Senin, 26 September 2011

I LOVE TORAJA

CINTA PALSU: I LOVE TORAJA?

By: Y a n s Sulo Paganna', Pr.

(Sebuah permenungan tentang Toraja)


 

Sebuah trend baru cinta daerah yang sekarang kita lihat dan alami adalah munculnya slogan "I LOVE,…. (Toraja: kalau Toraja, Sarira: kalau sarira, Papua: kalau Papua, etc). Baju-baju kaos yang dijajakan oleh pedagan kaki lima di kota Rantepao cukup laris. Pertanyaannya adalah, apakah memang kita paham dan mengerti substansi dari "I LOVE TORAJA" tersebut? Atau tidakkah kita hanya mengikuti slogan atau trend yang hidup dan dihidupi oleh orang lain, sebut saja Bali misalnya, "I Love Bali". Bali dan beberapa daerah lain kalau boleh dikatakan demikian, slogan dengan realita pengungkapannya sungguh-sungguh berjalan seimbang. Lihat saja bagaiman mereka membangun Bali, menjaga adat-istiadat dan budaya leluhur. Budaya gotong royong misalnya, keyakinan dari yang namanya hukum karma, dll. Kendati seluruh dunia mengalir ke Bali, masyarakat asli Bali tetap eksis dan tidak gampang goyang. Mereka sungguh-sungguh bangga menyandang nama Bali, dengan dialek Bali yang khas, "Namma saiyya Madeee. Saiyya darii Ballii,…hahaha". Tetapi seorang Toraja? Baru ucapkan kata "E" saja sudah berusaha sembunyakan identitasnya, sampai-sampai "E" yang harusnya memang diucapkan dengan penekanan tajam dirusak hahaha, misalnya "Peka". Seorang anak Toraja mengucapkannya "Pekaaa" bahkan tidak sedikit ditambahkan lagi ciptaan barunya dengan tambahan "h" di belakang. Lucu sekali, hahaha.


 

Ok, kembali ke topic. I LOVE TORAJA, sebuah frase yang sesungguhnya boleh disejajarkan dengan pernyataan Sukarno-Hatta saat memproklamasikan Indonesia. 'Love', cinta-kasih: Sebuah ungkapan yang seharusnya datang dan keluar dari dalam hati, maka simbolnya "Hati – Jantung merah" (Aku punya penafsiran lain tentang symbol ini, tetapi tidak ingin aku katakana di sini, kecuali dalam bukuku: Mari belajar kebijaksanaan). I Love Toraja, rasa-rasanya sangat kering dan kosong tanpa makna, bahkan terkesan klise dan ikut-ikutan alias KTRR (katuru'-turu' githu hahaha). Bagaimana tidak? Katanya 'cinta Toraja', mana buktinya? Cukupkah dengan menggunakan baju bertuliskan "I LOVE TORAJA"? Hahaha,… tidak ada bedanya dengan seorang turis Belgia yang membeli dan memakainya, atau saya yang membeli baju kaos Joger Bali, hanya luarnya saja dan tidak masuk sampai ke dalam. Barangkali sama dengan seorang yang mengagumi keindahan sebuah kuburan dari jauh sangat indah tetapi di dalamnya berserakan tulang-belulang.


 

Untuk mendalami kata-kata ini, baiklah kiranya kalau anda mencari seorang mahaguru-seorang "filsuf cinta": Gabriel Marcel (1889-1973), seorang tokoh eksistensial Kristen (kendati ia sendiri menolak disebut tokoh eksistensial) yang sangat tersohor, dengan filsafat cintanya. Menurutnya, cinta bukan sekadar perasaan emotif belaka, tetapi merupakan inti kehidupan yang berproses dalam hubungan manusia. Minta maaf aku mencoba mengingatnya lagi, Marcel mengurai tahapan cinta: Pertama ia menyebut tahap "KERELAAN: disponibilite", merupakan sikap kesediaan untuk terbuka, membiarkan orang lain agar masuk dalam hubungan denganku; Kedua "PENERIMAAN: receptivite", sikap inisiatif, memulai aktivitas dalam hubungan dengan mempersilahkan yang lain memasuki duniaku, atau mendengarkan yang lain, meyediakan tempat dalam HATI-ku untuk yang lain; Ketiga "KETERLIBATAN: engagement", sikap ikut ambil bagian dalam keprihatinan yang lain; Keempat "KESETIAAN: fidelite", merupakan sikap total dalam hubungan cinta. Kesetiaan oleh dia dikatakan bukan sebagai sikap ikut-ikutan tanpa pendirian, melainkan kesediaan terlibat bersama dengan segala resiko yang ada.


 

Maka terasa lucu dan konyol kalau membaca tulisan I LOVE TORAJA, sungguh sebuah kata-kata klise tanpa makna. Pertanyaannya, manakah 'ketorajaan' yang sesungguhnya? Sebut satu, dua, tiga, etc: Gotong royong, ulet, ramah, jujur, tahu malu (siri' sola longko'), solider (sipopa'di'), suka menolong (sidikkanan), peduli dengan sesama (siangkaran), etc. Tetapi apa yang terjadi? Perlahan-lahan tetapi pasti toraja sedang berjalan menuju jurang kehilangan identitas ketorajaanya. Budaya siri' dan longko' hampir hilang, budaya tiga s (sipopa'di', sidikkanan, siangkaran) juga hampir menjadi barang langka, gotong royong perlahan diganti dengan budaya 'uang', orang toraja yang dikenal ulet dan jujur juga sudah sulit ditemukan, dan keramahan seorang toraja telah terbang tinggi ke angkasa dan sulit untuk kembali lagi.


 

Lihatlah bahwa hanya dalam beberapa kurun waktu saja identitas ketorajaan di atas perlahan-lahan menguap entah kemana dan digantikan dengan budaya barat atau budaya ciptaan baru.

Masihkah anda dan saya bangga membaca dan memakai baju "I LOVE TORAJA", jangan-jangan anda dan saya adalah salah satu pecundang Toraja. Tetapi kata orang bijak, jangan memadamkan api yang mulai redup, tetapi tambahkanlah minyak ke dalamnya supaya menerangi lebih luas lagi tempat di sekelilingnya. Mari mencintai Toraja dengan memulainya dari diri sendiri membangun ketorajaan kita yang hampir hilang; budaya gotong royong, ulet, ramah, jujur, tahu malu (siri' sola longko'), solider (sipopa'di'), suka menolong (sidikkanan), peduli dengan sesama (siangkaran), etc. Mari bersama belajar tentang arti dan makna kata "Cinta: Love" dari sang filsuf cinta sebelum bersama membangun Toraja, karena anda dan saya sungguh-sungguh mencintai dan bangga terlahir sebagai seorang Toraja***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar