MARI BERGURU KEBIJAKSANAAN
Alkisah dari sebuah negeri tanpa nama, dikisahkan kelahiran seorang anak laki-laki mungil yang gagah – penuh misteri, namanya Tulangdidi'. Kelahirannya menggemparkan negeri itu sehingga orang berbondong-bondong penasaran untuk datang dan melihatnya. Setiap orang yang datang dan melihat rupa si-bayi mungil, Tulangdidi' selalu dipenuhi rasa kagum "Wow,… akan jadi apa anak ini kelak". Ada juga yang berkata dalam hati, "Wow, … betapa bahagianya seorang perempuan yang melahirkannya". Bahkan ada yang berkata, "Wow,… seorang pangeran dari surga telah berkenan datang ke dunia, pastilah akan menjadi berkat besar bagi keluarga dan bangsanya". Entah karena keistimewaan apa yang ada padanya sehingga semua orang yang melihatnya mengatakan demikian.
Di sudut lain, segudang pujian dan kekaguman orang-orang yang datang melihatnya berdiri akal bulus yang jahat untuk bayi mungil Tulangdidi' itu. Diam-diam, mereka menyusun rencana bagaimana supaya Tulangdidi' dibunuh. Mereka tidak ingin melihat keluarga Tulangdidi' menjadi keluarga yang kaya-raya dan terkenal,bahkan sampai menyaingi dan mengalahkan mereka. Maka, segala pujian dan kekaguman yang mereka dengar atas Tulangdidi' mereka sulap menjadi fitnaan dan kekawatiran, dengan harapan supaya rencana busuk yang ada dipiran mereka terlaksana; membunuh Tulangdidi', supaya ramalan tentang dia tidak terlaksana.
Mereka mulai menyebarkan gossip yang persis terbalik dengan ramalan positif banyak orang atas Tulangdidi'.
Setiap hari mereka menyebarkan gossip bahwa Tulangdidi' diramalkan banyak orang, bahkan mereka bermimpi bahwa anak itu akan menjadi sumber petaka bagi keluarganya dan juga untuk kampung mereka. Kalau anak itu dibiarkan hidup maka kampung mereka akan dilanda penyakit menular yang mematikan, juga kelaparan bertahun-tahun akan terjadi karena akan datang musim kemarau panjang.
Provokasi mereka rupanya menuai buah. Setiap hari ada saja yang datang kepada orang tua Tulangdidi' supaya, Tulangdidi' dibunuh.
Mendengar dan melihat reaksi protes dari hampir semua penduduk kampung itu, ayah dan ibu Tulangdidi' sangat sedih, sambil mengamat-amati bayi mereka saat tertidur pulas.
Karena seluruh kampung merasa kawatir atas gossip busuk beberapa orang yang dibakar api cemburu, maka tua-tua adat dan seluruh masyarakat mengambil kata sepakat untuk mengadakan pertemuan raksasa, yang mereka sebut musyawara raksasa Tulangdidi', karena memang hanya khusus untuk membicarakan nasib hidup-mati Tulangdidi'.
Beberapa tetangga Tulangdidi' yang berhati jahat itu berusaha untuk ikut dalam musyawara raksasa Tulangdidi' yang diadakan di tonkonan tua di kampung tersebut. Mereka mengusulkan supaya Tulangdidi' dibunuh saja daripada mendatangkan petaka untuk seluruh kampung.
Usul mereka itu kemudian memang menjadi keputusan akhir dalam musyawarah raksasa Tulangdidi hari itu, "Tulangdidi' harus dibunuh oleh orang tuanya demi keselamatan rumpun keluarga dan kampung". Demikian bunyi keputusan dari musyawara tersebut.
Mendengar keputusan tersebut, hati kedua orang tua Tulangdidi' menjadi piluh dan hancur, tak sanggup menerima keputusan bersama dalam musyawarah raksasa itu. Tetapi apa mau dikata, itu adalah hasil keputusan bersama seluruh masyarakat dalam kampung Tulangdidi'.
Dengan rasa piluh sang ayah Tulangdidi' pulang ke rumah. Mereka tidak kuasa menyampaikan hasil keputusan rapat itu kepada anaknya yang sedang bertumbuh dengan sehat dan sangat taat. Mereka sangat mencintai anak mereka yang sudah mulai tumbuh remaja.
Setelah beberapa waktu berselang tua-tua kampung itu datang kepada orang tua Tulangdidi' untuk bertanya mengapa Tulangdidi' belum dibunuh. Sang ayah kemudian mengumpulkan keberaniannya untuk mendekati Tulangdidi' dan menyampaikan hasil keputusan musyawarah raksasa kampung kepadanya.
"Anakku, hatiku hancur seperti mau mati saja rasanya", kata ayahnya kepada Tulangdidi'.
"Memang ada apa ayah?", tanya Tulangdidi'.
"Sekiranya mungkin, ayah saja yang menerimanya. Dan sekiranya mungkin nyawamu kutukar dengan nyawaku,…"
"Ayah, apa maksud ayah?", tanya Tulangdidi' lagi kepada ayahnya yang sedang amat sangat terpukul.
"Anakku, dalam musyawarah kampung diputuskan supaya aku membunuhmu karena kalau tidak, katanya kehadiranmu akan menjadi sumber malapetaka untuk kampung kita", kata ayahnya sambil memeluk Tulangdidi' dengan isak tangis yang takterbendung.
"Ayah,… ayah tidak usah terlalu sedih. Kalau memang itulah hasil kesepakatan dalam musyawarah, aku rela menerimanya, demi ketentraman kampung kita", kata Tulangdidi' dengan sangat tenang.
"Tidaakkk,… akulah yang harus mati".
"Tidak ayah, akulah yang menjadi sumber malapetaka, dan bukan ayah. Ayah tidak perlu terlalu bersedih, karena semua itu harus terjadi demi keselamatan kampung kita", kata Tulangdidi' menghibur kepedihan hati ayahnya yang sedang hancur.
Dikisahkan bahwa setelah itu, Tulangdidi' bersama ayahnya kemudian berjalan menuju hutan. Namun dikisahkan bahwa sebelum berangkat, ibuhnya yang jauh lebih terpukul dari sang ayah memberikan sebutir telur ayam kepada Tulangdidi' sebagai kenangan terakhir darinya. Telur ayam pemberian sang ibu tercintanya itu kemudian disimpannya dengan baik di bawah ketiak Tulangdidi', menjaga jangan sampai telur itu terjatuh.
Ketika mereka sudah sampai di tengah hutan, sang ayah kemudian bertanya, "Anakku, apakah engkau sudah siap di tempat ini?"
"Kalau boleh nanti di sebelah sana ayah", kata Tulangdidi' sambil terus bejalan tanpa merasa takut dan gentar sedikit pun.
Mereka berjalan lagi. Ayahnya bertanya sekali lagi, "Anakku, apakah engkau sudah siap di sini?"
"Ayah, kalau boleh nanti di seberang sana, tempat burung-burung dan binatang hutan, supaya kalau aku mati mereka bisa memakan daging-dagingku sampai habis", jawab Tulangdidi'.
Mereka berjalan lagi, dan akhirnya mereka tiba di tempat yang seperti yang dimaksud Tulangdidi'. Di tempat itu Tulangdidi' melihat seekor burung tekukur sedang bertelur . Ia berjalan menuju sarang burung tekukur dan menitipkan telur ayam pemberian ibunya dari rumah.
"Ayah, sekaranglah saatnya. Silahkan ayah menjalankan permintaan seluruh rakyat atas diriku".
Ayahnya kemudian mengikat kedua tangannya pada sebatang pohon. Dan dikisahkan bahwa pada saat itu semua binatang hutan datang berkumpul hendak menyaksiakan acara pembunuhan atas Tulangdidi' oleh ayahnya.
Sebelum menikamkan tobak pada lambung Tulangdidi', sang ayah sejenak bermohon dalam hati, "Anakku, semoga darahmu menjadi melindungi seluruh negeri kita dan daging-dagingmu menjadi sumber kesuburan tanah kita ini".
Tidak dikisahkan bagaimana cerita selanjutnya setelah pembunuhan tersebut. Hanya bahwa beberapa minggu setelah itu, telur ayam yang dibawa oleh Tulangdidi' kemudian menetas dan menjadi ayam jantan merah yang ajaib. Ayam jantan itu bertumbuh dengan karakter manusia, dan bahkan bisa berbicara layaknya manusia.
Suatu sore ayam Tulangdidi' itu keluar mencari makan dan tiba di bawah pohon tempat Tulangdidi' dibunuh oleh ayahnya. Ayam Tulangdidi' itu melihat ulat-ulat yang berhamburan serta tulang-belulang Tulangdidi'-sang tuannya. Ayam jantan Tulangdidi' kemudian berkokok, "Kukkuruyuk,… Ulat-ulatnya Tulangdidi' berkumpullah kamu semua. Tulang-tulangnya Tulangdidi' berkumpullah kamu semua. Hoei Tulangdidi' bangunlah kembali,…"
Tulangdidi' kemudian sungguh-sungguh bangun, kemudian mengambil ayam jantan merahnya dan berterima kasih kepadanya, "Terima kasih sahabtku", katanya kepada ayam jantan merah yang telah membangunkannya kembali.
Setelah itu, Tulangdidi' meminta ayamnya kembali untuk memanggil semua yang dibutuhkan oleh Tulangdidi'. Ayam itu kemudian berkokok lagi, "Kukkuruyuk,…. Pakaian Tulangdidi' datanglah,… Semua makanan dan harta benda datanglah,…. Tongkonan dan lumbung berjejer, jadilah…. Orang-orang yang akan membantu Tulangdidi' datanglah,….". Dan dikisahkan bahwa semuanya terjadi seperti yang diminta oleh ayam Tulangdidi'. Maka dikisahkan bahwa hutan itu berubah menjadi sebuah istana indah dengan makanan yang tak pernah habis-habisnya.
Dikisahkan bahwa pada suatu sore ibu Tulangdidi' keluar untuk mencari sayur di dekat aliran sungai dari hutan. Ia terkejut melihat ampas padi yang begitu banyak yang dibawa oleh air sungai dari dalam hutan. Ia pulang ke rumah dan memberitahukannya kepada suaminya, ayah Tulangdidi' atas apa yang dilihatnya. Ayahnya berlari ke pinggir sungai untuk melihat apa yand diceritakan oleh istrinya, ibu Tulangdidi'. "A,… pasti ada orang kaya raya di hulu sana yang sedang berpesta. Mari kita pergi melihatnya", kata suaminya. Akhirnya mereka sepakat untuk menyusuri sungai itu. Dan sampailah mereka ke tengah hutan. Mereka sangat terkejut melihat sebuah istana di tengah hutan itu. Ayah Tulangdidi' masih ingat persis bahwa di tempat itulah ia membunuh anaknya di sebuah pohon yang masih ia kenali. Di sana mereka melihat sebuah pesta besar; bunyi gendang dan penari-penari sedang menari. Ibu-ibu dengan penuh kegirangan sedang menumbuk padi dengan irama yang sangat indah. Ayah Tulangdidi' bersama istrinya semakin mendekat ke arah ibu-ibu yang sedang menumbuk padi.
Dengan nada heran ibu Tulangdidi' bertanya kepada para penumbuk padi, "Ada acara apa, kokh sepertinya pesta besar?"
"Iya ibu, tuan – Pong Tulangdidi' sudah beberapa hari ini merayakan pesta kelahirannya", jawab seorang ibu sambil terus menumbuk mengikuti irama para penumbuk yang lain, yang kemudian menciptakan irama indah tersendiri.
"Apa,… Tulangdidi'?" tanya ayah Tulangdidi' kepada ibu itu sambil melirik istrinya dengan rasa heran.
"Iya,… tuan kami – Pong Tulangdidi, mengadakan pesta ulang tahun".
Sejenak dalam hati ia mengingat peristiwa beberapa tahun lalu saat tombak menancap persis dijantung Tulangdidi' yang terikat di pohon. Ia melihat ke arah pohon yang ada di samping rumah tongkonan.
"Bbbuu,…" katanya sambil menutup mulutnya hampir telanjur mengatakan kata-kata yang selama ini membuatnya sakit.
"Kenapa pa, apa memang waktu itu bapak tidak membunuh anak kita" tanya istrinya.
"Ah,… aku ingat pohon itu. Iya,… di pohon itulah aku mengikatnya dan menusuk jantungnya dengan tombak, dan aku ingat darah dan air keluar dari lambungnya", jawabnya tanpa kuasa membendung lagi rahasia yang selama ini ia pendam.
Dalam kebingungan, tiba-tiba seorang pemuda gagah perskasa dengan kumis yang sangat indah dan rapih dan sorot mata yang sangat lembut datang menghapiri mereka.
"Nah,… itu tuan kami, Tulangdidi'" kata seorang ibu yang sedang menumbuk padi.
Ayah Tulangdidi' tampak terkejut, dan dalam hati ia meyakini kalau-kalau yang sedang berjalan ke arah mereka sungguh-sungguh Tulangdidi', anaknya sendiri. Tidak lama Tulangdidi' sudah sampai di depan mereka. Ia langsung menyalami ayah dan ibunya, tetapi ia sendiri belum mau mengatakan siapa dirinya sesungguhnya, kendati dalam hati ia sudah yakin bahwa orang yang ia salami itu adalah ayah dan ibunya sendiri. Ia menghantar mereka ke lumbung terindah, berjalan di antara para penari yang sedang menari memenuhi halaman tongkonan. Semua mata memandang ke arah mereka, karena tiba-tiba Tulangdidi' sendiri yang mengantar tamu-tamunya. Dalam hati semua orang berkata, 'pastilah dua tamu yang tampak sangat sederhana itu bukanlah tamu sembarangan, apalagi mereka didudukkan di lumbung paling terhormat'.
Setelah tiba di lumbung paling terhormat, acara tari-tarian yang sudah hampir selesai diminta oleh Tulangdidi' untuk menari sekali lagi untuk tamunya yang baru datang. Ayah dan ibunya sangat heran atas semua penerimaan dan sambutan yang hangat tersebut.
Setelah mereka duduk di lumbung, Tulangdidi' tidak kuasa lagi menahan rahasia atas dirinya.
"Ayah dan ibu,… inilah anakmu, Tulangdidi' yang ayah ikat dan bunuh di pohon sana?" kata Tulangdidi' sambil menunjuk pohon yang ada disamping Tongkonan.
"Aaanakkku,….." kata ayahnya terpatah-patah.
"Tidak perlu, dilanjutkan ayah. Aku tahu semuanya, ayah dan ibu sangat mencintaiku", kata Tulangdidi' sambil memeluk ayah dan ibunya.
Tulangdidi' bangkit dan menghentikan tari-tarian, dan para penumbuk padi, para penabuh gendang, para peniup terompet dan semua jenis persembahan seni yang dipertunjukkan. "Hai, hamba-hambaku, sahabat-sahabatku, dan tamu undangan yang hadir hari ini. Hari ini aku ingin mengumumkan sebuah berita gembira untuk kita semua, dan teristimewa untuk aku sendiri. Mari kita bergembira dan berpesta atas peristiwa besar hari ini. Hari ini adalah hari kelahiranku sekaligus hari kebangkitanku. Hari ini aku hendak membuka rahasia yang selama ini aku tutup rapat-rapat. Aku lahir dari seorang ibu yang sedang duduk di atas lumbung kehormatan, tetapi dibunuh oleh ayahku sendiri di tempat ini, atas permintaan tua-tua adat di kampung seberang sana. Aku ditombak oleh ayahku sendiri bukan karena kehendak mereka, tetapi karena kejahatan bangsaku sendiri. Karena itu mari kita berpesta dan bergembira, karena hari ini ayah dan ibuku yang telah hilang sekarang kudapat kembali, mereka yang telah mati kini hidup kembali. Sekarang sebagai tanda sukacitaku bunyikan semua musik, lagukan semua lagu, dan menarilah hai kamu semua para penari".
Secara serempak, para penari, penabuh gendang, penabuh lesung, terompet, dan musik yang lain berkumandang di istana baru di tengah hutan. Tiba-tiba ayam jantan Tulangdidi' terbang ke arahnya dan melapork bahwa akan meninggalkan istana baru Tulangdidi'.
"Aku mau meninggalkanmu, karena hamba-hambamu telah menamparku dengan penampi berasnya. Aku tidak mau lagi tinggal di sini", kata ayam jantannya yang telah membangkitkan Tulangdidi' dari matinya.
"Tidak, tidak. Aku tidak akan pernah mau berpisah darimu. Kemanapu engkau pergi aku akan ikut bersamamu", kata Tulangdidi' kepada ayam kesayangannya, yang telah menjadi sahabatnya itu.
"Kalau itu keputusanmu, ayo kita pergi. Kita terbang ke angkasa, biarkanlah semua yang engkau miliki ini menjadi milik ayah dan ibumu", pinta ayam jantan merah Tulangdidi' kepadanya. Tulangdidi' langsung pamit kepada ayah dan ibunya sekaligus menyerahkan semua yang ada di istana baru di hutan itu kepada mereka. Tulandidi' bersama ayamnya terbang ke angkasa, dan dikisahkan mereka masuk kedalam bulan.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar