Ayo, Mari Mampir ke Petapaanku
Pastikan Anda Pulang Lebih Bahagia daripada Saat Anda Datang ke Tempat ini.
(Remah-remah dari Pertapaan Bokin)
Sudah setahun lebih ini aku tinggal di atas puncak gunung seorang diri, bagaikan seorang pertapa. Rumahku terpisah sedikit jauh dari tetangga, sekitar 100m di bawah lembah. Aku menghabiskah hari-hariku saat sedang tidak mengadakan kunjungan ke pedalamannya pedalaman dengan membaca dan berdoa. Sesekali aku bekerja mengurus kebersihan rumah dan berkebun. Halaman rumahku cukup luas, jadi kadang-kadang saat rumput mulai tampak mengganggu pemandanganku, kubunyikan mesin pemotong rumput untuk merapikannya kembali. Kebun di depan dan samping rumahku juga cukup luas, tetapi aku tidak begitu hobby berkebun, jadi hanya beberapa meter saja yang kuolah menjadi kebun sayur dan lombok, selebihnya kubiarkan ditumbuhi rumput-rumput liar. Kalau rumput-rumput itu terasa mengganggu lagi keindahan lereng depan rumahku, maka aku juga kadang terjun dengan pakaian lengkap layaknya seorang cleaning servis kota memikul mesin pemotong rumput dan membabat pohon-pohon dengan parang toraja yang kubeli khusus untuk memangkas pohon-pohon di sekitar rumahku.
Karena rumahku terpisah jauh dari tetangga di atas gunung, maka aku bebas memelihara ayam kampung. Jumlahnya lumayan banyak untuk ukuran orang kampung. Setiap pagi dan sore aku suka membuangkan makanan sisa atau jagung kepada mereka. Kubuatkan tiga kandang cantik dari papan pinus dan atap carpet. Kandangnya cukup cantik dan indah. Tidak banyak yang masuk dalam kandang pada malam hari. Kebanyakan bertengger di atas pohon mangga dan pohon advokat yang tumbuh di samping dapurku. Ayam-ayamku dengan bebas mencari makan di sekitar rumahku setiap hari. Dari ayam-ayam ini aku belajar sebuah cara hidup yang sangat berharga, yakni disiplin yang tinggi. Tidak ada dari ayam-ayam ini yang terlambat turun dari pohon saat matahari di sebelah gunung depan rumahku mulai muncul. Mereka semua sudah siap berjuang saat mentari pagi menyapa bumi. Hanya satu yang sering mengganggu mereka saat mencari makanan di kebunku, yakni biawak yang sangat cerdik. Binatang ini sangat pintar. Mereka punya tempat persembunyian di balik pondasi depan pendopo rumahku. Mereka hanya sesekali muncul untuk berjemur diri dan atau mengincar mangsa. Itupun saat tahu bahwa aku tidak sedang di tempat. Rupanya ada satu yang sempat tertibu, menyangka bahwa aku lagi tidak di tempat. Ia mencoba untuk keluar mengejar mangsa. Sasarannya adalah anak ayamku yang baru berumur tiga minggu. Saat melihat ulah mereka, spontan saja aku berjalan mengambil senapan yang kugantung di dinding ruang kerjaku. Dengan langkah ektra hati-hati, aku berjalan mengendap-ngendap mengambil posisi yang baik untuk menembaknya. Kupompa senapan itu sampai hitungan delapan, padahal biasanya hanya lima atau enam kali. Sengaja kupompa demikian karena tahu bahwa musuh cukup bandel dan kuat. Ia sempat menyadari kehadiranku, tetapi rupanya ia tertipu. Ia menyangka bahwa aku hanya melihatnya saja, padahal tembakan sudah siap kulepaskan. Aku tidak memberinya kesempatan untuk menyadarinya bahwa aku sedang mengincar nyawahnya. "Plaaakkk". Sasaranku tepat pada mata biawak nakal itu. Ia tersungkur. Aku berlari ke arahnya dan rupanya hanya pingsan. Kuselesaikan tugasku dengan mengambil ranting bambu yang tertancap di kebun itu, dan kupukulkan dua kali persis di kepalanya. Sungguh sebuah tembakan jitu layaknya sang sniper professional kelas dunia. Dalam keadaan hampir mati, aku memohon maaf kepadanya, "Minta maaf sahabatku, engkau cukup nakal dengan ayam-ayamku maka aku terpaksa melakukannya", kataku kepadanya saat mengangkatnya dan menguburnya persis di tempat ia tertembak.
Aku mencoba bersahabat dengan alam, kecuali yang tiadak menghendakinya atau kurasa menggangguku. Beberapa bulung elang bertengger di dekat rumahku. Aku membiarkannya untuk terbang di atas halaman rumahku. Mereka cukup bersahabat. Belum pernah menganggu ayam-ayamku. Aku suka mendengar bunyinya pada siang hari saat terbang dan bermain-main di atas rumahku, seolah-olah sengaja memperdengarkan bunyinya yang indah kepadaku.
Satu yang kusesalkan dalam kebersamaanku dengan alam di atas gunung ini adalah tragedy hilangnya siular hitam yang kupelihara di depan gerbang rumahku. Terakhir aku mendengarnya bahwa Scoci, demikian aku memanggilnya itu dibunuh orang yang dekat jalan raya saat sedang melintas. Scoci ini sebetulnya binatang yang baik. Ia juga cukup bersahabat. Saat ada tamu tak diundang memasuki halaman rumahku, kadang-kadang dialah yang pertama menyapanya, atau sekedar mengirim informasi kepadaku dengan teriakan terkejut sang tamu, "Ooe,… bendok e ula' iyanna". Demikian kadang-kadang aku mendengar tamu berteriak dari depan gerbang. Aku hanya tersenyum mendengar teriakan sang tamu tersebut. Kehadiran Scoci ini juga membuat kompleks rumahku aman dari keusilan anak-anak sekolah yang konon katanya sebelum kedatanganku sering masuk dan bermain-main di halaman rumahku. Sejak kehadiran Scoci yang sering membuat mereka lari terbirit-birit anak-anak usil itu tidak pernah lagi datang untuk bermain-main saat aku tidak di rumah. Urusan satpam depan rumahku diurus oleh Scoci dan bagian dalam kompleks rumahku diurus oleh Mara, seekor anjing dobermen yang tergolong genius.
Di antara dua satpamku ini seolah sudah terjadi pembagian tugas yang jelas; bagian depan urusan Scoci dan bagian dalam tanggungjawab si Mara. Marah, si satpam genius ini mengenal baik semua anggota dan tamu yang sering datang ke rumahku. Saat ia memberi kode, aku sudah bisa menduga bahwa tamu yang datang itu adalah tamu yang asing. Ia tidak akan membiarkan tamu yang asing merapat ke pendopo depan rumahku saat aku belum memintanya untuk diam. Kalau tamu itu nekad, maka ia akan menerjangnya. Ia dikenal oleh seluruh kampung dengan nama anjing katolik. Saat aku keluar rumah untuk jangka waktu bebeapa hari, dengan inisiatif sendiri ia mendatangi rumah-rumah umat untuk meminta makanan. Umat pun sudah tahu persis kalau Mara datang itu berarti tuannya lagi keluar kota. Saat telah mendapatkan makan dari tetangga, ia akan segera pulang menjalankan tugasnya sebagai satpam penjaga rumah bagian dalam. Aku senang dengannya, kadang-kadang aku memberinya daging dalam porsi yang banyak.
Satu sifatnya yang sangat aneh adalah saat stok makan dirasa melebihi porsinya, ia pergi menggali tanah dan menimbunnya dalam tanah. Aku sungguh kagum dengannya. Barangkali untuk persediaannya saat aku meninggalkan rumah dalam waktu beberapa hari. Saat aku kembali ke rumah, setelah meninggalkan rumah dalam waktu yang cukup lama, ia pasti menyambutku di depan gerbang dengan lolongan manja. Saat motor Megapro kuparkir di depan pendopo, ia langsung melompat ke arahku dengan lolongan manja sambil mengibas-ngibaskan ekornya dan menggaruk-garukkan kaki depannyaku. Aku menafsirkannya kalau ia meminta ole-ole. Dan seperti kebiasaanku, setiap pulang dari kota Makassar aku selalu menyempatkan diri untuk mampir membeli roti Maros. Saat tiba di rumah roti itu biasanya langsung kubuka dan memberikannya kepada sang satpan setia yang genius itu sebelum berjalan ke dapur untuk menyiapkan makanan untuk kami berdua.
Saat malam tiba, ayam-ayamku sudah beristiraha di atas pohon dekat dapur, aku mulai naik ke atas rumahku dan duduk sambil minum kopi dan mengisap satu atau dua batang rokok sambil memetik gitar dan menyanyikan lagu-lagu nostalgia. Aku memang tinggal seorang diri di atas gunung. Rumahku bagai istana kecil di malam hari, saat persediaan bensin cukup untuk penerangan listrik. Kampung kami belum mengenal yang namanya listrik masuk desa. Tetangga-tetanggaku sebagian besar mengandalkan lampu minyak tanah. Karena rumahku berada di atas gunung, maka dari jauh tampak indah di malam hari saat aku menghidupkan generator 1500 watt. Tetapi kalau lagi kehabisan bensin atau karena tidak sempat membelinya di kios, rumahku hanya dihiasi dengan satu nyala balon neon 10 watt dari batterai tenaga surya warisan pendahuluku. Itupun saat matahari pada siang hari sedang bersahabat. Kalau lagi musim hujan atau musim kabut, dan persediaan bensinku terbatas, aku biasanya menyalakan bekas lilin paskah yang banyak tersimpan di gudang samping dapurku.
Aku cukup menikmati tinggal di 'istana' di puncak gunung yang dingin ini. Pertama karena aku merasakan sebagai sebuah liburan panjang, dimana pekerjaan harian tidak terlalu menuntut target. Aku menjalaninya saja bagaikan air yang mengalir. Kedua, aku bisa bermenung dan menyatu dengan alam. Ketiga, aku punya kesempatan untuk membaca dan menulis, tanpa diganggu oleh siapa pun, termasuk bunyi hape karena memang di tempat kami ini signal hape belum kami kenal. Keempat, aku bisa berjumpa dengan penuh keakraban dengan Allahku lewat sesame yang kulayani dan lewat doa dan kontemplasi serta Ekaristi suci yang kurayakan dalam salah satu ruangan setiap hari. Ruangan yang kutata sedemikian rupa. Ruangan suci ini biasa kusebut dengan sebutan ruang pertapaan. Awalnya situasi ini kurasakan sebagai situasi sulit dan menyiksa. Tetapi kemudian aku mencoba masuk dan bermain bersamanya, sehingga aku bisa merasakan nikmatnya hidup di atas puncak gunung ini. Apalagi kalau bangun pagi-pagi dan duduk santai di pendopo rumahku sambil minum segelas kopi Toraja Arabica asli buatan kelompok ibu-ibu yang datang setiap hari Sabtu di rumahku untuk mengolah kopi arabika tumbuk, yang kemudian kupasarkan kepada teman-teman yang memesannya. Kadang-kadang aku duduk sampai satu jam di pendopo rumahku pada pagi hari sambil minum kopi dan menikmati pemandangan indah yang terpampang memesona di depanku. Siap menikmati indahnya matahari terbit di balik gunung Bokin, yang tak habis-habisnya aku kagumi. Juga pemandangan indah daerah Pantilang-Bastem-Latuppak, wilayah Palopo, yang pada pagi hari diselumiti dengan kabut putih. Semuanya ini membuatku enggan untuk meninggalkan pendopo di pagi hari. Aku hanya berucap terima kasih Tuhan atas semua yang indah yang Engkau ciptakan. Terima kasih Tuhan atas hidup yang masih Engkau anugerahkan menikmati karya tangan-Mu hari ini. Terima kasih Tuhan atas rahmat-Mu yang Engkau tawarkan kepadaku hari ini, semoga aku mampu menyambutnya dan kemudian membagikannya kepada siapa saja yang aku jumpai dan layani.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar