Jumat, 23 September 2011

E,… komu, manasumoraka?

MANASUMORAKA? UMBAMIRA -KOPI-?

(Mari bermain kata-kata: by Yans Sulo Paganna', Pr.)


 

Orang toraja mempunyai sapaan yang sangat akrab dan hangat penuh kekeluagaan setiap kali lewat di depan rumah dan melihat ada orang di rumah yang ia lewati atau saat bertamu ke rumah seseorang, yakni kata "Manasumoraka?", sebuah sapaan yang penuh arti. Kata 'manasumoraka?', secara filosopis-antropologis-sosiologis boleh dikatakan sarat makna. Manasumoraka? Coba anda sejenak bermenung? Kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, kata ini lalu terasa tidak berarti apa-apa, "Apakah sudah masak?". Terkesan bahwa ingin tahu urusan orang lain, gila urusan, yang bernada tidak sopan untuk orang modern. Tetapi ketika ditempatkan dalam konteks toraja, maka kata ini menjadi kata yang sangat sakti. Bagaimana tidak? Apa dan bagaimanapun kejadian dalam sebuah rumah, saat mendengar ada tamu yang lewat apalagi datang dengan ucapan 'manasumoraka?', serasa situasi disulap menjadi situasi yang tentram dan damai, kendati pada saat itu tuan rumah lagi bertengkar. Kata ini serasa mantra yang mampu mengubah situasi yang panas menjadi dingin-dan-damai, karena tuan rumah akan langsung berkat, "Oei,… manasumo. Talendu'opa, atau tarru'ki mai."

Ayok kita bermain kata-kata. "Manasumoraka?" kalau dicoba direnungkan, kata ini tidak salah kalau diletakkan dalam tanda petik sebagai kata sakti, yang mengandung arti yang sangat dalam. Manasu (sudah masak), dari kata ma'nasu (masak). Apa yang sudah dimasak (manasu)? Dan apa yang di-masak (dinasu)?. Kira-kira inilah yang menjadi subsansi kata "Manasumoraka?"

Apa yang sudah (di) masak (manasu)? Dan kita semua setuju dan tahu bahwa yang ditanyakan oleh sang tamu adalah makanan dalam arti sesungguhnya. Tetapi terutama keadaan-kesehatan-keakraban-kehangatan-dan cinta yang ada; baik di dalam rumah itu sendiri maupun terhada tuan rumah dan sang tamu yang lewat atau datang. Karena manakala hubungan di antara tuan rumah dengan tamu yang lewat di depan rumah itu tidak dalam keadaan baik, maka kata ini tidak akan diucapkan.

"Manasumoraka?", boleh dikatakan secara lain bahwa apakah cinta-damai-kearaban-kesehatan-rejeki sudah dimasak (dinasu) dalam hati-mu, dan telah siap untuk dihidangkan (dibagikan) kepada yang lain (teristimewa kepada yang sedang menyapa).

Mari bermenung lebih dalam lagi. 'Manasu' (sudah matang-sudah masak), merukan sesuatu yang telah siap untuk dihidangkan, dimakan, dikonsumsi, dari kata kerja "ma'nasu" (memasak). Memasak, merupakan sebuah kegiatan mempersiapkan makanan untuk dimakan. Dalam kegiatan ini banyak unsur yang dibutuhkan supaya apa yang dimasak (dinasu) itu siap disajikan dan terlebih enak untuk dimakan. Unsur-unsur itu kita sebut materianya; misalnya (saya ambil salah satu –iya salah satu saja contoh apa yang biasa dimasak) memasak nasi dibutuhkan, B E R A S (yang diolah mulai dari mempersiapkan pesemaian, menabur beni, memupuk beni, mempersiapkan lahan penanaman, menanam, mengairi, memupuk, membersihkan, menuai, menjemur, mengumpulkan, membawa pulang ke rumah, menyimpannya dalam lumbung, mengambilnya kembali, menjemur lagi, menumbuk, membersihkan lagi, dan jadilah beras), A I R, kayu bakar-sebagai sumber 'A P I', belanga, tunku api. Jadi melewati proses yang sangat panjang. Dan tentu saja didalam proses ini membutuhkan sebuah kesabaran, ketekunan, dan kerja keras. Dan selama proses persiapan material di atas sesungguhnya merupakan proses hidup dari hari ke hari.

Unsur-unsur material ini juga mengandung symbol masing-masing: beras (baca: padi) sebagai bahan dasar dikumpulkan dari sawah melewati proses yang panjang. Beras yang oleh nenek moyang kita dianggap sebagai saudara manusia (sama-sama lahir dari sauan sibarrung-suling padadua) yang harus dihargai. Karena itu orang tua kita dulu sangat pantang memarahi anaknya atau sangat marah kalau ada yang sedang makan lalu bertengkar. Beras turun dari langit "dikua umpokakai, tonna manda'pa lan baka disura' takkebuku nenekna pare tallu bulinna, tonna bintinpa lan tumballan dianggilo todolo kapuangnna ke'te' tallu etengna, anna mak' kada kumua mapussangna aku lan baka disura'-makamu'na aku lan tumballan dianggilo, …..etc….. lamale'na aku rokko randanna limbong angku sitarana' lombu masakka', lasonglo'na aku rokko tetu'na minanga angku sisaladan tana madarinding. Anna,……etc….. anna pobayu' saelakona' sangpa'duananku tau mata,…etc.) Beras (padi) yang telah memberikan dirinya secara sukarela kepada manusia merupakan sumber kekuatan untuk hidup, ini dimasak dalam bejana tanah liat (masa lalu) dengan menggunakan air. Dan waktu itu masih dikenal namanya "manti'di'ki". Beras dalam bejana tanah liat, seperti sebuah proses pengeraman "mangngarran" dengan pemanasan api, dengan bejana tanah liat sebagai rahimnya. Beras 'dierami' di atas tungku dan kemudian akan "menetas"kan kehidupan : bo'bo' (makanan). Bo'bo' (nasi) ini, yang telah 'dierami' mengandung hidup, dan 'hidupnya' untuk "sangpa'duannanna=saudaranya" torro tolino (manusia). Sungguh memesona bukan?

Tetapi kisah belum berakhir. Beras yang 'dierami' di dalam rahim (kurin tanah), tidak bisa 'menetas' mendai bo'bo' (menjadi nasi) tanpa air dan api. Dan seperti anda dan saya tahu, sifat air berlawanan dengan sifat api. Air memadamkan dan api membakar. Tetapi dalam hal proses 'pengeraman' beras menjadi bo'bo' (nasi) ini kedua sifat itu dipadukan. Maka muncul sinergi antara ketiga unsure di atas. Air, seperti dalam rahim menjadi sumber hidup bagi sang janin. Dalam airlah bertumbuh kehidupan tersebut. Maka ketika beras dianggap telah matang, air itu dikeluarkan (diti'dikki). Bayangkanlah seorang ibu yang sedang hamil tua dan akan melahirkan. Saat seorang ibu akan melahirkan air ketuban tumpah (keluar). Prosesnya belum selesai. Api yang membakar kemudian dikurangi dan perlahan-lahan mati. Dengan demikian tugasnya selesai. Air dan api telah menjalankan tugasnya dan perannya dalam sebuah proses melahirkan 'sumber hidup' yakni bo'bo' (nasi). Sehingga tiga unsure ini menghasilkan sebuah kontemplasi takterbatas yang mengagumkan: Air datangnya dari tanah, api dari bumi, dan beras atau padi dari langit.

Dengan demikian, maka tiga unsur dari tiga tempat (tanah, bumi, dan langit) menyatu dalam satu kata "Manasumoraka?" Dalam bahasa yang sederhana dikatakan, "Apakah kehidupan sudah siap untuk disajikan atau dibagikan?" Dan selalu jawabannya adalah "Iya, mari mampir: iyo talendu'opa". Sebuah undangan penuh keramahan untuk berbagi kehidupan.

Jadi kalau kita mendengar kata "Manasumoraka?", yang ada di benak kita adalah sebuah proses hidup. Dan lebih tepatnya diterjemahkan, "Apakah proses hidup dan cinta dalam keadaan baik, dan siap untuk dibagikan kepada yang lain?". Itulah arti dari ungkapan "Manasumoraka?" (Hahaha tentu saja menurut versi penulis).

Pertanyaan selanjutnya khusus bagi tamu yang mampir adalah, "Na umbara tu kopi?" Pertanyaan ini lebih sederhana daripada pertanyaan atau kata "Manasumoraka?" Dan biasanya setelah tamu yang mampir dan duduk, tidak lama setelah itu muncul kopi. Okey-baik, kali berikut aku hadir mempersembahkan filosofi kopi toraja,……. (Bokin-Toraja Utara: Yans Sulo Paganna', Pr.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar