 

"Iya, kalau mau berhitung untung rugi, sesungguhnya Aku sudah terlalu rugi. Tetapi dalam rencana Bapa-Ku hitung-hitung bisnis a la manusia ini tidak tertulis di dalam kamus-Nya", jawab sang Putera.


 

"Iya anakku, ibu hanya merasa kasihan denga perubahan drastis tuan rumah tempat kita mampir ini. Dulu hampir setiap hari datang menyapaku. Mereka terlalu sering menyebut-nyebut nama-Mu, tetapi sekarang mereka hampir tidak pernah lagi menyebut nama-Mu", komentar sang ibu.


 

"Demikianlah memang yang terjadi dalam dunia ini ibu. Ibu tidak perlu heran. Ketika mereka masih membutuhkan pertolongan kadang-kadang pada tengah malam pun mereka akan berteriak-teriak. Tetapi saat manusia mulai mapan dan merasa bahwa mereka mampu hidup tanpa siapa-siapa, mereka terkadang mulai juga lupa dengan Dia yang mengadakan segala-galanya. Mereka akan datang lagi setalah ada sesuatu yang mereka rasa tidak sanggup mereka hadapi, saat kekuatan mereka tidak cukup untuk itu, seperti yang terjadi saat bunga kering itu datang dihantar oleh mereka. Saat-saat kritis dan tak berdaya itu tanpa diminta pun akan dengan sendirinya datang berteriak-teriak bahkan kalau perlu datang bercucuran air mata. Tetapi sekali lagi ibu, biarkanlah semua itu terjadi. Tugas ibu hanya membawa mereka kepada-Ku saat mereka datang kepada ibu".


 

"Siapa yang akan aku bawa kepada-Mu kalau tidak ada lagi yang datang kepadaku", kata sang bunda.


 

"Siapa saja yang datang. Kalau bukan tuan rumah di tempat kita mampir ini tidak, masih banyak orang lain lagi yang akan datang kepada ibu memohon bantuan ibu. Dan seperti aku memenuhi permohonan ibu dalam salah satu jamuan makan pernikahan di Kana, aku akan selalu juga memenuhi permohonan-permohonan ibu, karena aku sangat mencintai ibu dan mencintai mereka, kendati mereka tidak menyadarinya ibu,…..".


 

"Anakku, ibu sepertinya mau menangis membayangkan semua tanda kasih-Mu kepada ibu dan kepada mereka semua. Ibu sangat terharu membayangkan kembali saat-saat Engkau menyatakan semuanya ini kepada kami", kata sang ibu seraya menahan rasa harunya.


 

"Ibu, jangan menangis ibu. Aku sayang sekali ibu. Aku tidak ingin ibu menangis lagi. Cukuplah saat ibu menangisi aku saat diseret ke sebuah tempat pembantaian, dan saat ibu memangkuku untuk terakhir kalinya di bawah sebuah palang kayu tempat-Ku digantung", kata sang Putera menghibur ibunya.


 

"Okey anakku,… terima kasih atas cinta-Mu yang tak terperikan kepada mereka dan kepada ibu. Ibu hanya berdoa supaya mereka mau kembali sadar dan menyebut nama-Mu lagi, menyebut nama Bapa-Mu, dan nama penolong yang lain yang telah Engkau berikan kepada kami semua", kata sang bunda dengan penuh rasa haru.***


 


 

"

Mari Berkisah tentang Toraja

Tongkonan (symbol Baine)

Alang Sura' (symbol Muane)

(Sebuah Kisah Narasi)

By: P. Yans Sulo Paganna', Pr.


 

Pengantar Singkat:

Untuk orang Toraja, kehadiran tongkonan dan alang sura' bukan sekedar menunjukkan keberhasilan seseorang. Jauh di balik bangunan ini sesungguhnya tersembunyi sesuatu yang sangat tak terselami. Tongkonan dan alang sura' merupakan symbol seorang ibu dan ayah. Tongkonan, dengan setia duduk bagai ayam mengeram (mangarran) mengandung anak-anak yang lahir dari tongkonan, menjaganya dengan pemali, etc. Sementara alang sura' (lumbung) merupakan symbol laki-laki, pencari nafkah yang berdiri melindungi sang istri.


 

Aku mengisahkannya dalam kisah yang lucu dan konyol, tetapi semoga bermakna.


 

Sesungguhnya aku belum mencoba masuk pada ideku semula, yakni berkisah tentang symbol pada masing-masing bangunan tersebut, tetapi aku hanya mengisi waktu luangku sedang mengerjakan sebuah proyek, untuk merangkai kata ini sekadar hiburan. Karena itu narasi yang aku buat ini pasti tidak begitu teratur, tetapi simaklah dan tertawa serta bermenung untuk segera berbuat sesuatu. Selamat,…..


 

Dari sebuah negeri yang indah, dikisahkan sebuah sharing hidup dua sosok yang sudah hampir dilupakan oleh anak-anaknya. Sebuah komplesks yang sangat bersahabat di tengah rumpun bambu di lereng bukit batu yang cukup jauh dari keramaian. Di tempat itu berdiri sebuah bangunan tua yang sangat cantik dalam usianya yang sudah hampir seabad. Rupanya yang tetap memancarkan kecantikan itu tampak mengundang semua orang yang melihatnya berdecak kagum. Perempuan tua yang tetap memancarkan aura inner beauty-nya itu semakin mengundang kekaguman siapapun yang melihatnya karena kesetiaan sang lelaki tua di depannya. Seorang laki-laki yang tampak kokoh dan kekar dalam keramahan dan tatapan matanya yang sayu, seakan mengisahkan seorang laki-laki pekerja keras yang lembut dan bijak.


 

"Oh,… betapa bahagianya anda berdua bisa hidup bahagia selamanya di negeri yang indah ini. Di usia tua kamu, kecantikan dan kegagahan tetap terpancar dari wajah-wajah kalian", demikian komentarku saat selesai mengambil gambar mereka.


 

Perempuan tua yang tetap tampil dalam kecantikannya itu adalah sebuah bangunan tongkonan (rumah toraja) tua yang sudah mulai dimakan zaman. Di depannya berdiri seorang laki-laki gagah yang kalem, sebuah alang sura' (lumbung) yang sebaya dengan perempuan cantik itu. Mereka tinggal di sebuah negeri yang indah. Mereka tidak hidup sendiri. Di sekitar mereka juga hidup para sahabat dan pengawal serta penasehat dan para pelayan mereka. Sang perempuan dalam kecantikannya dikitari dengan rumpun bambu dan pohon-pohon kopi. Sementara sang laki-laki kalem dikawal oleh para pengawal dan penasehat serta para pembantunya. Di belakang si laki-laki itu tumbuh berbagai pohon buah-buahan; langsat yang sedang berbuah, pohon nangka yang sudah cukup berumur. Dan satu lagi pohon yang tumbuh sangat gagah tidak jauh dari itu. Pohon cendana yang umurnya kalau tidak salah taksir seumur dengan mereka. Pohon cendana ini melambai-lambai dalam keramahan seakan-akan sedang berkisah tentang dua tuannya yang sedang dalam masa tuanya.


 

Aku duduk termenung memandang mereka, dan dalam sayup-sayup kudengar mereka mulai berkisah satu dengan yang lain.


 

"Eleka nenekna,… taebangmoraka namengkilala-lala temai pia diolu tondok mambela, na masasai omo to tae' bang narampo untollong-tollongngiki' sola dua? (Papa,… apakah anak-anak sudah lupa dengan kita, sudah lama mereka tidak datang-datang menjenguk)?", tanya si tongkonan (perempuan) kepada alang sura' (lumbung) suaminya.


 

"Akona umbai, bassa' bangmi undaka' kaletteran utan diolu tondokna tau tumai pia. Pasambayang-bayangan bangmi nenekna anna massakke'-sakke' sola nasang diolu tondokna tau (Barangkali mereka sibuk mencari kehidupan yang lebih baik di negeri orang. Doakan saja supaya mereka sehat-sehat)", jawab sang suami kepada istrinya yang mulai gelisah dalam masa tuanya.


 

"Ako tonganmo iyanna apa kodikuari dikua na susimiki' to lan pangngala' te sola dua. Nakabu'bangmiki' temai riu sia padang-padang. Tae'duka bangmo na den ussonda-sondai temai bayu sia dodo nenekna (Betul, tetapi aku hanya bilang kalau kita seperti hidup di tengah hutan. Rumput-rumput liar sudah mulai panjang, dan kita sudah tidak terurus lagi)".


 

"Eee nenekna nala iyabangpara tu kale ladiperhatikan na matuamiki'. Kusanga moi anta matesse'mo kusanga tontongbangki' sangkurin sola dua. Moi anna tangdisonda-sondai bangmo temai bayu, dodo sia sambu' apa tontongmangki' sikamali'. Samari kedikua senga'mi diong penammu lako aku (Eee,… istriku tidak usah terlalu pusing dengan penampilan. Bukankah sampai hari ini kita tetap setia sampai tua. Kecuali kalau hatimu sudah lain kepadaku", komentar alang sura' (suami).


 

"Ammu pokadaori to kada iyato nenekna? Kennaladen diong penangku na masai allomo' aku male untampeanko, apa kusanga tempon dipasitammuki' sola dua tontongbangna untannun pena melo lako iko, sia lako temai anak-ampo tu kutambu' sola nasang. Tontong dukabangna ulla'pa-la'pai tindemai pia dikua anna melo dadinna sia lobo' garaganna. Kusanga biasa bangmurangngi tu panglolloanku te'diomai tonna bitti' temai pia (Kokh papa bilang githu shi? Seandainya ada di dalam hatiku seperti apa yang papa katakan, sudah lama aku meninggalkanmu. Bukankah sejak kita hidup bersama aku dengan setia menemanimu, dan dengan setia juga berdoa bagi mereka semua yang lahir dari dalam rahimku. Aku kira papa masih ingat bagaimana aku meninabobokan mereka", katanya sang istri kepada suaminya.


 

"Umbaomi nakua to panglolloanmu to? Tikua tangkukilalalaimo na kuporai liu urrangngi (Bagaimana lagi itu lagumu meninabobokan mereka? Aku sangat senang mendengarnya)".


 

"Kukua: E,… denno upa' ammu lobo' mu kasalle, ammu manarang mu kinaya, ammu bida mu barani (semoga bertumbuh sehat dan menjadi orang besar, semoga memiliki pengetahuan yang luas dan bijaksana, semoga tak terkalahkan dan jadi pemberani)".


 

"Oindo' e,… mammi' liu inanna to panglolloanmu lako bati'ta. Toleri,…(Aduh,… indah sekali doamu itu kepada mereka. Coba ulang,….), pinta sang suami-alang sura' memuji istrinya.


 

"E,.. matessekmiki nenekna, ammu ma'gombal bangpa (E,… sudah tua masih merayu terus)", kata sang istri.


 

"Anna la dennora ma'gombal nadikua kuporairi urrangngi tu panglolloanmu. Mupanglolloan tongan-tongan siaraka iko to tonna bitti' temai pia (Kokh dibilang menggoda na memang aku hanya suka mendengar doamu itu. Tapi apakah memang engkau mendoakannya sungguh anak-anak kita?", tanya sang suami.


 

"O na kusanga murangngi bang keallo ke bongi. Muangga'i bang omo ma'moleng-moleng na tae'siapara mu tarru' matua bang. Dolo piana' akunna na iko ammu ma'moleng-molengmo (Aku rasa papa selalu mendengarnya siang dan malam. Kokh pura-pura lagi tidak ingat, sepertinya papa sudah lupa ingatan padahal aku lebih duluan lahir dari papa)".


 

"Hahaha, naiyamora to ammu bukkukmo na maganta' bangpa' akunna inde, belanna doloko dadi anna aku hahaha(Makanya memang mama sudah tampak bungkuk dan aku masih tampak gagah di sini karena mama memang lebih tua dariku hahaha".


 

"A,… mempia-piaomoko duka'na nenekna. E,…pia'ri to kayu lama'nasuna'. Mabongi diomai (Papa,… jangan jadi kekanak-kanakan lagi dhe. Siapkan kayu bakar, aku mau masak. Malam sudah datang", kata sang istri.


 

"Na iya bang ora tu ladikandena tu ditangngaran (Akh, kenapa hanya mau pikir makanan saja)".


 

"Naapapara laditangnga' kematuamiki' nenekna (lalu apa lagi yang mau dipikirkan kalau sudah tua)", komentar sang istri.


 

"Dikua iyari to panglolloanmu nia' o,… butung tikua tang membua-bua. Tae' siaraka iko mu manglolloan sala-sala bangmo ke malena' te diomai undaka' kande? (Kita kembali ke doa mama sepanjang masa tadi. Jangan-jangan mama salah berdoa ketika aku pergi mencari nafkah?", kata sang suami kembali mengomentari doa istrinya atas anak-cucunya.


 

"Inang pekarede-rede bangko nenekna. Tempon diopa mai iyabangri iko mupogau'to umpakarede-rede bangna'. Maupa'roko na tosa'bara' tumupobaine. Kennala susi baine senga' na masai allomoko kutampe (Papa memang kerjanya hanya bikin jengkel. Sejak dari dulu itu saja yang papa buat sama aku. Papa bersyukur dapat perempuan seperti aku, seandainya perempuan lain, barangkali sudah lama berpisa)".


 

"Ahk,.. dikuari iyanna kengkula tangpakarede-rede bangko na umbai anta masaimo sisara'. Kutandaiko kumua iyannala emosimo misa'ri tu bisa umpamoro' penanna yamoto kupakarede-rede bangko. Muangga'I bangri sengke-sengke na muporai to? Hahahaha,….(Ahk, barangkali seandainya tidak demikian kita sudah lama berpisah karena aku tahu kelamahan mama. Kalau sudah marah hanya satu cara untuk meredamnya yakni membuat mama tambah jengkel. Tetapi mama suka khan? Hahahaha,….", kata suaminya sambil tertawa ringan.


 

"E,… nenekna, ma'kada tongan opa' te. Inang te'liumoraka iyanna namengkilala-lala temai pia diolu tondok mambela na laro'po'mannamiki' sola dua te anna tae' dukanna nala rampo untollong-tollongngiki'? (E,… pa. Aku serius ini. Apakah memang anak-anak di rantau sudah sungguh lupa kepada kita yang sudah tua ini)?", tanya sang istri kepada suaminya-alang sura'.


 

"Iyo ah,… tikua tangmengkilala-lalamo sola nasang diolu tondok mambela,ba'tang masaki-sakiri sola nasang ( Iya ya,… sepertinya mereka memang sudah lupa dengan kita, atau jangan-jangan mereka sedang sakit)".


 

"Ako semsesi kede' lako e,… (Coba papa SMS ke sana)", kata sang istri.


 

"Na apa ladipake ma'semes ke tae'mi tu pulsa. Dikua sedangkan ladipetole' na tangganna'-gannamo. Ikomira semessi lako (Mau SMS pakek apa, pulsa sudah habis. Sedangkan untuk itu beli rokok saja aku sudah tidak punya. Coba mama yang SMS), kata sang suami.


 

"Apa dukara ladipake semessi, na dikua tae'bangmo apa lante HP (Mau SMS pakai apa juga, tidak pulsa di dalam ini HP).


 

"Ako talipong bangmi ke taemi nabisa ma'semes (Kalau begitu telpon saja kalau tidak bisa SMS)".


 

(Indemo iyanna pole' tomatua inang molengliumo e,… dikua ma'semes na tae' iyaparaka tu la ma'talipong (Ini papa memang sudah mulai turun daya ingat e,… sedangkan untuk SMS saja sudah tidak bisa apalagi mau menelpon), kata sang istri.


 

"Ako parra oria pole' to kela. Pentibianni apole' rokko to'tallang tu HP kela tae'ri nabisa dipake ma'semes sia ma'talipong. Nasulepa tumati' pia anna salengkai temai riu ponno lan tarampa' (Kalau begitu buang saja itu HP kalau memang tidak bisa dipakai. Nanti kalau mereka pulang supaya kaki mereka terjerat rumput yang sudah mulai panjang di halaman)", kata sang suami sedikit emosi.


 

"Ooo,.. iko omo tu emosi, namanemangka umpakilala tau na iyaomo umpogau'i (Ooo,… lihatlah, baru-baru menasehatiku supaya tidak cepat emosi, sekarang papa yang mulai emosi)", kata sang istri menasehati suaminya.***


 

Aku yang duduk dari tadi memperhatikan mereka berdua, dan mencoba mendengarkan pembicaraan mereka mulai merasa lelah di salah satu sudut lumbung. Aku banyak belajar dari mereka. Mereka mencoba hidup setia selamanya sampai akhir. Mereka menjalani hari-hari mereka dalam suasana senda-gurau yang penuh keakraban satu dengan yang lain. Terima kasih tongkonan (symbol perempuan) dan alang sura' (symbol laki-laki). Anda telah mengajariku untuk bertumbuh semakin dewasa. Kendati Anda telah dilupakan, namu aku akan menyampaikan keluh-kesah dan kisah kalian ini kepada mereka yang telah anda besarkan***

Senin, 26 September 2011

Remah-remah


 

Ayo, Mari Mampir ke Petapaanku

Pastikan Anda Pulang Lebih Bahagia daripada Saat Anda Datang ke Tempat ini.

(Remah-remah dari Pertapaan Bokin)


 

Sudah setahun lebih ini aku tinggal di atas puncak gunung seorang diri, bagaikan seorang pertapa. Rumahku terpisah sedikit jauh dari tetangga, sekitar 100m di bawah lembah. Aku menghabiskah hari-hariku saat sedang tidak mengadakan kunjungan ke pedalamannya pedalaman dengan membaca dan berdoa. Sesekali aku bekerja mengurus kebersihan rumah dan berkebun. Halaman rumahku cukup luas, jadi kadang-kadang saat rumput mulai tampak mengganggu pemandanganku, kubunyikan mesin pemotong rumput untuk merapikannya kembali. Kebun di depan dan samping rumahku juga cukup luas, tetapi aku tidak begitu hobby berkebun, jadi hanya beberapa meter saja yang kuolah menjadi kebun sayur dan lombok, selebihnya kubiarkan ditumbuhi rumput-rumput liar. Kalau rumput-rumput itu terasa mengganggu lagi keindahan lereng depan rumahku, maka aku juga kadang terjun dengan pakaian lengkap layaknya seorang cleaning servis kota memikul mesin pemotong rumput dan membabat pohon-pohon dengan parang toraja yang kubeli khusus untuk memangkas pohon-pohon di sekitar rumahku.


 

Karena rumahku terpisah jauh dari tetangga di atas gunung, maka aku bebas memelihara ayam kampung. Jumlahnya lumayan banyak untuk ukuran orang kampung. Setiap pagi dan sore aku suka membuangkan makanan sisa atau jagung kepada mereka. Kubuatkan tiga kandang cantik dari papan pinus dan atap carpet. Kandangnya cukup cantik dan indah. Tidak banyak yang masuk dalam kandang pada malam hari. Kebanyakan bertengger di atas pohon mangga dan pohon advokat yang tumbuh di samping dapurku. Ayam-ayamku dengan bebas mencari makan di sekitar rumahku setiap hari. Dari ayam-ayam ini aku belajar sebuah cara hidup yang sangat berharga, yakni disiplin yang tinggi. Tidak ada dari ayam-ayam ini yang terlambat turun dari pohon saat matahari di sebelah gunung depan rumahku mulai muncul. Mereka semua sudah siap berjuang saat mentari pagi menyapa bumi. Hanya satu yang sering mengganggu mereka saat mencari makanan di kebunku, yakni biawak yang sangat cerdik. Binatang ini sangat pintar. Mereka punya tempat persembunyian di balik pondasi depan pendopo rumahku. Mereka hanya sesekali muncul untuk berjemur diri dan atau mengincar mangsa. Itupun saat tahu bahwa aku tidak sedang di tempat. Rupanya ada satu yang sempat tertibu, menyangka bahwa aku lagi tidak di tempat. Ia mencoba untuk keluar mengejar mangsa. Sasarannya adalah anak ayamku yang baru berumur tiga minggu. Saat melihat ulah mereka, spontan saja aku berjalan mengambil senapan yang kugantung di dinding ruang kerjaku. Dengan langkah ektra hati-hati, aku berjalan mengendap-ngendap mengambil posisi yang baik untuk menembaknya. Kupompa senapan itu sampai hitungan delapan, padahal biasanya hanya lima atau enam kali. Sengaja kupompa demikian karena tahu bahwa musuh cukup bandel dan kuat. Ia sempat menyadari kehadiranku, tetapi rupanya ia tertipu. Ia menyangka bahwa aku hanya melihatnya saja, padahal tembakan sudah siap kulepaskan. Aku tidak memberinya kesempatan untuk menyadarinya bahwa aku sedang mengincar nyawahnya. "Plaaakkk". Sasaranku tepat pada mata biawak nakal itu. Ia tersungkur. Aku berlari ke arahnya dan rupanya hanya pingsan. Kuselesaikan tugasku dengan mengambil ranting bambu yang tertancap di kebun itu, dan kupukulkan dua kali persis di kepalanya. Sungguh sebuah tembakan jitu layaknya sang sniper professional kelas dunia. Dalam keadaan hampir mati, aku memohon maaf kepadanya, "Minta maaf sahabatku, engkau cukup nakal dengan ayam-ayamku maka aku terpaksa melakukannya", kataku kepadanya saat mengangkatnya dan menguburnya persis di tempat ia tertembak.


 

Aku mencoba bersahabat dengan alam, kecuali yang tiadak menghendakinya atau kurasa menggangguku. Beberapa bulung elang bertengger di dekat rumahku. Aku membiarkannya untuk terbang di atas halaman rumahku. Mereka cukup bersahabat. Belum pernah menganggu ayam-ayamku. Aku suka mendengar bunyinya pada siang hari saat terbang dan bermain-main di atas rumahku, seolah-olah sengaja memperdengarkan bunyinya yang indah kepadaku.


 

Satu yang kusesalkan dalam kebersamaanku dengan alam di atas gunung ini adalah tragedy hilangnya siular hitam yang kupelihara di depan gerbang rumahku. Terakhir aku mendengarnya bahwa Scoci, demikian aku memanggilnya itu dibunuh orang yang dekat jalan raya saat sedang melintas. Scoci ini sebetulnya binatang yang baik. Ia juga cukup bersahabat. Saat ada tamu tak diundang memasuki halaman rumahku, kadang-kadang dialah yang pertama menyapanya, atau sekedar mengirim informasi kepadaku dengan teriakan terkejut sang tamu, "Ooe,… bendok e ula' iyanna". Demikian kadang-kadang aku mendengar tamu berteriak dari depan gerbang. Aku hanya tersenyum mendengar teriakan sang tamu tersebut. Kehadiran Scoci ini juga membuat kompleks rumahku aman dari keusilan anak-anak sekolah yang konon katanya sebelum kedatanganku sering masuk dan bermain-main di halaman rumahku. Sejak kehadiran Scoci yang sering membuat mereka lari terbirit-birit anak-anak usil itu tidak pernah lagi datang untuk bermain-main saat aku tidak di rumah. Urusan satpam depan rumahku diurus oleh Scoci dan bagian dalam kompleks rumahku diurus oleh Mara, seekor anjing dobermen yang tergolong genius.

Di antara dua satpamku ini seolah sudah terjadi pembagian tugas yang jelas; bagian depan urusan Scoci dan bagian dalam tanggungjawab si Mara. Marah, si satpam genius ini mengenal baik semua anggota dan tamu yang sering datang ke rumahku. Saat ia memberi kode, aku sudah bisa menduga bahwa tamu yang datang itu adalah tamu yang asing. Ia tidak akan membiarkan tamu yang asing merapat ke pendopo depan rumahku saat aku belum memintanya untuk diam. Kalau tamu itu nekad, maka ia akan menerjangnya. Ia dikenal oleh seluruh kampung dengan nama anjing katolik. Saat aku keluar rumah untuk jangka waktu bebeapa hari, dengan inisiatif sendiri ia mendatangi rumah-rumah umat untuk meminta makanan. Umat pun sudah tahu persis kalau Mara datang itu berarti tuannya lagi keluar kota. Saat telah mendapatkan makan dari tetangga, ia akan segera pulang menjalankan tugasnya sebagai satpam penjaga rumah bagian dalam. Aku senang dengannya, kadang-kadang aku memberinya daging dalam porsi yang banyak.

Satu sifatnya yang sangat aneh adalah saat stok makan dirasa melebihi porsinya, ia pergi menggali tanah dan menimbunnya dalam tanah. Aku sungguh kagum dengannya. Barangkali untuk persediaannya saat aku meninggalkan rumah dalam waktu beberapa hari. Saat aku kembali ke rumah, setelah meninggalkan rumah dalam waktu yang cukup lama, ia pasti menyambutku di depan gerbang dengan lolongan manja. Saat motor Megapro kuparkir di depan pendopo, ia langsung melompat ke arahku dengan lolongan manja sambil mengibas-ngibaskan ekornya dan menggaruk-garukkan kaki depannyaku. Aku menafsirkannya kalau ia meminta ole-ole. Dan seperti kebiasaanku, setiap pulang dari kota Makassar aku selalu menyempatkan diri untuk mampir membeli roti Maros. Saat tiba di rumah roti itu biasanya langsung kubuka dan memberikannya kepada sang satpan setia yang genius itu sebelum berjalan ke dapur untuk menyiapkan makanan untuk kami berdua.


 

Saat malam tiba, ayam-ayamku sudah beristiraha di atas pohon dekat dapur, aku mulai naik ke atas rumahku dan duduk sambil minum kopi dan mengisap satu atau dua batang rokok sambil memetik gitar dan menyanyikan lagu-lagu nostalgia. Aku memang tinggal seorang diri di atas gunung. Rumahku bagai istana kecil di malam hari, saat persediaan bensin cukup untuk penerangan listrik. Kampung kami belum mengenal yang namanya listrik masuk desa. Tetangga-tetanggaku sebagian besar mengandalkan lampu minyak tanah. Karena rumahku berada di atas gunung, maka dari jauh tampak indah di malam hari saat aku menghidupkan generator 1500 watt. Tetapi kalau lagi kehabisan bensin atau karena tidak sempat membelinya di kios, rumahku hanya dihiasi dengan satu nyala balon neon 10 watt dari batterai tenaga surya warisan pendahuluku. Itupun saat matahari pada siang hari sedang bersahabat. Kalau lagi musim hujan atau musim kabut, dan persediaan bensinku terbatas, aku biasanya menyalakan bekas lilin paskah yang banyak tersimpan di gudang samping dapurku.


 

Aku cukup menikmati tinggal di 'istana' di puncak gunung yang dingin ini. Pertama karena aku merasakan sebagai sebuah liburan panjang, dimana pekerjaan harian tidak terlalu menuntut target. Aku menjalaninya saja bagaikan air yang mengalir. Kedua, aku bisa bermenung dan menyatu dengan alam. Ketiga, aku punya kesempatan untuk membaca dan menulis, tanpa diganggu oleh siapa pun, termasuk bunyi hape karena memang di tempat kami ini signal hape belum kami kenal. Keempat, aku bisa berjumpa dengan penuh keakraban dengan Allahku lewat sesame yang kulayani dan lewat doa dan kontemplasi serta Ekaristi suci yang kurayakan dalam salah satu ruangan setiap hari. Ruangan yang kutata sedemikian rupa. Ruangan suci ini biasa kusebut dengan sebutan ruang pertapaan. Awalnya situasi ini kurasakan sebagai situasi sulit dan menyiksa. Tetapi kemudian aku mencoba masuk dan bermain bersamanya, sehingga aku bisa merasakan nikmatnya hidup di atas puncak gunung ini. Apalagi kalau bangun pagi-pagi dan duduk santai di pendopo rumahku sambil minum segelas kopi Toraja Arabica asli buatan kelompok ibu-ibu yang datang setiap hari Sabtu di rumahku untuk mengolah kopi arabika tumbuk, yang kemudian kupasarkan kepada teman-teman yang memesannya. Kadang-kadang aku duduk sampai satu jam di pendopo rumahku pada pagi hari sambil minum kopi dan menikmati pemandangan indah yang terpampang memesona di depanku. Siap menikmati indahnya matahari terbit di balik gunung Bokin, yang tak habis-habisnya aku kagumi. Juga pemandangan indah daerah Pantilang-Bastem-Latuppak, wilayah Palopo, yang pada pagi hari diselumiti dengan kabut putih. Semuanya ini membuatku enggan untuk meninggalkan pendopo di pagi hari. Aku hanya berucap terima kasih Tuhan atas semua yang indah yang Engkau ciptakan. Terima kasih Tuhan atas hidup yang masih Engkau anugerahkan menikmati karya tangan-Mu hari ini. Terima kasih Tuhan atas rahmat-Mu yang Engkau tawarkan kepadaku hari ini, semoga aku mampu menyambutnya dan kemudian membagikannya kepada siapa saja yang aku jumpai dan layani.***

I LOVE TORAJA

CINTA PALSU: I LOVE TORAJA?

By: Y a n s Sulo Paganna', Pr.

(Sebuah permenungan tentang Toraja)


 

Sebuah trend baru cinta daerah yang sekarang kita lihat dan alami adalah munculnya slogan "I LOVE,…. (Toraja: kalau Toraja, Sarira: kalau sarira, Papua: kalau Papua, etc). Baju-baju kaos yang dijajakan oleh pedagan kaki lima di kota Rantepao cukup laris. Pertanyaannya adalah, apakah memang kita paham dan mengerti substansi dari "I LOVE TORAJA" tersebut? Atau tidakkah kita hanya mengikuti slogan atau trend yang hidup dan dihidupi oleh orang lain, sebut saja Bali misalnya, "I Love Bali". Bali dan beberapa daerah lain kalau boleh dikatakan demikian, slogan dengan realita pengungkapannya sungguh-sungguh berjalan seimbang. Lihat saja bagaiman mereka membangun Bali, menjaga adat-istiadat dan budaya leluhur. Budaya gotong royong misalnya, keyakinan dari yang namanya hukum karma, dll. Kendati seluruh dunia mengalir ke Bali, masyarakat asli Bali tetap eksis dan tidak gampang goyang. Mereka sungguh-sungguh bangga menyandang nama Bali, dengan dialek Bali yang khas, "Namma saiyya Madeee. Saiyya darii Ballii,…hahaha". Tetapi seorang Toraja? Baru ucapkan kata "E" saja sudah berusaha sembunyakan identitasnya, sampai-sampai "E" yang harusnya memang diucapkan dengan penekanan tajam dirusak hahaha, misalnya "Peka". Seorang anak Toraja mengucapkannya "Pekaaa" bahkan tidak sedikit ditambahkan lagi ciptaan barunya dengan tambahan "h" di belakang. Lucu sekali, hahaha.


 

Ok, kembali ke topic. I LOVE TORAJA, sebuah frase yang sesungguhnya boleh disejajarkan dengan pernyataan Sukarno-Hatta saat memproklamasikan Indonesia. 'Love', cinta-kasih: Sebuah ungkapan yang seharusnya datang dan keluar dari dalam hati, maka simbolnya "Hati – Jantung merah" (Aku punya penafsiran lain tentang symbol ini, tetapi tidak ingin aku katakana di sini, kecuali dalam bukuku: Mari belajar kebijaksanaan). I Love Toraja, rasa-rasanya sangat kering dan kosong tanpa makna, bahkan terkesan klise dan ikut-ikutan alias KTRR (katuru'-turu' githu hahaha). Bagaimana tidak? Katanya 'cinta Toraja', mana buktinya? Cukupkah dengan menggunakan baju bertuliskan "I LOVE TORAJA"? Hahaha,… tidak ada bedanya dengan seorang turis Belgia yang membeli dan memakainya, atau saya yang membeli baju kaos Joger Bali, hanya luarnya saja dan tidak masuk sampai ke dalam. Barangkali sama dengan seorang yang mengagumi keindahan sebuah kuburan dari jauh sangat indah tetapi di dalamnya berserakan tulang-belulang.


 

Untuk mendalami kata-kata ini, baiklah kiranya kalau anda mencari seorang mahaguru-seorang "filsuf cinta": Gabriel Marcel (1889-1973), seorang tokoh eksistensial Kristen (kendati ia sendiri menolak disebut tokoh eksistensial) yang sangat tersohor, dengan filsafat cintanya. Menurutnya, cinta bukan sekadar perasaan emotif belaka, tetapi merupakan inti kehidupan yang berproses dalam hubungan manusia. Minta maaf aku mencoba mengingatnya lagi, Marcel mengurai tahapan cinta: Pertama ia menyebut tahap "KERELAAN: disponibilite", merupakan sikap kesediaan untuk terbuka, membiarkan orang lain agar masuk dalam hubungan denganku; Kedua "PENERIMAAN: receptivite", sikap inisiatif, memulai aktivitas dalam hubungan dengan mempersilahkan yang lain memasuki duniaku, atau mendengarkan yang lain, meyediakan tempat dalam HATI-ku untuk yang lain; Ketiga "KETERLIBATAN: engagement", sikap ikut ambil bagian dalam keprihatinan yang lain; Keempat "KESETIAAN: fidelite", merupakan sikap total dalam hubungan cinta. Kesetiaan oleh dia dikatakan bukan sebagai sikap ikut-ikutan tanpa pendirian, melainkan kesediaan terlibat bersama dengan segala resiko yang ada.


 

Maka terasa lucu dan konyol kalau membaca tulisan I LOVE TORAJA, sungguh sebuah kata-kata klise tanpa makna. Pertanyaannya, manakah 'ketorajaan' yang sesungguhnya? Sebut satu, dua, tiga, etc: Gotong royong, ulet, ramah, jujur, tahu malu (siri' sola longko'), solider (sipopa'di'), suka menolong (sidikkanan), peduli dengan sesama (siangkaran), etc. Tetapi apa yang terjadi? Perlahan-lahan tetapi pasti toraja sedang berjalan menuju jurang kehilangan identitas ketorajaanya. Budaya siri' dan longko' hampir hilang, budaya tiga s (sipopa'di', sidikkanan, siangkaran) juga hampir menjadi barang langka, gotong royong perlahan diganti dengan budaya 'uang', orang toraja yang dikenal ulet dan jujur juga sudah sulit ditemukan, dan keramahan seorang toraja telah terbang tinggi ke angkasa dan sulit untuk kembali lagi.


 

Lihatlah bahwa hanya dalam beberapa kurun waktu saja identitas ketorajaan di atas perlahan-lahan menguap entah kemana dan digantikan dengan budaya barat atau budaya ciptaan baru.

Masihkah anda dan saya bangga membaca dan memakai baju "I LOVE TORAJA", jangan-jangan anda dan saya adalah salah satu pecundang Toraja. Tetapi kata orang bijak, jangan memadamkan api yang mulai redup, tetapi tambahkanlah minyak ke dalamnya supaya menerangi lebih luas lagi tempat di sekelilingnya. Mari mencintai Toraja dengan memulainya dari diri sendiri membangun ketorajaan kita yang hampir hilang; budaya gotong royong, ulet, ramah, jujur, tahu malu (siri' sola longko'), solider (sipopa'di'), suka menolong (sidikkanan), peduli dengan sesama (siangkaran), etc. Mari bersama belajar tentang arti dan makna kata "Cinta: Love" dari sang filsuf cinta sebelum bersama membangun Toraja, karena anda dan saya sungguh-sungguh mencintai dan bangga terlahir sebagai seorang Toraja***

Minggu, 25 September 2011

Anda seorang sahabat sejatiku?

MARI BERGURU KEBIJAKSANAAN

Dari Kisah Tulangdidi'

By: Yans Sulo Paganna', Pr.


 

Alkisah dari sebuah negeri tanpa nama, dikisahkan kelahiran seorang anak laki-laki mungil yang gagah – penuh misteri, namanya Tulangdidi'. Kelahirannya menggemparkan negeri itu sehingga orang berbondong-bondong, disulut oleh rasa penasaran untuk datang dan melihatnya. Setiap orang yang datang dan melihat rupa si-bayi mungil Tulangdidi' selalu dipenuhi rasa kagum "Wow,… akan jadi apakah anak ini kelak". Ada juga yang berkata dalam hati, "Wow, … betapa bahagianya seorang perempuan yang melahirkannya". Bahkan ada yang berkata, "Wow,… seorang pangeran dari surga telah berkenan datang ke dunia, pastilah akan menjadi berkat besar bagi keluarga dan bangsanya".


 

Entah karena keistimewaan apa yang ada padanya sehingga semua orang yang mendengar berita kelahiran Tulangdidi' serasa dihipnotis oleh rasa ingin tahu untuk datang dan melihatnya. Dan entah karena alasan apa sehingga semua orang yang melihatnya berkomentar dan meramalkan kemenangan yang terkandung di dalam Tulangdidi'.


 

Di sudut lain, berdiri manusia-manusia berotak kotor dan dan jahat sedang dibakar api cemburu dan irihati akan ramalan baik atas bayi mungil Tulangdidi'. Diam-diam, mereka menyusun rencana rahat dan busuk, bagaimana supaya Tulangdidi' dibunuh. Mereka tidak ingin melihat keluarga Tulangdidi' menjadi keluarga yang kaya-raya dan terkenal di kemudian hari.


 

Dengan scenario yang matang dan jitu, segala pujian dan kekaguman yang mereka dengar atas Tulangdidi' mereka sulap menjadi kutuk yang berbuah keresahan dan kekawatiran seluruh bangsa.


 

Mereka mulai menyebarkan gossip yang persis terbalik dengan ramalan positif banyak orang atas Tulangdidi'. Ramalan berkat atas Tulangdidi' diputar menjadi ramalan kutuk.


 

Setiap hari mereka menyebarkan gossip bahwa Tulangdidi' diramalkan banyak orang sebagai sumber kutuk atas keluarga dan bangsa mereka. Dengan scenario yang telah tersusun rapih dan indah di antara mereka, mereka mulai bercerita dari mulut ke mulut, bahwa Tulangdidi' diramalkan banyak orang sebagai sumber kutuk dan bencana apabila dibiarkan hidup. Orang-orang berhati jahat penuh iri itu mulai mengembangkan cerita mereka.


 

"Kalau Tulangdidi' dibiarkan hidup maka kampung mereka akan dilanda penyakit menular yang mematikan, juga kelaparan bertahun-tahun akan terjadi karena akan datang musim kemarau panjang", demikianlah topik pembicaan mereka saat bertemu dengan siapapun di jalan atau di rumah-rumah.


 

Provokasi mereka rupanya menuai sukses besar. Setiap hari ada saja yang datang kepada orang tua Tulangdidi' supaya, Tulangdidi' dibunuh.


 

Bola salju yang digulirkan si tetangga yang iri itu telah berputar begitu cepat mengitari seluruh kampung Tulangdidi', akhirnya waktu yang sangat ditakutkan oleh sang ayah dan ibu Tulangdidi' telah datang. Tua-tua adat dan seluruh masyarakat mengambil kata sepakat untuk mengadakan pertemuan raksasa, yang mereka sebut musyawara raksasa Tulangdidi', karena memang hanya khusus untuk membicarakan nasib hidup-mati Tulangdidi'.


 

Beberapa tetangga Tulangdidi' yang berhati jahat itu berusaha untuk ikut dalam musyawara raksasa Tulangdidi' yang diadakan di tonkonan tua di kampung tersebut. Mereka mengusulkan supaya Tulangdidi' dibunuh saja daripada mendatangkan petaka untuk seluruh kampung.


 

Usul mereka itu kemudian memang menjadi keputusan akhir dalam musyawarah raksasa Tulangdidi hari itu, "Tulangdidi' harus dibunuh oleh orang tuanya demi keselamatan rumpun keluarga dan kampung". Demikian bunyi keputusan dari musyawara tersebut.


 

Mendengar keputusan tersebut, hati kedua orang tua Tulangdidi' menjadi piluh dan hancur, tak sanggup menerima keputusan bersama dalam musyawarah raksasa itu. Tetapi apa mau dikata, itu adalah hasil keputusan bersama seluruh masyarakat dalam kampung Tulangdidi'.


 

Dengan rasa piluh sang ayah Tulangdidi' pulang ke rumah. Mereka tidak kuasa menyampaikan hasil keputusan rapat itu kepada anaknya yang sedang bertumbuh dengan sehat dan sangat taat. Mereka sangat mencintai anak mereka yang sudah mulai tumbuh remaja.


 

Setelah beberapa waktu berselang tua-tua kampung itu datang kepada orang tua Tulangdidi' untuk bertanya mengapa Tulangdidi' belum dibunuh. Sang ayah hanya menjawabnya dengan satu kalimat, "Sabar, akan segera aku jalankan".


 

Rasa sedih yang mendalam dari orang tua Tulangdidi' tidak bisa mereka sembunyikan. Setiap hari ibunya hanya duduk merenung dan kadang-kadang tanpa sadar air matanya terjatuh ke pangkuannya. Hatinya sangat terpukul saat mengenang vonis mati anaknya yang ia cintai. Apalagi kalau membayangkan bagaiman ayahnya sendiri menancapkan tombak pada lambung anaknya. Malam hari saat Tulangdidi' tertidur pulas, sang ibu selalu datang duduk di sampingnya sembari berdoa kalau-kalau sebuah mujizat bisa terjadi. Terkadang saat suaminya datang dan meneguhkannya, bahwa semua ini harus terjadi dan harus mereka terima, ia kembali menangis.


 

"Aku ingin mati rasanya, pa. Aku ingin pergi bersama anak kita, bersama Tulangdidi' . Atau setidak-tidaknya, kalau saja mungkin akulah yang menggantikan nyawanya. Dosa apakah yang telah kita perbuat sehingga semua ini terjadi?", kata ibunya pada kepada suaminya.


 

"Ma, aku juga merasakan hal yang sama, bahkan lebih dari yang mama rasakan. Apalagi saat membayangkan dimana aku harus membunancapkan tombak ke arah lambungnya. Aduh,…. aku seperti seorang penjahat, seperti seorang ayah yang bejat dan sadis. Tetapi aku harus kuat, dan kuharap juga ibu demikian", kata ayah Tulangdidi' sambil memeluk istrinya.


 

Hari berganti hari, rasa sedih dan putus asa pada diri orang tua Tulangdidi' perlahan-lahan berubah menjadi sebuah kekuatan. Serasa ada sebuah kekuatan tersendiri yang melingkupi mereka untuk mampu menerima keputusan musyawara raksasa kampung atas anak mereka yang sangat mereka sayangi.


 

"Pa, sekaranglah saatnya papa menjalankan tugas seperti yang diminta oleh semua penduduk di kampung ini", kata ibunya mendekati suaminya saat sedang menunggu Tulangdidi' pulang ke rumah dari tugas hariannya mengumpulkan kayu bakar dari hutan dekat rumah mereka.


 

"Ma, kita tunggu saja desakan dari tua-tua kampung kita. Khan yang datang selama ini kepada kita adalah orang-orang kampung seperti kita", jawab ayah Tulangdidi'.


 

Sang ayah kemudian mendatangi anaknya dan berkata, "Anakku, hatiku hancur seperti mau mati saja rasanya".


 

"Memang ada apa ayah?", tanya Tulangdidi'.


 

"Sekiranya mungkin, ayah saja yang menerimanya. Dan sekiranya mungkin nyawamu kutukar dengan nyawaku,…"


 

"Ayah, apa maksud ayah?", tanya Tulangdidi' lagi kepada ayahnya yang sedang amat sangat terpukul.


 

"Anakku, dalam musyawarah kampung diputuskan supaya aku membunuhmu karena kalau tidak, katanya kehadiranmu akan menjadi sumber malapetaka untuk kampung kita", kata ayahnya sambil memeluk Tulangdidi' dengan isak tangis yang takterbendung.


 

"Ayah,… ayah tidak usah terlalu sedih. Kalau memang itulah hasil kesepakatan dalam musyawarah, aku rela menerimanya, demi ketentraman kampung kita", kata Tulangdidi' dengan sangat tenang.


 

"Tidaakkk,… akulah yang harus mati".


 

"Tidak ayah, akulah yang menjadi sumber malapetaka, dan bukan ayah. Ayah tidak perlu terlalu bersedih, karena semua itu harus terjadi demi keselamatan kampung kita", kata Tulangdidi' menghibur kepedihan hati ayahnya yang sedang hancur.


 

***


 

Tulangdidi' bersama ayahnya kemudian berjalan menuju hutan. Namun dikisahkan bahwa sebelum berangkat, ibuhnya yang jauh lebih terpukul dari sang ayah memberikan sebutir telur ayam kepada Tulangdidi' sebagai kenangan terakhir darinya. Telur ayam pemberian sang ibu tercintanya itu kemudian disimpannya dengan baik di bawah ketiak Tulangdidi', menjaga jangan sampai telur itu terjatuh. Ia sendiri tidak tahu maksud pemberian ibunya itu, ia sangat menjaganya dengan baik. Ia tidak ingin kenangan terkahir sang ibu tercinta jatuh atau hilang dalam perjalanan. Ibunya tidak memberitahukannya bahwa saat ibunya tertidur, ibunya mendapat sebuah penglihatan supaya saat anaknya akan berangkat ke tempat pembantaian, saat digiring oleh ayahnya sendiri, supaya ia memberinya sebutir telur ayam. Ibunya sendiri tidak tahu dan tidak sempat bertanya dalam mimpi saat ia didatangi sang malaikat pembawa berita itu.


 

Tulangdidi' sesekali bertanya dalam hati, apa maksud dari sebutir telur ayam pemberian ibunya itu. Tetapi lagi-lagi ia tidak mendapatkan jawabannya.


 

Ketika mereka sudah sampai di tengah hutan, sang ayah kemudian bertanya, "Anakku, apakah engkau sudah siap di tempat ini?"


 

"Kalau boleh nanti di seberang sana ayah", kata Tulangdidi' sambil terus bejalan tanpa merasa takut dan gentar sedikit pun.


 

Mereka berjalan lagi. Ayahnya bertanya sekali lagi, "Anakku, apakah engkau sudah siap di sini?"


 

"Ayah, kalau boleh nanti di seberang sana, tempat burung-burung dan binatang hutan, supaya kalau aku mati mereka bisa memakan daging-dagingku sampai habis", jawab Tulangdidi'.


 

Tulangdidi' sudah sedikit hafal tempat itu karena hampir setiap hari ia datang ke tempat itu mencari kayu bakar.


 

Mereka berjalan lagi, dan akhirnya mereka tiba di tempat yang seperti yang dimaksud Tulangdidi'.


 

Di tempat itu Tulangdidi' melihat seekor burung tekukur sedang bertelur . Ia berjalan menuju sarang burung tekukur dan menitipkan telur ayam pemberian ibunya dari rumah, karena detik-detik terakhir hidupnya sudah tiba.


 

"Sahabatku, aku titipkan telur ayam ini untukmu supaya engkau erami. Kelak kalau telur ini menetas, biarlah ia menjadi tanda kehidupanku di dalam hutan ini", katanya sambil meletakkan telur ayam pemberian sang ibu itu di dalam sarang burung tekukur. Ayah Tulangdidi' hanya memperhatikan setiap detik dan gerak anaknya saat melangka ke arah sarang burung tekukur.


 

"Ayah, sekaranglah saatnya. Silahkan ayah menjalankan permintaan seluruh rakyat atas diriku".


 

Dengan detak jantung berdebar-debar, dan wajah yang dibasahi keringat, ayahnya kemudian mengikat kedua tangannya pada sebatang pohon.


 

Sebelum menikamkan tobak pada lambung Tulangdidi', sang ayah sejenak bermohon dalam hati, "Anakku, semoga darahmu menjadi melindungi seluruh negeri kita dan daging-dagingmu menjadi sumber kesuburan tanah kita ini".


 

Tidak dikisahkan bagaimana cerita selanjutnya setelah pembunuhan tersebut. Hanya bahwa beberapa minggu setelah itu, telur ayam yang dibawa oleh Tulangdidi' kemudian menetas dan menjadi ayam jantan merah yang ajaib. Ayam jantan itu bertumbuh dengan karakter manusia, dan bahkan bisa berbicara layaknya manusia.


 

Suatu sore ayam Tulangdidi' itu keluar mencari makan dan tiba di bawah pohon tempat Tulangdidi' dibunuh oleh ayahnya. Ayam Tulangdidi' itu melihat ulat-ulat yang berhamburan serta tulang-belulang Tulangdidi'-sang tuannya. Ayam jantan Tulangdidi' kemudian berkokok, "Kukkuruyuk,… Ulat-ulatnya Tulangdidi' berkumpullah kamu semua. Tulang-tulangnya Tulangdidi' berkumpullah kamu semua. Hai Tulangdidi' – sahabatku, bangunlah kembali,…"


 

Tiba-tiba sebuah adegan ajaib terjadi. Ulat-ulat Tulangdidi' yang telah berkumpul itu kemudian berubah menjadi daging, dan tulang-tulangnya yang berserakan berkumpul dan seperti disulab mengambil posisi masing-masing pada tempatnya semula. Raga Tulangdidi' kemudian sungguh-sungguh bangun seperti permintaan ayam Tulangdidi'. Tulangdidi' bangun dan melihat ayam jantan berwarna merah yang sangat gagah di depannya. Ia kemudian mengambil ayam jantan merahnya dan berterima kasih kepadanya, "Terima kasih sahabtku", katanya kepada ayamnya yang telah membangunkannya kembali.


 

"Sahabat, terima kasih atas jasa baikmu kepadaku. Tetapi sekarang seperti engkau lihat, apa yang akan aku pakai? Apa yang akan aku makan? Dan dimana aku akan tinggal di tengah hutan ini? Karena aku tidak mungkin kembali ke negeriku yang telah membunuhku tetapi telah engkau bangkitkan kembali" kata Tulangdidi' kepada si jago merah yang tampak sangat gagah itu.


 

"Tenang saja sahabatku, aku akan memanggil semua yang engkau butuhkan. Tetapi kalau boleh aku minta satu hal,….", katanya.


 

"Apakah itu sahabatku?" tanya Tulangdidi'.


 

"Aku ingin supaya engkau dan aku menjadi sahabat sejati selamanya", jawab si jago merah sambil mengepak-ngepakkan sayapnya.


 

"Aku berjanji", kata Tulangdidi'.

"Bahkan kalau saja engkau sakit, aku pun akan merasa sakit; kemana pun engkau pergi, akupun akan pergi, dan kelak kalau engkau mati akupun akan mati", sambung Tulangdidi' sambil mengelus-elusnya.


 

Perjanjian persahabatan di antara mereka telah terjadi, maka si jago merah Tulangdidi' langsung memanggil semua yang dibutuhkan sahabatnya. Ia kemudian berkokok, "Kukkuruyuk,…. Pakaian Tulangdidi' datanglah,… Kukkuruyuk,….. Semua makanan dan harta benda datanglah,…. Kukkuruyuk,… Rumah Tongkonan dan lumbung berjejer, jadilah…. Kukkuruyuk,….. Orang-orang yang akan membantu Tulangdidi' datanglah,…. Kukkuruyuk,….. istana Tulangdidi' jadilah". Dan dikisahkan bahwa semuanya terjadi seperti yang diminta oleh ayam Tulangdidi'. Maka dikisahkan bahwa hutan itu berubah menjadi sebuah istana indah dengan pelayan-pelayan yang ramah dan bertanggungjawab, serta makanan yang melimpah. Tulangdidi' bersama sahabatnya, si jago merah hidup didalam istana baru di tengah hutan dan dilayani oleh pelayan-pelayan yang berdedikasi tinggi. Taman firdaus tercipta untuk mereka. Tulangdidi' hidup dengan bahagia.


 

***


 

Dikisahkan bahwa pada suatu sore ibu Tulangdidi' keluar untuk mencari sayur di dekat aliran sungai yang berhulu di hutan tempat istana Tulangdidi'. Ia terkejut melihat ampas padi yang begitu banyak mengapung di atas air dari dalam hutan. Ia menyusuri sungai dan melihat semakin mendekat ke hutan semakin ia menemukan ampas padi itu semakin banyak. Ia berlari pulang ke rumah dan memberitahukannya kepada suaminya, ayah Tulangdidi' atas apa yang dilihatnya. Suaminya kemudian berlari ke pinggir sungai untuk melihat. Dan betul apa yang diceritakan istrinya kepadanya, "A,… pasti ada orang kaya raya di hulu sana yang sedang berpesta. Mari kita pergi melihatnya", kata suaminya.


 

Mereka sepakat untuk menyusuri sungai itu. Akhirnya sampailah mereka ke tengah hutan. Mereka sangat terkejut melihat sebuah istana di tengah hutan itu. Ayah Tulangdidi' masih ingat persis bahwa di tempat itulah ia membunuh anaknya di sebuah pohon yang masih ia kenali. Di sana mereka melihat sebuah pesta besar; bunyi gendang dan penari-penari sedang menari. Ibu-ibu dengan penuh kegirangan sedang menumbuk padi dengan irama yang sangat indah. Ayah Tulangdidi' bersama istrinya semakin mendekat ke arah ibu-ibu yang sedang menumbuk padi.


 

Dengan nada heran ibu Tulangdidi' bertanya kepada para penumbuk padi yang sedang menumbuk padi dengan penuh kegirangan.


 

"Ada acara apa, kokh sepertinya pesta besar?", tanya ibu Tulangdidi' kepada mereka.


 

"Iya ibu, tuan kami Pong Tulangdidi' sudah beberapa hari ini merayakan pesta kelahirannya", jawab seorang ibu sambil terus menumbuk mengikuti irama para penumbuk yang lain, yang kemudian menciptakan irama indah tersendiri.


 

"Apa,… Tulangdidi'?" tanya ayah Tulangdidi' kepada ibu itu sambil melirik istrinya dengan rasa heran.


 

"Iya,… tuan kami – Pong Tulangdidi', mengadakan pesta ulang tahunnya selama satu minggu".


 

Sejenak dalam hati ayah Tulangdidi' mengingat peristiwa beberapa tahun lalu saat tombak menancap persis dijantung Tulangdidi' yang terikat di pohon. Ia melihat ke arah pohon yang ada di samping rumah tongkonan.


 

"Bbbuu,…" katanya sambil menutup mulutnya hampir telanjur mengatakan kata-kata yang selama ini membuatnya sakit.


 

"Kenapa pa, apa memang waktu itu bapak tidak membunuh anak kita" tanya istrinya.


 

"Ah,… aku ingat pohon itu. Iya,… di pohon itulah aku mengikatnya dan menusuk jantungnya dengan tombak, dan aku ingat darah dan air keluar dari lambungnya", jawabnya tanpa kuasa membendung lagi rahasia yang selama ini ia pendam.


 

Dalam kebingungan, tiba-tiba seorang pemuda gagah perskasa dengan kumis yang sangat indah dan rapih dan sorot mata yang sangat lembut datang menghapiri mereka.


 

"Nah,… itu tuan kami, Pong Tulangdidi'" kata seorang ibu yang sedang menumbuk padi.


 

Ayah Tulangdidi' tampak terkejut, dan dalam hati ia meyakini kalau-kalau yang sedang berjalan ke arah mereka sungguh-sungguh Tulangdidi'.


 

Tidak lama Tulangdidi' sudah sampai di depan mereka. Ia langsung menyalami ayah dan ibunya, tetapi ia sendiri belum mau mengatakan siapa dirinya sesungguhnya, kendati dalam hati ia sudah yakin bahwa orang yang ia salami itu adalah ayah dan ibunya sendiri. Ayah dan ibunya juga sangat sungkan untuk bertanya kepadanya, apakah dia sungguh-sungguh Tulangdidi'. Tulangdidi' menghantar orang tuanya ke lumbung terindah di dalam istananya itu. Meraka berjalan di antara para penari yang sedang menari memenuhi halaman istananya.


 

Semua mata memandang ke arah mereka, karena tiba-tiba Tulangdidi' sendiri yang menjemput dan mengantar tamunya itu. Dalam hati semua orang berkata, 'pastilah dua tamu yang tampak sangat sederhana itu bukanlah tamu sembarangan, apalagi mereka didudukkan di lumbung paling terhormat'.


 

"Sahabat-sahabatku, tamu-tamu undangan, dan saudara-saudaraku yang sedang berpesta. Aku minta perhatian sejenak,…" kata Tulangdidik berhenti sejenak, dan tiba-tiba seperti disulap segala bunyi-bunyian dari para penyanyi, penari, penabu gendang dan terompet, serta tamu-tamu yang bercanda tawa, tiba-tiba berhenti. Keheningan di tengah pesta itu tiba-tiba tercipta oleh kata-kata Tulangdidi'.


 

"Aku minta perhatian sejenak. Di tengah-tengah kegembiraan kita hari ini, hadir tamu special dan terhormat buatku dan buat kita sekalian. Mereka adalah yang sedang duduk di atas lumbung kehormatanku, di hadapan kita sekalian", kata Tulangdidi' sambil mengarahkanpandangannya ke arah lumbung terindah di istananya.


 

"Sahabat, tamu undangan, dan saudara-saudaraku, hari ini aku akan memperkenalkan kepada anda sekalian siapa kedua tamu terhormatku ini. Perempuan itu adalah perempuan yang pernah melahirkanku ke dunia, dan laki-laki yang ada di sampingnya adalah laki-laki yang pernah membunuhku di tempat ini, di batang pohon samping rumah tongkonan ini", sambil menunjuk ke arah pohon cendana yang ada di samping rumah tonkonan tengah.


 

"Anda barangkali terkejut, tetapi dengarlah hai kalian semua. Ujung tombak laki-laki itu menembusi jantungku dan mengalirkan darah serta air ke tanah bukan karena kebencian mereka tetapi karena kebencian bangsaku sendiri. Kecemburuanlah yang membuat semua ini terjadi. Aku dilahirkan oleh perempuan yang sedang duduk di lumbung terhormat itu dan diramalkan akan membawa berkat bagi keluarga dan negeriku, tetapi beberapa orang yang mendengar ramalah tersebut kemudian menghendaki supaya aku disingkirkan dengan jalan ditombak oleh laki-laki yang sangat menyayangiku. Laki-laki yang sedang duduk di samping ibuku, dan hari ini ramalan itu telah tergenapi, maka marilah kita berpesta dan bergembira; marilah kita bernyanyi dan bersukaria; marilah kita menari dan bergoyang. Tiuplah seruling dan terompet, tabulah gendang dan gong di dalam istanaku ini. Para penari, menarilah dengan hatimu untuk kami. Para penyanyi, bernyanyilah dengan jiwamu. Para penumbuk padi dengan, bunyikanlah irama yang memesona. Karena hari ini adalah hari yang terindah buatku dan buat kita semua", katanya sambil mengakhiri pengumumannya. Tari-tarian, lagu-lagu, iringan bunyi musik para penumbuk padi dan penabuh gendang secara serempak kembali memecah keheningan di dalam istana Tulandidi'.


 

Selepas pengumuman Tulangdidi', secara spontan tamu-tamu undangannya, sahabat-sahabatnya serta para pelayan-pelayannya datang memberikan hormat dan salam kepada ayah dan ibu Tulangdidi'.


 

Ayah dan ibu Tulangdidi' sangat terharu dan tidak kuasa untuk menahan tangis kegembiraan. Setelah mereka duduk di lumbung, Tulangdidi' tidak kuasa lagi menahan rahasia atas dirinya.


 

"Aaanakkku,….." kata ayahnya terpatah-patah.


 

"Tidak perlu, dilanjutkan ayah. Aku tahu semuanya, ayah dan ibu sangat mencintaiku", kata Tulangdidi' sambil memeluk ayah dan ibunya.


 

Setelah puas melepas rindu satu dengan yang lain, akhirnya Tulangdidi' kembali duduk dan bertanya kepada ayah dan ibunya, "Ayah,… ibu,… dimana saudara-saudaraku? Mengapa mereka tidak datang bersama kalian?"


 

"Kakak-kakakmu dan adik-adikmu ada di rumah", kata ibunya.


 

Dalam kebisingan iringan musik yang indah, Tulangdidi' sedikit menambah volume suaranya, "Aku ingin mereka datang dan tinggal di istanaku ini. Aku ingin kita berkumpul dan hidup bersama di tempat ini. Semua yang aku punyai adalah kepunyaan kalian, pulanglah dan panggilah saudara-saudaraku".


 

***


 

Saat sementara asyik berkisah, melepas rindu yang terpendam bertahun-tahun lamanya, tiba-tiba ayam jantan Tulangdidi' terbang ke arahnya dan melapork bahwa akan meninggalkan istana baru Tulangdidi'.


 

"Aku mau meninggalkanmu, karena hamba-hambamu telah menamparku dengan penampi berasnya. Aku tidak mau lagi tinggal di sini", kata ayam jantannya yang telah membangkitkan Tulangdidi' dari matinya.


 

"Tidak, tidak. Aku tidak akan pernah mau berpisah darimu. Kemanapu engkau pergi aku akan ikut bersamamu. Bukankah kita telah berjanji bersama untuk setia selamanya?"


 

"Iya, aku ingat dan aku tahu bahwa ini terlalu berat bagimu dan bagiku, tetapi aku sangat tidak tahan atas perlakuan para pelayan-pelayan itu. Aku akan terbang ke angkasa, meninggalkan istana ini", kata si jago merah kesayangan Tulangdidi'.


 

Tanpa berpikir panjang Tulangdidi' sekali lagi meminta perhatian para sahabat, tamu undangan, dan para pelayan-pelayan serta para penari yang sedang menghibur semua orang dalam istananya.


 

"Hai dengarkanlah kalian semua,… "


 

Keheningan kembali tercipta dengan kata-kata Tulangdidi'.


 

"Ayam jagoku yang sangat aku sayangi ini baru-baru mendapat perlakuan kasar dari seorang pelayanku. Tetapi seperti anda ketahui, aku tidak pernah membalas kejahatan dengan kejahatan sekalipun terahadap pelayanku sendiri. Ayam jagoku tidak ingin lagi tinggal di dalam istanaku ini atas perlakuan kasar terhadapnya. Aku akan terbang bersamanya ke angkasa. Karena itu, semua yang aku miliki di dalam istana ini, hari ini kuserahkan kepada ayah dan ibuku serta saudara-saudaraku, dan juga kepada bangsaku yang telah membunuhku oleh tombak ayahku sendiri", kata Tulangdidi' sambil berjalan mendekati si jago merah yang sudah siap untuk terbang ke angkasa.


 

Ayam jago Tulangdidi' berkokok sebagai tanda perpisahan, "kukkuruyuk,….. hiduplah dalam kebahagiaan di tengah istana Tulangdidi'".


 

Tulangdidi' kemudian duduk di atas sayap si jago merah dan terbang ke angkasa. ***


 

Bokin,HM Biasa XVI

Yans Sulo Paganna', Pr.