Minggu, 25 September 2011

Anda seorang sahabat sejatiku?

MARI BERGURU KEBIJAKSANAAN

Dari Kisah Tulangdidi'

By: Yans Sulo Paganna', Pr.


 

Alkisah dari sebuah negeri tanpa nama, dikisahkan kelahiran seorang anak laki-laki mungil yang gagah – penuh misteri, namanya Tulangdidi'. Kelahirannya menggemparkan negeri itu sehingga orang berbondong-bondong, disulut oleh rasa penasaran untuk datang dan melihatnya. Setiap orang yang datang dan melihat rupa si-bayi mungil Tulangdidi' selalu dipenuhi rasa kagum "Wow,… akan jadi apakah anak ini kelak". Ada juga yang berkata dalam hati, "Wow, … betapa bahagianya seorang perempuan yang melahirkannya". Bahkan ada yang berkata, "Wow,… seorang pangeran dari surga telah berkenan datang ke dunia, pastilah akan menjadi berkat besar bagi keluarga dan bangsanya".


 

Entah karena keistimewaan apa yang ada padanya sehingga semua orang yang mendengar berita kelahiran Tulangdidi' serasa dihipnotis oleh rasa ingin tahu untuk datang dan melihatnya. Dan entah karena alasan apa sehingga semua orang yang melihatnya berkomentar dan meramalkan kemenangan yang terkandung di dalam Tulangdidi'.


 

Di sudut lain, berdiri manusia-manusia berotak kotor dan dan jahat sedang dibakar api cemburu dan irihati akan ramalan baik atas bayi mungil Tulangdidi'. Diam-diam, mereka menyusun rencana rahat dan busuk, bagaimana supaya Tulangdidi' dibunuh. Mereka tidak ingin melihat keluarga Tulangdidi' menjadi keluarga yang kaya-raya dan terkenal di kemudian hari.


 

Dengan scenario yang matang dan jitu, segala pujian dan kekaguman yang mereka dengar atas Tulangdidi' mereka sulap menjadi kutuk yang berbuah keresahan dan kekawatiran seluruh bangsa.


 

Mereka mulai menyebarkan gossip yang persis terbalik dengan ramalan positif banyak orang atas Tulangdidi'. Ramalan berkat atas Tulangdidi' diputar menjadi ramalan kutuk.


 

Setiap hari mereka menyebarkan gossip bahwa Tulangdidi' diramalkan banyak orang sebagai sumber kutuk atas keluarga dan bangsa mereka. Dengan scenario yang telah tersusun rapih dan indah di antara mereka, mereka mulai bercerita dari mulut ke mulut, bahwa Tulangdidi' diramalkan banyak orang sebagai sumber kutuk dan bencana apabila dibiarkan hidup. Orang-orang berhati jahat penuh iri itu mulai mengembangkan cerita mereka.


 

"Kalau Tulangdidi' dibiarkan hidup maka kampung mereka akan dilanda penyakit menular yang mematikan, juga kelaparan bertahun-tahun akan terjadi karena akan datang musim kemarau panjang", demikianlah topik pembicaan mereka saat bertemu dengan siapapun di jalan atau di rumah-rumah.


 

Provokasi mereka rupanya menuai sukses besar. Setiap hari ada saja yang datang kepada orang tua Tulangdidi' supaya, Tulangdidi' dibunuh.


 

Bola salju yang digulirkan si tetangga yang iri itu telah berputar begitu cepat mengitari seluruh kampung Tulangdidi', akhirnya waktu yang sangat ditakutkan oleh sang ayah dan ibu Tulangdidi' telah datang. Tua-tua adat dan seluruh masyarakat mengambil kata sepakat untuk mengadakan pertemuan raksasa, yang mereka sebut musyawara raksasa Tulangdidi', karena memang hanya khusus untuk membicarakan nasib hidup-mati Tulangdidi'.


 

Beberapa tetangga Tulangdidi' yang berhati jahat itu berusaha untuk ikut dalam musyawara raksasa Tulangdidi' yang diadakan di tonkonan tua di kampung tersebut. Mereka mengusulkan supaya Tulangdidi' dibunuh saja daripada mendatangkan petaka untuk seluruh kampung.


 

Usul mereka itu kemudian memang menjadi keputusan akhir dalam musyawarah raksasa Tulangdidi hari itu, "Tulangdidi' harus dibunuh oleh orang tuanya demi keselamatan rumpun keluarga dan kampung". Demikian bunyi keputusan dari musyawara tersebut.


 

Mendengar keputusan tersebut, hati kedua orang tua Tulangdidi' menjadi piluh dan hancur, tak sanggup menerima keputusan bersama dalam musyawarah raksasa itu. Tetapi apa mau dikata, itu adalah hasil keputusan bersama seluruh masyarakat dalam kampung Tulangdidi'.


 

Dengan rasa piluh sang ayah Tulangdidi' pulang ke rumah. Mereka tidak kuasa menyampaikan hasil keputusan rapat itu kepada anaknya yang sedang bertumbuh dengan sehat dan sangat taat. Mereka sangat mencintai anak mereka yang sudah mulai tumbuh remaja.


 

Setelah beberapa waktu berselang tua-tua kampung itu datang kepada orang tua Tulangdidi' untuk bertanya mengapa Tulangdidi' belum dibunuh. Sang ayah hanya menjawabnya dengan satu kalimat, "Sabar, akan segera aku jalankan".


 

Rasa sedih yang mendalam dari orang tua Tulangdidi' tidak bisa mereka sembunyikan. Setiap hari ibunya hanya duduk merenung dan kadang-kadang tanpa sadar air matanya terjatuh ke pangkuannya. Hatinya sangat terpukul saat mengenang vonis mati anaknya yang ia cintai. Apalagi kalau membayangkan bagaiman ayahnya sendiri menancapkan tombak pada lambung anaknya. Malam hari saat Tulangdidi' tertidur pulas, sang ibu selalu datang duduk di sampingnya sembari berdoa kalau-kalau sebuah mujizat bisa terjadi. Terkadang saat suaminya datang dan meneguhkannya, bahwa semua ini harus terjadi dan harus mereka terima, ia kembali menangis.


 

"Aku ingin mati rasanya, pa. Aku ingin pergi bersama anak kita, bersama Tulangdidi' . Atau setidak-tidaknya, kalau saja mungkin akulah yang menggantikan nyawanya. Dosa apakah yang telah kita perbuat sehingga semua ini terjadi?", kata ibunya pada kepada suaminya.


 

"Ma, aku juga merasakan hal yang sama, bahkan lebih dari yang mama rasakan. Apalagi saat membayangkan dimana aku harus membunancapkan tombak ke arah lambungnya. Aduh,…. aku seperti seorang penjahat, seperti seorang ayah yang bejat dan sadis. Tetapi aku harus kuat, dan kuharap juga ibu demikian", kata ayah Tulangdidi' sambil memeluk istrinya.


 

Hari berganti hari, rasa sedih dan putus asa pada diri orang tua Tulangdidi' perlahan-lahan berubah menjadi sebuah kekuatan. Serasa ada sebuah kekuatan tersendiri yang melingkupi mereka untuk mampu menerima keputusan musyawara raksasa kampung atas anak mereka yang sangat mereka sayangi.


 

"Pa, sekaranglah saatnya papa menjalankan tugas seperti yang diminta oleh semua penduduk di kampung ini", kata ibunya mendekati suaminya saat sedang menunggu Tulangdidi' pulang ke rumah dari tugas hariannya mengumpulkan kayu bakar dari hutan dekat rumah mereka.


 

"Ma, kita tunggu saja desakan dari tua-tua kampung kita. Khan yang datang selama ini kepada kita adalah orang-orang kampung seperti kita", jawab ayah Tulangdidi'.


 

Sang ayah kemudian mendatangi anaknya dan berkata, "Anakku, hatiku hancur seperti mau mati saja rasanya".


 

"Memang ada apa ayah?", tanya Tulangdidi'.


 

"Sekiranya mungkin, ayah saja yang menerimanya. Dan sekiranya mungkin nyawamu kutukar dengan nyawaku,…"


 

"Ayah, apa maksud ayah?", tanya Tulangdidi' lagi kepada ayahnya yang sedang amat sangat terpukul.


 

"Anakku, dalam musyawarah kampung diputuskan supaya aku membunuhmu karena kalau tidak, katanya kehadiranmu akan menjadi sumber malapetaka untuk kampung kita", kata ayahnya sambil memeluk Tulangdidi' dengan isak tangis yang takterbendung.


 

"Ayah,… ayah tidak usah terlalu sedih. Kalau memang itulah hasil kesepakatan dalam musyawarah, aku rela menerimanya, demi ketentraman kampung kita", kata Tulangdidi' dengan sangat tenang.


 

"Tidaakkk,… akulah yang harus mati".


 

"Tidak ayah, akulah yang menjadi sumber malapetaka, dan bukan ayah. Ayah tidak perlu terlalu bersedih, karena semua itu harus terjadi demi keselamatan kampung kita", kata Tulangdidi' menghibur kepedihan hati ayahnya yang sedang hancur.


 

***


 

Tulangdidi' bersama ayahnya kemudian berjalan menuju hutan. Namun dikisahkan bahwa sebelum berangkat, ibuhnya yang jauh lebih terpukul dari sang ayah memberikan sebutir telur ayam kepada Tulangdidi' sebagai kenangan terakhir darinya. Telur ayam pemberian sang ibu tercintanya itu kemudian disimpannya dengan baik di bawah ketiak Tulangdidi', menjaga jangan sampai telur itu terjatuh. Ia sendiri tidak tahu maksud pemberian ibunya itu, ia sangat menjaganya dengan baik. Ia tidak ingin kenangan terkahir sang ibu tercinta jatuh atau hilang dalam perjalanan. Ibunya tidak memberitahukannya bahwa saat ibunya tertidur, ibunya mendapat sebuah penglihatan supaya saat anaknya akan berangkat ke tempat pembantaian, saat digiring oleh ayahnya sendiri, supaya ia memberinya sebutir telur ayam. Ibunya sendiri tidak tahu dan tidak sempat bertanya dalam mimpi saat ia didatangi sang malaikat pembawa berita itu.


 

Tulangdidi' sesekali bertanya dalam hati, apa maksud dari sebutir telur ayam pemberian ibunya itu. Tetapi lagi-lagi ia tidak mendapatkan jawabannya.


 

Ketika mereka sudah sampai di tengah hutan, sang ayah kemudian bertanya, "Anakku, apakah engkau sudah siap di tempat ini?"


 

"Kalau boleh nanti di seberang sana ayah", kata Tulangdidi' sambil terus bejalan tanpa merasa takut dan gentar sedikit pun.


 

Mereka berjalan lagi. Ayahnya bertanya sekali lagi, "Anakku, apakah engkau sudah siap di sini?"


 

"Ayah, kalau boleh nanti di seberang sana, tempat burung-burung dan binatang hutan, supaya kalau aku mati mereka bisa memakan daging-dagingku sampai habis", jawab Tulangdidi'.


 

Tulangdidi' sudah sedikit hafal tempat itu karena hampir setiap hari ia datang ke tempat itu mencari kayu bakar.


 

Mereka berjalan lagi, dan akhirnya mereka tiba di tempat yang seperti yang dimaksud Tulangdidi'.


 

Di tempat itu Tulangdidi' melihat seekor burung tekukur sedang bertelur . Ia berjalan menuju sarang burung tekukur dan menitipkan telur ayam pemberian ibunya dari rumah, karena detik-detik terakhir hidupnya sudah tiba.


 

"Sahabatku, aku titipkan telur ayam ini untukmu supaya engkau erami. Kelak kalau telur ini menetas, biarlah ia menjadi tanda kehidupanku di dalam hutan ini", katanya sambil meletakkan telur ayam pemberian sang ibu itu di dalam sarang burung tekukur. Ayah Tulangdidi' hanya memperhatikan setiap detik dan gerak anaknya saat melangka ke arah sarang burung tekukur.


 

"Ayah, sekaranglah saatnya. Silahkan ayah menjalankan permintaan seluruh rakyat atas diriku".


 

Dengan detak jantung berdebar-debar, dan wajah yang dibasahi keringat, ayahnya kemudian mengikat kedua tangannya pada sebatang pohon.


 

Sebelum menikamkan tobak pada lambung Tulangdidi', sang ayah sejenak bermohon dalam hati, "Anakku, semoga darahmu menjadi melindungi seluruh negeri kita dan daging-dagingmu menjadi sumber kesuburan tanah kita ini".


 

Tidak dikisahkan bagaimana cerita selanjutnya setelah pembunuhan tersebut. Hanya bahwa beberapa minggu setelah itu, telur ayam yang dibawa oleh Tulangdidi' kemudian menetas dan menjadi ayam jantan merah yang ajaib. Ayam jantan itu bertumbuh dengan karakter manusia, dan bahkan bisa berbicara layaknya manusia.


 

Suatu sore ayam Tulangdidi' itu keluar mencari makan dan tiba di bawah pohon tempat Tulangdidi' dibunuh oleh ayahnya. Ayam Tulangdidi' itu melihat ulat-ulat yang berhamburan serta tulang-belulang Tulangdidi'-sang tuannya. Ayam jantan Tulangdidi' kemudian berkokok, "Kukkuruyuk,… Ulat-ulatnya Tulangdidi' berkumpullah kamu semua. Tulang-tulangnya Tulangdidi' berkumpullah kamu semua. Hai Tulangdidi' – sahabatku, bangunlah kembali,…"


 

Tiba-tiba sebuah adegan ajaib terjadi. Ulat-ulat Tulangdidi' yang telah berkumpul itu kemudian berubah menjadi daging, dan tulang-tulangnya yang berserakan berkumpul dan seperti disulab mengambil posisi masing-masing pada tempatnya semula. Raga Tulangdidi' kemudian sungguh-sungguh bangun seperti permintaan ayam Tulangdidi'. Tulangdidi' bangun dan melihat ayam jantan berwarna merah yang sangat gagah di depannya. Ia kemudian mengambil ayam jantan merahnya dan berterima kasih kepadanya, "Terima kasih sahabtku", katanya kepada ayamnya yang telah membangunkannya kembali.


 

"Sahabat, terima kasih atas jasa baikmu kepadaku. Tetapi sekarang seperti engkau lihat, apa yang akan aku pakai? Apa yang akan aku makan? Dan dimana aku akan tinggal di tengah hutan ini? Karena aku tidak mungkin kembali ke negeriku yang telah membunuhku tetapi telah engkau bangkitkan kembali" kata Tulangdidi' kepada si jago merah yang tampak sangat gagah itu.


 

"Tenang saja sahabatku, aku akan memanggil semua yang engkau butuhkan. Tetapi kalau boleh aku minta satu hal,….", katanya.


 

"Apakah itu sahabatku?" tanya Tulangdidi'.


 

"Aku ingin supaya engkau dan aku menjadi sahabat sejati selamanya", jawab si jago merah sambil mengepak-ngepakkan sayapnya.


 

"Aku berjanji", kata Tulangdidi'.

"Bahkan kalau saja engkau sakit, aku pun akan merasa sakit; kemana pun engkau pergi, akupun akan pergi, dan kelak kalau engkau mati akupun akan mati", sambung Tulangdidi' sambil mengelus-elusnya.


 

Perjanjian persahabatan di antara mereka telah terjadi, maka si jago merah Tulangdidi' langsung memanggil semua yang dibutuhkan sahabatnya. Ia kemudian berkokok, "Kukkuruyuk,…. Pakaian Tulangdidi' datanglah,… Kukkuruyuk,….. Semua makanan dan harta benda datanglah,…. Kukkuruyuk,… Rumah Tongkonan dan lumbung berjejer, jadilah…. Kukkuruyuk,….. Orang-orang yang akan membantu Tulangdidi' datanglah,…. Kukkuruyuk,….. istana Tulangdidi' jadilah". Dan dikisahkan bahwa semuanya terjadi seperti yang diminta oleh ayam Tulangdidi'. Maka dikisahkan bahwa hutan itu berubah menjadi sebuah istana indah dengan pelayan-pelayan yang ramah dan bertanggungjawab, serta makanan yang melimpah. Tulangdidi' bersama sahabatnya, si jago merah hidup didalam istana baru di tengah hutan dan dilayani oleh pelayan-pelayan yang berdedikasi tinggi. Taman firdaus tercipta untuk mereka. Tulangdidi' hidup dengan bahagia.


 

***


 

Dikisahkan bahwa pada suatu sore ibu Tulangdidi' keluar untuk mencari sayur di dekat aliran sungai yang berhulu di hutan tempat istana Tulangdidi'. Ia terkejut melihat ampas padi yang begitu banyak mengapung di atas air dari dalam hutan. Ia menyusuri sungai dan melihat semakin mendekat ke hutan semakin ia menemukan ampas padi itu semakin banyak. Ia berlari pulang ke rumah dan memberitahukannya kepada suaminya, ayah Tulangdidi' atas apa yang dilihatnya. Suaminya kemudian berlari ke pinggir sungai untuk melihat. Dan betul apa yang diceritakan istrinya kepadanya, "A,… pasti ada orang kaya raya di hulu sana yang sedang berpesta. Mari kita pergi melihatnya", kata suaminya.


 

Mereka sepakat untuk menyusuri sungai itu. Akhirnya sampailah mereka ke tengah hutan. Mereka sangat terkejut melihat sebuah istana di tengah hutan itu. Ayah Tulangdidi' masih ingat persis bahwa di tempat itulah ia membunuh anaknya di sebuah pohon yang masih ia kenali. Di sana mereka melihat sebuah pesta besar; bunyi gendang dan penari-penari sedang menari. Ibu-ibu dengan penuh kegirangan sedang menumbuk padi dengan irama yang sangat indah. Ayah Tulangdidi' bersama istrinya semakin mendekat ke arah ibu-ibu yang sedang menumbuk padi.


 

Dengan nada heran ibu Tulangdidi' bertanya kepada para penumbuk padi yang sedang menumbuk padi dengan penuh kegirangan.


 

"Ada acara apa, kokh sepertinya pesta besar?", tanya ibu Tulangdidi' kepada mereka.


 

"Iya ibu, tuan kami Pong Tulangdidi' sudah beberapa hari ini merayakan pesta kelahirannya", jawab seorang ibu sambil terus menumbuk mengikuti irama para penumbuk yang lain, yang kemudian menciptakan irama indah tersendiri.


 

"Apa,… Tulangdidi'?" tanya ayah Tulangdidi' kepada ibu itu sambil melirik istrinya dengan rasa heran.


 

"Iya,… tuan kami – Pong Tulangdidi', mengadakan pesta ulang tahunnya selama satu minggu".


 

Sejenak dalam hati ayah Tulangdidi' mengingat peristiwa beberapa tahun lalu saat tombak menancap persis dijantung Tulangdidi' yang terikat di pohon. Ia melihat ke arah pohon yang ada di samping rumah tongkonan.


 

"Bbbuu,…" katanya sambil menutup mulutnya hampir telanjur mengatakan kata-kata yang selama ini membuatnya sakit.


 

"Kenapa pa, apa memang waktu itu bapak tidak membunuh anak kita" tanya istrinya.


 

"Ah,… aku ingat pohon itu. Iya,… di pohon itulah aku mengikatnya dan menusuk jantungnya dengan tombak, dan aku ingat darah dan air keluar dari lambungnya", jawabnya tanpa kuasa membendung lagi rahasia yang selama ini ia pendam.


 

Dalam kebingungan, tiba-tiba seorang pemuda gagah perskasa dengan kumis yang sangat indah dan rapih dan sorot mata yang sangat lembut datang menghapiri mereka.


 

"Nah,… itu tuan kami, Pong Tulangdidi'" kata seorang ibu yang sedang menumbuk padi.


 

Ayah Tulangdidi' tampak terkejut, dan dalam hati ia meyakini kalau-kalau yang sedang berjalan ke arah mereka sungguh-sungguh Tulangdidi'.


 

Tidak lama Tulangdidi' sudah sampai di depan mereka. Ia langsung menyalami ayah dan ibunya, tetapi ia sendiri belum mau mengatakan siapa dirinya sesungguhnya, kendati dalam hati ia sudah yakin bahwa orang yang ia salami itu adalah ayah dan ibunya sendiri. Ayah dan ibunya juga sangat sungkan untuk bertanya kepadanya, apakah dia sungguh-sungguh Tulangdidi'. Tulangdidi' menghantar orang tuanya ke lumbung terindah di dalam istananya itu. Meraka berjalan di antara para penari yang sedang menari memenuhi halaman istananya.


 

Semua mata memandang ke arah mereka, karena tiba-tiba Tulangdidi' sendiri yang menjemput dan mengantar tamunya itu. Dalam hati semua orang berkata, 'pastilah dua tamu yang tampak sangat sederhana itu bukanlah tamu sembarangan, apalagi mereka didudukkan di lumbung paling terhormat'.


 

"Sahabat-sahabatku, tamu-tamu undangan, dan saudara-saudaraku yang sedang berpesta. Aku minta perhatian sejenak,…" kata Tulangdidik berhenti sejenak, dan tiba-tiba seperti disulap segala bunyi-bunyian dari para penyanyi, penari, penabu gendang dan terompet, serta tamu-tamu yang bercanda tawa, tiba-tiba berhenti. Keheningan di tengah pesta itu tiba-tiba tercipta oleh kata-kata Tulangdidi'.


 

"Aku minta perhatian sejenak. Di tengah-tengah kegembiraan kita hari ini, hadir tamu special dan terhormat buatku dan buat kita sekalian. Mereka adalah yang sedang duduk di atas lumbung kehormatanku, di hadapan kita sekalian", kata Tulangdidi' sambil mengarahkanpandangannya ke arah lumbung terindah di istananya.


 

"Sahabat, tamu undangan, dan saudara-saudaraku, hari ini aku akan memperkenalkan kepada anda sekalian siapa kedua tamu terhormatku ini. Perempuan itu adalah perempuan yang pernah melahirkanku ke dunia, dan laki-laki yang ada di sampingnya adalah laki-laki yang pernah membunuhku di tempat ini, di batang pohon samping rumah tongkonan ini", sambil menunjuk ke arah pohon cendana yang ada di samping rumah tonkonan tengah.


 

"Anda barangkali terkejut, tetapi dengarlah hai kalian semua. Ujung tombak laki-laki itu menembusi jantungku dan mengalirkan darah serta air ke tanah bukan karena kebencian mereka tetapi karena kebencian bangsaku sendiri. Kecemburuanlah yang membuat semua ini terjadi. Aku dilahirkan oleh perempuan yang sedang duduk di lumbung terhormat itu dan diramalkan akan membawa berkat bagi keluarga dan negeriku, tetapi beberapa orang yang mendengar ramalah tersebut kemudian menghendaki supaya aku disingkirkan dengan jalan ditombak oleh laki-laki yang sangat menyayangiku. Laki-laki yang sedang duduk di samping ibuku, dan hari ini ramalan itu telah tergenapi, maka marilah kita berpesta dan bergembira; marilah kita bernyanyi dan bersukaria; marilah kita menari dan bergoyang. Tiuplah seruling dan terompet, tabulah gendang dan gong di dalam istanaku ini. Para penari, menarilah dengan hatimu untuk kami. Para penyanyi, bernyanyilah dengan jiwamu. Para penumbuk padi dengan, bunyikanlah irama yang memesona. Karena hari ini adalah hari yang terindah buatku dan buat kita semua", katanya sambil mengakhiri pengumumannya. Tari-tarian, lagu-lagu, iringan bunyi musik para penumbuk padi dan penabuh gendang secara serempak kembali memecah keheningan di dalam istana Tulandidi'.


 

Selepas pengumuman Tulangdidi', secara spontan tamu-tamu undangannya, sahabat-sahabatnya serta para pelayan-pelayannya datang memberikan hormat dan salam kepada ayah dan ibu Tulangdidi'.


 

Ayah dan ibu Tulangdidi' sangat terharu dan tidak kuasa untuk menahan tangis kegembiraan. Setelah mereka duduk di lumbung, Tulangdidi' tidak kuasa lagi menahan rahasia atas dirinya.


 

"Aaanakkku,….." kata ayahnya terpatah-patah.


 

"Tidak perlu, dilanjutkan ayah. Aku tahu semuanya, ayah dan ibu sangat mencintaiku", kata Tulangdidi' sambil memeluk ayah dan ibunya.


 

Setelah puas melepas rindu satu dengan yang lain, akhirnya Tulangdidi' kembali duduk dan bertanya kepada ayah dan ibunya, "Ayah,… ibu,… dimana saudara-saudaraku? Mengapa mereka tidak datang bersama kalian?"


 

"Kakak-kakakmu dan adik-adikmu ada di rumah", kata ibunya.


 

Dalam kebisingan iringan musik yang indah, Tulangdidi' sedikit menambah volume suaranya, "Aku ingin mereka datang dan tinggal di istanaku ini. Aku ingin kita berkumpul dan hidup bersama di tempat ini. Semua yang aku punyai adalah kepunyaan kalian, pulanglah dan panggilah saudara-saudaraku".


 

***


 

Saat sementara asyik berkisah, melepas rindu yang terpendam bertahun-tahun lamanya, tiba-tiba ayam jantan Tulangdidi' terbang ke arahnya dan melapork bahwa akan meninggalkan istana baru Tulangdidi'.


 

"Aku mau meninggalkanmu, karena hamba-hambamu telah menamparku dengan penampi berasnya. Aku tidak mau lagi tinggal di sini", kata ayam jantannya yang telah membangkitkan Tulangdidi' dari matinya.


 

"Tidak, tidak. Aku tidak akan pernah mau berpisah darimu. Kemanapu engkau pergi aku akan ikut bersamamu. Bukankah kita telah berjanji bersama untuk setia selamanya?"


 

"Iya, aku ingat dan aku tahu bahwa ini terlalu berat bagimu dan bagiku, tetapi aku sangat tidak tahan atas perlakuan para pelayan-pelayan itu. Aku akan terbang ke angkasa, meninggalkan istana ini", kata si jago merah kesayangan Tulangdidi'.


 

Tanpa berpikir panjang Tulangdidi' sekali lagi meminta perhatian para sahabat, tamu undangan, dan para pelayan-pelayan serta para penari yang sedang menghibur semua orang dalam istananya.


 

"Hai dengarkanlah kalian semua,… "


 

Keheningan kembali tercipta dengan kata-kata Tulangdidi'.


 

"Ayam jagoku yang sangat aku sayangi ini baru-baru mendapat perlakuan kasar dari seorang pelayanku. Tetapi seperti anda ketahui, aku tidak pernah membalas kejahatan dengan kejahatan sekalipun terahadap pelayanku sendiri. Ayam jagoku tidak ingin lagi tinggal di dalam istanaku ini atas perlakuan kasar terhadapnya. Aku akan terbang bersamanya ke angkasa. Karena itu, semua yang aku miliki di dalam istana ini, hari ini kuserahkan kepada ayah dan ibuku serta saudara-saudaraku, dan juga kepada bangsaku yang telah membunuhku oleh tombak ayahku sendiri", kata Tulangdidi' sambil berjalan mendekati si jago merah yang sudah siap untuk terbang ke angkasa.


 

Ayam jago Tulangdidi' berkokok sebagai tanda perpisahan, "kukkuruyuk,….. hiduplah dalam kebahagiaan di tengah istana Tulangdidi'".


 

Tulangdidi' kemudian duduk di atas sayap si jago merah dan terbang ke angkasa. ***


 

Bokin,HM Biasa XVI

Yans Sulo Paganna', Pr.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar